Grandfather- Aomine Daiki

4.5K 370 11
                                    

Bohong. Ini tidak mungkin terjadi. Apa yang dikatakan bibi pasti bercanda. Kakek tidak mungkin meninggal. Kakek yang sebulan lalu baru saja kutengok bersama dengan Daiki tidak mungkin meninggal. Ini semua tidak terjadi. Aku pasti sedang bermimpi. Ya, aku pasti sedang bermimpi dan membayangkan sesuatu yang aneh, ya kan? Aku sedang bermimpi, kan?

"F/N-chan? Kau masih disana? Datanglah ke pemakaman kakek kalau kau sempat," ucap bibiku dengan nada sedih lalu menutup sambungan telepon.

Tidak. Dunia tidak sebaik itu. Kakek yang sangat kucintai itu benar-benar sudah tiada. Ia sudah tidak ada lagi di dunia yang sama denganku. Tanganku bergerak dengan sendirinya untuk menelpon Daiki, suamiku. Bagaimana pun juga ia harus tahu apa yang terjadi dan aku harus memberitahunya kalau aku akan pergi ke Hokkaido siang ini juga.

"Ada apa F/N? Tumben sekali menelponku di saat seperti ini?" suara Daiki terdengar dari seberang telepon.

Suara berisik di belakang yang sedang menggodanya karena mendapat telepon dariku tidak kupermasalahkan. Saat suara di sekitar Daiki sudah lebih tenang aku menghela nafas, mengumpulkan sisa kesadaranku untuk mengatakan kalau kakekku sudah tiada.

"Aku harus pergi ke Hokkaido siang ini. Kakek membutuhkanku sekarang," ucapku dengan suara bergetar.

"F/N? Hey, ada apa? Kakek kenapa?" tanya Daiki. Nada suaranya berubah panik saat mendengar suaraku. Ia tahu kalau aku bukan seseorang yang mudah menangis, tapi siapa yang bisa menahan rasa sedih dan tangisannya saat orang yang sangat disayangi meninggal?

"Kakek meninggal, Daiki. Izinkan aku pergi ke sana sekarang," pintaku padanya.

Lagi-lagi suara berisik terdengar, tapi kali ini suara langkah kaki yang bergerak dengan terburu-buru dan suara pintu terbuka-lah yang terdengar olehku. Hal selanjutnya yang kudengar adalah suara deru mesin mobil.

"Aku akan mengantarmu. Bersiap-siaplah, bawa sesuatu yang harus kau bawa. Aku akan tiba di rumah lima belas menit lagi," ucap Daiki sebelum menutup telepon.

Tubuhku seperti bergerak sendiri saat menyiapkan tas untuk diisi dengan bajuku dan baju Daiki. Tanganku kembali bergerak untuk mengambil ponsel lalu mengantonginya. Kakiku bergerak cepat untuk mematikan aliran listrik yang masih menyala karena sudah bisa dipastikan kalau kami tidak akan pulang malam ini. Tepat saat aku membuka pintu Daiki baru saja keluar dari dalam mobil dengan seragam polisinya.

"Kau tunggu di mobil, aku akan mengganti baju sebentar. Ada air minum di kursi penumpang, minumlah," kata Daiki. Aku hanya mengangguk sebagai balasan lalu menuruti kata-katanya.

Aku kembali memikirkan tentang kakekku saat tidak ada lagi yang bisa kupikirkan. Daiki memang hanya pergi sebentar, tapi begitu banyak kenangan yang terbesit di benakku sampai pandanganku terasa kabur karena air mata. Aku baru tersadar dari lamunanku saat tangan Daiki menggenggam tanganku erat. Aku menoleh ke arahnya dan ternyata ia tengah menatapku.

"Kakek... kakek pasti ingin cucunya yang cantik tetap tersenyum," ucap Daiki lembut. Ibu jarinya menghapus jejak air mataku lalu ia memamerkan senyumnya, berusaha menenangkanku dengan caranya sendiri.
***
Kakek dimakamkan keesokan harinya. Selama di pemakaman Daiki terus memeluk bahuku dari samping. Ia jarang bersikap lembut seperti ini, tapi kurasa ia bisa bersikap lembut kalau dibutuhkan. Saat melihat jasad kakek untuk yang terakhir kalinya tangisanku tumpah. Rasanya masih tidak bisa menerima kalau seseorang yang ikut andil dalam pertumbuhanku meninggal.

Kakek yang mengajarkanku untuk bersyukur dengan semua yang kumiliki, kakek juga yang selalu menyemangatiku kalau ada sesuatu yang membuatku sedih. Aku akan merindukan saat kami bercanda di ruang tengahnya, saat sedang mendiskusikan sesuatu yang sangat serius, saat kakek memujiku karena telah mencapai ekspektasinya.

Aku tidak akan melupakan raut wajah bangganya saat aku mencuri dengar ia sedang membicarakan cucunya, raut wajahnya saat itu benar-benar memperlihatkan kalau ia bangga dengan semua cucunya. Tidak akan mungkin kulupakan senyumnya saat setelah sekian lama ia bisa bertemu dengan cucunya lagi, saat ia mendengar tawa cucunya. Betapa aku sangat menyayangi kakekku.

Kalau banyak orang yang berkata harus melupakan agar tidak teringat hal-hal sedih, aku tidak akan begitu. Sampai kapanpun aku tidak akan melupakan kakekku. Sampai kapanpun.

"Berhenti menangis F/N atau aku akan ikut menangis," bisik Daiki. Ia memeluk sisi tubuhku dan mencium pelipisku dengan maksud menenangkan.

"Bagaimana bisa Daiki? Aku tidak akan bisa bertemu dengan salah satu orang paling penting dalam hidupku," balasku dengan suara pelan. Suaraku semakin pelan karena aku mengubur wajahku di dadanya. Kausnya basah dengan air mataku, tapi ia sama sekali tidak keberatan.

"Kakek tidak akan senang melihat cucunya menangis kan? Tersenyumlah untuknya kalau kau tidak bisa melakukannya untukku," sahut Daiki. Pelukannya yang semakin erat membuatku sedikit lebih tenang.

Daiki menangkup pipiku dan mengangkat wajahku agar bisa bertatapan mata lebih baik dengannya. Aku bisa melihat matanya berkaca-kaca, bahkan ada jejak air mata di pipinya. Ah... aku ingat kalau Daiki sering sekali bertemu dengan kakek hanya untuk bertukar sapa dan bercanda sambil sesekali membahas tentangku. Singkat kata Daiki juga dekat dengan kakek dan untuk seseorang yang tidak menyukai orang lain dengan mudah, Daiki terlihat nyaman dengan kakekku yang humoris.

"Tidak bisa berhenti Daiki. Air mataku tidak bisa berhenti," gumamku padanya.

Kali ini Daiki menenggelamkan wajahnya di bahuku. Ia memeluk pinggangku erat dan aku mengalungkan lenganku di lehernya. Air mata masih terus keluar tanpa bisa kutahan, bagaimana caranya berhenti menangis? Bagaimana?

"Kumohon berhenti menangis, F/N. Kumohon," gumam Daiki di bahuku. "Aku tidak bisa melihatmu seperti ini. Aku tidak sanggup melihatmu seperti ini."

Aku memejamkan mata. Berusaha untuk menahan tangisanku. Daiki benar, kakek tidak akan suka melihatku seperti ini? Ia pernah berkata, kalau aku tiada nanti jangan pernah menangis karena sedih aku tidak ada bersama kalian, tapi menangislah dengan bahagia karena aku sudah lepas dari penderitaan dunia, itu katanya.

Perlahan tapi pasti tangisanku berhenti. Aku melepaskan pelukan kami dan berbalik untuk menatap nisan kakek yang bertuliskan namanya. Dalam hati aku berdoa untuk kebahagiaannya walaupun ia sudah tidak bersamaku.

"Siap untuk pergi?" tanya Daiki. Ia mengulurkan tangannya ke arahku, aku melempar senyum ke arahnya.

"Daiki?" panggilku. "Mau memelukku untuk sebentar lagi?"
Daiki menampakkan seringaiannya lalu memelukku erat. Keberadaannya di sampingku sudah membuatku cukup tenang.

"Tersenyumlah seperti itu," bisiknya di telingaku. "Aku merindukan senyum itu."

Aku berjanji akan terus tersenyum. Untuk Daiki, untuk orang-orang yang kusayangi dan untukku kakekku yang benci melihat cucunya sedih.

Selamat tinggal kakek. Aku akan terus mengenangmu.

Kuroko no Basuke DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang