Gesture - Aomine Daiki

628 88 2
                                    

Hampir seluruh hidupnya dedikasikan untuk basket. Sejak kecil, ia telah mengasah kemampuannya dengan bermain dengan anak-anak yang lebih tua. Kemampuannya kian tajam saat SMP dan hampir menuju puncaknya ketika SMA. Basket, basket, basket. Hanya itu yang memenuhi pikirannya. Sedikit ruang yang tersisa untuk hal lainnya, bahkan dengan percaya dirinya ia berpikir bahwa cinta dan hubungan romansa tak lagi memiliki tempat dalam pikiran.

Beberapa gadis menyatakan suka, tapi Aomine menolak. Ia belajar dari pengalaman Kise yang sering bertengkar dengan kekasihnya perkara waktu bersama saat Kise mulai sibuk dengan basket. Aomine tak perlu drama seperti itu dalam hidupnya. Satu gadis berisik bernama Momoi Satsuki sudah cukup baginya.

Siapa yang bisa menyangka, kini, ia dengan sukarela meluangkan waktu kosongnya untuk bersama dengan seorang gadis? Menolak ajakan Kuroko untuk bermain basket di akhir pekan dan memilih untuk menemani gadisnya menunaikan tugas sebagai mahasiswi? Siapa yang bisa menduga bahwa Aomine mengerahkan usaha lebih untuk bersama dengan gadisnya, meski gadis itu sudah bersikeras bahwa ia boleh bermain basket dengan teman-temannya sepanjang siang.

Aku yang waktu SMA pasti akan memanggilku 'bocah kasmaran', ringis Aomine dalam hati.

Ia ditarik paksa dari lamunan saat sudut matanya menangkap gerakan konstan dari F/N. Bibirnya mengulum seringai kala F/N mendengus kesal, gadis itu sudah menyelipkan rambutnya ke belakang telinga untuk yang kelima kalinya dalam lima belas menit terakhir.

"Ikat saja rambutmu kalau mengganggu," celetuknya sembari menekan layar ponsel untuk menjeda pertandingan basket yang sedang ia tonton.

F/N menoleh dari balik bahu, merengut. "Kalau bisa, sudah kulakukan sejak tadi. Masalahnya, ikat rambutku hilang."

Aomine terkekeh. "Hilang lagi? Sudah yang keberapa minggu ini, F/N?"

Gadis itu mendecak, meraih buku di atas meja lalu memukul pahanya. Aomine tergelak rendah. Batinnya tergelitik dengan fakta meski F/N terbilang sebagai gadis yang cermat dan teliti, gadis itu terlampau sering kehilangan ikat rambutnya.

Bulan lalu, gadis itu baru saja membeli sekantung ikat rambut dan sekarang tak ada lagi yang tersisa. Di awal hubungan mereka, Aomine tak mengerti bagaimana seseorang bisa kehilangan sesuatu yang selalu terikat di atas kepala. Namun, setelah beberapa bulan bersama dengan F/N ia tak lagi terkejut.

Aomine menyingsingkan lengan baju, menarik ikat rambut di pergelangan tangan yang senada dengan warna rambutnya lalu berlutut di belakang F/N.

"Apa yang kau lakukan?" tanya F/N.

"Diam dulu," titah Aomine seraya menahan kepala F/N yang ingin menoleh.

Jemarinya mengumpulkan rambut F/N dalam satu genggaman, membelai sisi wajah gadisnya untuk memastikan tidak ada rambut yang luput dari penglihatannya. Ia mengikat rambut F/N dengan gerakan terlatih, sudah terbiasa mengikat rambut Momoi sewaktu kecil. Memastikan kalau ikatannya takkan lepas dengan mudah, Aomine mencium puncak kepala F/N.

"Terlalu kencang, tidak?"

F/N menggeleng. "Pas kok. Kau belajar dari mana?"

Alih-alih kembali duduk di sofa, Aomine memosisikan dirinya agar duduk di belakang F/N. Kedua kaki mengurung figur F/N yang lebih kecil, sebelah lengan Aomine merangkul pinggul gadisnya lalu melayangkan kecupan singkat di tengkuk F/N yang terekspos.

"Satsuki," sahutnya pelan. "Berteman dengan seorang gadis akan membuat seorang pria lebih mudah untuk mengenali berbagai jenis kepangan dan gaya rambut lainnya."

F/N tertawa, menyandarkan punggung di dada Aomine. "Jadi kalau aku memintamu untuk mengepang rambutku dengan gaya mermaid, kau bisa melakukannya?"

Ia termenung, mencoba mengingat gaya yang dimaksud F/N. "Kalau lihat contohnya, mungkin bisa. Kenapa?"

"Tidak kusangka tanganmu sangat terampil." F/N meraih tangan Aomine yang terjalin di perutnya. "Kupikir cuma ahli di basket saja."

Aomine menyeringai tipis, menumpukan dagu di bahu F/N. "Kau yang paling tahu seberapa terampil tanganku, F/N."

Gadis itu terkesiap, menarik diri lalu melempar tatapan tajam pada Aomine yang terkekeh rendah. "Satu hari, Daiki. Satu hari tanpa komentar mesummu, bisa?"

"Tapi kau suka dengan komentarku," kelakarnya. "Dan seingatku, kau memang suka dengan jari terampilku. Sema—"

"Hentikan! Astaga, Aho!"

Ia tergelak puas tatkala netra birunya menangkap rupa F/N yang memerah tersipu. Sungguh. Jika bisa menggambarkan bagaimana ekspresi gadisnya sekarang, maka kata 'menggemaskan' yang paling cocok. Bagaimana tidak? Semburat merah muda yang tampak di pipi F/N, menjalar hingga ke telinga dan leher. Padahal sering mendengar komentar yang sama darinya, tapi gadis itu masih belum juga terbiasa.

"Tapi serius, F/N," celetuknya ketika tawa sudah mereda. Ia menarik F/N untuk kembali bersandar padanya, kali ini jemarinya bertautan dengan jari-jari F/N. "Kalau kau ingin aku menata rambutmu, tinggal bilang saja."

F/N meliriknya sangsi. "Aku tahu kau tidak sebaik ini. Apa balasannya untukmu?"

Seringai di bibir Aomine tertarik lebih dalam. "Aku menerima bayaran dalam bentuk peluk dan cium."

"Bagaimana jika aku ada kelas pagi?" tantang F/N. "Memangnya kau bisa ke sini sebelum kelasku mulai?"

Aomine mengangkat bahu acuh tak acuh. "Kalau begitu aku menginap saja."

F/N tercenung sejenak lalu mengangguk. "Baiklah. Tapi aku baru membayarmu kalau puas dengan hasil kerjamu, ya?"

"Sepakat."

Aomine meletakkan tangan pada pinggang F/N ketika gadis itu memutar tubuhnya. Sekarang, mereka duduk berhadapan dengan kaki F/N berada di atas pahanya. Tunduk pada desakan dalam diri, Aomine memajukan wajah untuk mencuri kecupan ringan pada kening F/N.

"Karena kau sudah berbaik hati telah menjadi penata rambut sekaligus kekasihku yang luar biasa. Biar kuberitahu satu rahasia kecil." F/N terkekeh saat alis Aomine terangkat tinggi. Gadis itu membingkai wajah Aomine dengan kedua tangan. "Aku bisa menggenggam dunia dengan kedua tanganku."

Kelembutan dalam nada bicara F/N membuatnya lengah. Butuh beberapa detik bagi Aomine untuk mencerna maksud di balik ucapan gadisnya. Segera setelah mengerti, Aomine menyeringai untuk menyembunyikan senyum bodoh yang hampir terulas.

"Mudah," balasnya cepat. "Aku bisa menggenggamnya dengan satu tangan."

Ia menangkup pipi F/N dengan hati-hati. Ibu jarinya membelai sisi wajah sang gadis, lalu menempelkan bibirnya sekilas pada puncak hidung F/N. Kekehan melesak darinya ketika F/N memberengut kesal, tapi tak melakukan apapun untuk menarik diri.

"Ini bukan kompetisi, Daiki," gerutu F/N jengkel.

"Mungkin bukan," ujar Aomine menyeringai lebar. "Tapi kalau menyangkut dirimu, aku harus jadi yang nomor satu."

Gelenyar hangat di dada, perlahan menyebar ke seluruh tubuh ketika F/N menjerit tertahan di kausnya. Ia tak perlu cermin untuk tahu matanya berkilat penuh kasih sayang kala memandang F/N. Tak perlu orang lain untuk menyadari bahwa sesak di dadanya adalah efek bahagia yang F/N berikan ketika gadis itu berada di sisinya.

Asumsi arogan tentang dirinya yang terlalu sibuk untuk cinta dan hubungan asmara langsung patah ketika F/N datang dalam hidupnya. Tanpa paksaan, tanpa suruhan. Begitu sadar, Aomine yakin ia membutuhkan keberadaan F/N lebih daripada gadis itu membutuhkannya.

Hal sesepele membawa ikat rambut F/N di pergelangan tangannya karena tahu gadis itu selalu kehilangan, menata rambut F/N saat gadis itu terlalu malas tapi tak ingin tampak berantakan, menemani F/N mengerjakan tugas meski ia bisa bermain dengan teman-temannya telah mewakili seluruh afeksi yang ia punya untuk sang hawa.

"F/N," panggilnya dengan nada berbisik. "Boleh aku menciummu?"

Gadis itu mengangguk.

Aomine memajukan kepalanya, menumpah semua rasanya pada F/N dengan gestur yang sederhana.

Kuroko no Basuke DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang