8> Konferensi Pers

2.8K 148 0
                                    

Jangan lupa tinggalin jejak ya guyss, vote dan komen🤗

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa tinggalin jejak ya guyss, vote dan komen🤗

Halaman gedung perusahaan Pradipta kini dikerumuni banyak wartawan. Mereka mendesak  masuk dan menemui Bian untuk meminta kejelasan mengenai berita yang beredar semalam. Bahkan banyak satpam ikut turun tangan menangani keadaan.

Para wartawan itu memang tidak terlalu mendesak masuk, tetapi mereka terus melontarkan pertanyaan tentang Anjani dan Bian yang membuat satpam-satpam itu kebingungan.

"Pak, tolong jawab pertanyaan kami? Menurut bapak apakah benar Pak Bian sengaja menabrak Anjani?"

"Kenapa pak Bian tidak bertanggung jawab?"

"Apakah Bian sudah hadir tapi kalian menyembunyikannya dari kami, pak?"

"Perusahaan Pradipta sedang terancam karena sikap tidak bertanggung jawab CEO-nya. Bagaimana tanggapan bapak?"

Setidaknya itu sederet pertanyaan yang mereka lontarkan. Sebagai respon pun para satpam hanya diam sebab mereka tidak tahu-menahu masalah itu.

Di tempat lain Vanya mondar-mandir tidak karuan. Ia khawatir andai Bian tidak datang. Tapi rasanya tidak mungkin, Bian tipe orang yang disiplin waktu meskipun soal bertanggung jawab bosnya itu kadang mengandalkan uang.

Tok-tok.

Pintu ruangannya diketuk membuat Vanya mendongak kaget. Ia lantas membuka pintu dan berharap yang datang adalah Bian.

Namun ternyata itu adalah Pak Bram. Baru melihatnya saja Vanya gemetaran. Ia memang cukup mengenal Bram. Apalagi sifatnya sebelas  dua belas dengan Bian. Hanya saja Bram lebih bijak dari Bian. Bram tidak selalu mengukur bahwa semua masalah harus diselesaikan menggunakan uang.

"Dimana Bian? Kenapa sampai sekarang dia belum juga datang? Di luar sudah sangat ramai. Kau tahu, mereka mendesak ingin masuk dan meminta penjelasan bosmu itu," ucap Bram to the point. Ia memasuki ruangan kerja Vanya dan wanita itu pun menutup pintu.

Vanya menelan salivanya kasar. Setelah mengumpulkan keberanian ia menjawab, "Ma-maaf, Pak. Pak Bian sedang dalam perjalanan. Saya yakin tidak lama lagi dia akan datang." Vanya lalu melempar senyum tipis dan mempersilakan. "Apa sebaiknya bapak duduk dulu. Kita bicarakan dengan nyaman."

Bram menggeleng. "Tidak usah. Saya masih belum tenang sebelum bosmu itu datang."

"Pak Bian pasti datang, Pak. Saya cukup mengenal dia. Pak Bian selalu menyelesaikan masalahnya," ujar Vanya meyakinkan. Sungguh, menghadapi Bram rasanya lebih berat daripada  menghadapi Bian.

"Kalau tidak bagaimana?" Bram mendengus  pelan. Ia memijat pelipisnya yang terasa pening. "Apa yang akan kau lakukan untuk membubarkan mereka?"

"Sa-saya tidak tahu, Pak," sahut Vanya gugup. Beginilah resiko menjadi sekretaris bos menyebalkan itu. Ia mesti siap penampung sementara urusan Bian. "Tapi saya sudah menghubungi Bian. Saya memintanya masuk lewat pintu belakang agar prosedur konferensi pers yang kita rencanakan berjalan dengan baik."

Bram memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan mengangguk paham. "Baguslah. Setidaknya Bian paham ini bukan masalah sepele." Bram sedikit merasa lega. Wajahnya yang tadi datar sekarang terlihat lebih bersemangat. "Saya tunggu dia di ruangan saya."

"Baik, Pak."

Bram pun melangkah mengeluari ruangan. Seketika Vanya menghembuskan napas lega. Lantas ia bergegas menengok ke jendela kantornya dan menatap ke halaman belakang dasar gedung, kali saja ia melihat kedatangan mobil Bian.

Dan benar, mobil mewah berwarna putih itu tampak berhenti di samping gerbang. Dengan mengendap pemiliknya keluar, lalu seorang lagi menjatuhkan tongkat ke tanah, mata Vanya  melebar.

"Yaampun. Anjani ternyata ikut?!"

***

"Cepat sebelum kita ketahuan," ucap Bian pada Anjani. Ia lebih dulu mengeluari mobil sementara wanita itu masih sibuk membenarkan tongkatnya yang baru saja terjatuh.

"Iya-iya sebentar." Beberapa menit kemudian barulah Anjani menemukan posisi nyaman untuk tongkatnya. Peduli setan pada Bian, lebih penting ia merasa nyaman saat menggerakan tongkatnya.

Dan sebuah mobil hitam berisi Clara, Bi Ratih, dan Pak Romi di belakang ikut terparkir. Clara keluar dari sana disusul Bi Ratih dan Pak Romi.

"Cala ikut!" girang Clara, berlari memeluk Anjani dengan wajah memelas.

"Hanya putrimu," kekeh Bian. Ia lumayan sebal melihat anak kecil itu selalu menempel dengan ibunya. Kemudian tatapan Bian mengarah pada Bi Ratih dan Pak Romi. "Biar mereka tunggu di luar."

Anjani keberatan. "Tapi, Pak--"

"Kamu kira kantor saya tempat penampungan?" tandas Bian. "Memangnya untuk apa mereka ikut? Toh, saya juga tidak berniat menjual kamu." 

Bi Ratih mengangguk setuju. "Ibu pergi saja. Kami tidak apa-apa menunggu di sini."

"Terima kasih, Bi."

Pasrah Anjani mengikuti permintaan Bian, ia lalu pamit masuk ke dalam bersama Clara. Bi Ratih dan Pak Romi pun memilih menunggu di dalam mobil mereka.

Bian berjalan paling depan dan membuka pagar pembatas. Beruntung ia ingat membawa kunci duplikat pagar ini sehingga ia tidak perlu lagi menghubungi Vanya. Mereka pun masuk dengan mengendap-ngendap. Jujur Anjani merasa kesusahan, ia datang seperti seorang kriminal yang berniat jahat. Ditambah Clara-nya yang polos harus ikut bergabung dalam situasi ini.

"Psst. Pstt. Ke sini, Pak!" Bisikan itu mengalihkan perhatian mereka. Anjani menoleh ke samping. Ternyata ada seorang wanita berkemeja pink melambaikan tangan dari balik pohon.

"Vanya," panggil Bian. "Cepat bantu saya. Tuntun mereka masuk ke ruanganku."

"Iya, Pak."

***

Hal yang ditunggu-tunggu akhirnya terjadi. Konferensi pers mengenai berita Bian dan Anjani terlaksana di aula perusahaan Pradipta. Banyak wartawan serta jurnalis berkumpul. Mereka disediakan bangku khusus.

Sementara di panggung depan, Bian, Anjani dan Clara duduk bersebelahan. Mikrofon milik wartawan berjejer di depan mereka sebagai pengeras suara pengakuan Anjani maupun Bian. Pria itu kini menahan malu yang luar biasa. Pula Anjani sangat gugup, tidak pernah ia seperti ini; diliput banyak media dan direkam banyak kamera.

Andai ibu Aldevaro tau, dia pasti bertanya-tanya kenapa Anjani bisa berada di sana.

Dalam hati Anjani juga tak henti-hentinya menggumamkan maaf pada Aldevaro. Di alam sana mendiang suaminya itu pasti kecewa.

Beberapa menit berlalu konferensi akhirnya dimulai. Bian membuka acara dengan meminta maaf pada Anjani kemudian acara pun berlanjut dengan lancar sehingga semua media mendapatkan kesimpulan mereka masing-masing.

Namun yang Anjani herankan, permintaan maaf Bian tadi terkesan manis untuk didengar telinganya.

Janda Lumpuh Milik CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang