Prolog

21 7 4
                                    

Di sudut ruangan ini, aku duduk menepi. Menerawang jauh akan masa depan yang akan kutuai. Mataku masih merah dan bengkak. Sepertinya sudah kering karena air mataku sudah terkuras banyak. Aku hanya diam. Suara ketukan dari luar terasa panas di telingaku. Sangat mengganggu. Namun, aku enggan bersuara hanya untuk mengatakan iya. Aku lebih memilih diam dalam kegelapan.
Seluruh lampu kupadamkan. Hanya seberkas cahaya yang masuk dari celah jendela yang jadi penerang ruangan itu.

Aku hanya ingin di sini. Menghabiskan waktu sendiri sambil memandangi kertas-kertas yang berserakan seolah menertawaiku dalam kegelapan. Semut-semut nakal yang berjalan di tembok seolah bahagia menggigit punggungku yang tengah kusandarkan di sana. Para cicak pun ikut mengejekku dengan mengeluarkan suara berulang kali. Aku membenci mereka. Bukan hanya mereka yang kubenci, tapi diriku juga. Kebencianku kubuktikan dengan sayatan di lengan kiri. Darahku yang mengalir pun turut kubenci. Seolah darah itu menghianatiku. Dia mengalir keluar, tapi rasa sakitku tidak hilang. Kutambah lagi satu sayatan. Namun, tak ada perubahan. Justru aku hanya merasa lemas. Tenagaku terkuras habis. Hingga akhirnya, aku jatuh dan tak sadarkan diri.

Dalam keadaan tak sadar, entah mengapa batinku terasa lebih nyaman. Aku melihat diriku sedang tertawa lepas bersama teman-teman dan keluarga. Di sana aku sedang mengenakan seragam kebanggaan, seragam pekerjaan yang aku cita-citakan. Semua orang mengucapkan selamat kepadaku. Aku terlihat sangat bahagia atas pencapaianku.

Namun, ketika aku sadar kembali, aku tahu ternyata itu hanya mimpi belaka. Aku mulai bertanya kepada diri sendiri, mungkinkah mimpi akan lebih indah dari kenyataan? Sepertinya jawabannya iya. Sebab, semua mimpi yang yang sudah kupilih untuk kuukir dan kuraih, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi ketika pilihanku itu mengalami tekanan dari luar yang menyakiti batinku.

Apalah dayaku, aku hanyalah anak belasan tahun yang hanya bisa merajut mimpi tetapi mimpi pilihanku tak mampu kugenggam. Akankah masa depanku secerah mentari yang bersinar di tengah hari? atau gelap segelap malam yang telah ditinggalkan oleh bulan dan bintang?
Darahku sudah berhenti mengalir. Namun, perihnya masih terasa. Akh, aku mengutuk diriku sendiri. “Dasar laki-laki cengeng. Tidak berguna! Mau sampai kapan kamu begini? Sampai bumi berbentuk segitiga?”


*****

Choice {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang