Senja sudah menampakkan diri. Garis orange yang indah menjemput malam yang gelap gulita. Petir berjalan dengan langkah pelan sambil menunduk menuju rumahnya. Bajunya sudah kusut. Seluruh kancing bajunya sudah terlepas, memperlihatkan kaos oblong berwarna putih yang dia kenakan di balik seragamnya. Wajahnya sudah lusuh dan berantakan. Rambutnya acak-acakan ke sana kemari. Dia masuk ke dalam rumahnya dan melihat semua anggota keluarganya tengah duduk di depan televisi sambil menikmati angin senja yang bertiup di balik jendela ruang tengah. Kali ini, Petir siap untuk diadili oleh mereka. Petir sudah dua kesalahan hari ini. Pertama, dia bolos sekolah dan kedua dia pulang terlambat. Kedua hal itu sangat dibenci oleh Ayahnya.
“Tuh, si biang kerok sudah pulang Yah,” ucap Ven yang sedang duduk di samping Ayahnya.
“Dari mana aja kamu. Hah?” tanya Mona.
Lara yang duduk berhadapan dengan televisi hanya mematutkan matanya di layar kaca benda itu tampa berbalik sedikit pun. Sahar menatap Petir dengan tajam tak berkedip. Api di matanya terlihat berkobar dan seolah ingin membakar tubuh Petir.
“Kamu dari mana?” tanya Sahar setelah sekian detik berlalu menatap putranya.
Petir tak menjawab. Dia hanya menunduk.
“Dari mana?” bentak Sahar meninggikan suaranya.
Petir masih tak berkutip. Dia menunduk. Peluhnya menetes di atas baju seragamnya.
“Heh, kamu punya kuping enggak sih? Kamu dari mana? Ayah bertanya kok enggak dijawab.” Ven berdiri dan mendorong lengan Petir.
“Aku dari perpustakaan kota.” Petir mulai mengangkat wajahnya. Dia memberanikan diri menatap wajah Ven.
“Heh, perpustakaan kota? Aku dapat laporan dari teman sekelasmu, bahwa kamu bolos sekolah.” Ven meninggikan suaranya sambil menunjuk wajah Ven.
“Kak Ven tahu dari mana? Apakah Gemilang yang mengadukanku dengannya? Mengapa Gemilang sejahat itu kepadaku?” batin Petir tersenyum kecut.
“Mengapa kamu menampakkan senyumanmu yang menjijikkan itu? kamu mau mengelak?” Mona menghardik Petir.
“Iya, aku bolos sekolah,” Petir mengakui kesalahannya.
Sahar mendekat kepada Petir pelan-pelan. Petir menatap langkah Sahar dan dia siap dengan apapun yang Ayahnya lakukan kepadanya.
Ternyata benar, Sahar dengan kejam menampar Petir tanpa belas kasihan sebanyak tiga kali di pipi kanan dan kiri secara bergantian.
“Anak tidak tahu diuntung! Kamu selalu mengundang amarahku. Kamu sengaja, hah?” maki Sahar.
Petir tetap berdiri kokoh. Dia menahan perih wajahnya yang memerah.
“Dasar, anak tidak tahu diri. Selalu saja buat masalah, selalu buat Ayah marah. Kamu tidak tahu siapa diri kamu, hah?” Mona mendorong bahu Petir dengan keras dan berhasil membuat posisi Petir bergeser selangkah ke belakang.
“Maksud kak Mona? Memangnya aku siapa?” tanya Petir dengan suara bergetar. Dia menangkap makna tersirat dari ucapan Mona barusan.
Tiba-tiba Lara berdiri dan menarik tangan Petir untuk meninggalkan tempat itu. Mereka menuju kamar Petir. Sahar duduk kembali di tempatnya sambil mengacak rambutnya frustasi. Dia hampir saja meledak.
Setelah masuk di dalam kamar Petir, Lara menutup kamar Petir rapat-rapat agar suaranya tidak terdengar oleh orang-orang di luar.
“Ada apa Ma, mengapa Mama menarikku ke sini meninggalkan Ayah. Bagaimana kalau mereka tambah marah padaku?” tanya Petir kepada Lara yang tiba-tiba bertingkah aneh. Tidak seperti biasanya.
“Mereka akan semakin marah jika kamu ada di sana.” Lara menatap Petir dengan datar.
“Mengapa seperti itu?” tanya Petir sambil mengerutkan kening.
“Berapa kali Mama harus mengingatkan kamu. Berhentilah untuk membuat masalah terus menerus. Ayahmu akan semakin marah,” ucap Lara penuh penekanan.
Petir hanya diam. Dia menatap perempuan yang telah melahirkannya itu. Di benaknya muncul pertanyaan, mengapa Lara selalu melarangnya membut masalah yang bisa memicu Amarah sang Ayah.
“Kalau Ayah kamu marah, dia pasti akan mengatakan yang sebenarnya!" Lara kini setengah berteriak. Sepertinya emosi di dadanya semakin menggumpal.
“Apa yang sebenarnya, Ma? Apa yang tidak aku ketahui? Apa yang kalian sembunyikan dariku?” Petir pun membalas dengan teriakan.
Lara baru sadar apa yang dia ucapkan barusan. Dia tidak seharusnya mengucapkan itu untuk memancing Petir untuk bertanya.
“Apa Ma? katakan yang sebenarnya kepadaku!” Petir semakin berteriak sambil memegang bahu ibunya. Matanya kini memerah.
“Diam! Kamu tidak berhak bertanya lagi! Atau Mama akan membungkam mulutmu dengan bantal!” bentak Lara.
“Aku hanya ingin tahu yang sebenarnya, Ma. Apakah salah jika aku bertanya. Lagian, Mama sendiri yang membocorkannya,” suara Petir melemah.
“Diam! Mama tidak mau lagi mendengar kamu bersuara,” suara Lara bergetar.
“Aku tidak akan berhenti bersuara sebelum Mama mengatakan yang sebenarnya. Katakan kepadaku, Ma!” Petir kembali memaksa Lara.
“Kamu mau tahu yang sebenarnya, hah?” tiba-tiba Mona masuk ke kamar Petir dan menghampiri Petir dan Lara dengan tenang.
Petir hanya diam. Sementara Lara kini mulai tidak tenang. Hatinya bercampur aduk antara khawatir, cemas dan takut. Dia takut jika Mona mengatakan yang sebenarnya, Petir akan shock dan melakukan hal yang tidak-tidak. Apalagi Lara tahu bahwa jika Petir merasa tertekan dia akan melukai dirinya sendiri dengan cara apapun.
“Cukup Mona!” Lara menegur Mona.
“Kenapa Ma? mama takut Petir tahu semuanya?” tanya Mona dengan nada menantang.
“Mona, sudahlah. Kita keluar saja yah dari kamar ini.” Lara membujuk Mona untuk meninggalkan kamar Petir. Dia memegang lengan putrinya itu.
“Lepaskan!” Mona menghempaskan tangan Lara. Kemudian mendorong perempuan itu dan jatuh di atas tempat tidur.
Melihat hal itu, Petir tidak terima jika Ibunya diperlakukakan seperti itu. Dia berlari menghampiri Lara.
“Mama tidak apa-apa?” tanya Petir.
“Tidak apa-apa.” Lara berusaha untuk berdiri.
“Mona, sudahlah. Kamu keluar yah,” bujuk Lara untuk kesekian kalinya.
“Tidak! Dia harus tahu, bahwa dia itu hanya anak haram dari perselingkuhan Mama dengan laki-laki lain.” Mona memaki Petir sambil menunjuk adiknya itu.
Saat itu, Lara melemas. Seluruh tubuhnya terasa tak memiliki tulang. Dia jatuh dan duduk di atas lantai. Sementara Petir dia hanya berdiri diam membisu. Bibirnya terasa kelu untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Setelah mengucapkan kalimat itu, Mona berlalu pergi meninggalkan mereka tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Petir menghampiri Lara yang masih duduk di atas lantai. Dia duduk di samping Mamanya dan bertanya, “Apa benar yang dikatakan oleh Kak Mona?”Lara hanya diam. Kini air matanya mengalir membasahi pipinya.
“Mama, jawab Petir! Apa benar yang dikatakan oleh kak Mona? Apa benar aku anak haram Mama dengan laki-laki lain? Jawab Ma!” Petir berteriak di hadapan Lara.“Iya. Puas kamu. Akhirnya kamu tahu kan. Selama ini Mama berusaha untuk merahasiakannya kepadamu, untuk menjaga hatimu. Malah kamu sendiri yang membongkar rahasia itu. Jadi, terluka lah, semampu mu!” Lara berdiri meninggalkan Petir yang mulai melemas.
Kini, dia sadar, mengapa selama ini Sahar selalu membandingkan dirinya dengan Mona dan Ven. Selama, ini Sahar pun seolah menganak tirikan dirinya. Memaksanya untuk menjadi yang terbaik. Dia pun jauh berbeda dengan Ven dan Mona. Bagaikan bumi dan langit. Ternyata mereka lahir dari ayah yang berbeda.
Petir mengepalkan tangannya. Dia semakin membenci dirinya sendiri. Dia berdiri dan meraih cutter yang ada di atas meja. Secepat kilat dia menarik ujung cutter itu di atas lengannya berkali-kali. Hingga darah menetes di atas lantai. Dia terus menggoreskan luka di sana, hingga dia jatuh dan tak sadarkan diri.*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Choice {TAMAT}
Genç KurguDalam hidup, setiap orang punya pilihannya masing-masing dalam segala hal. Setiap orang berhak menentukan apa yang terbaik sebab dia yang mau menjalaninya. Ketika kita punya andil besar dalam hidup, jiwa kita akan merasa tenang. Namun, tidak dengan...