Sahar memukul meja makan dengan kasar. Semua piring, gelas, serta sendok-sendok yang ada di atas meja itu bergetar. Semua orang yang ada ditempat itu diam. Hanya denting jam dinding dan suara Lola, kucing peliharaan di rumah itu, yang terngiang di telinga. Mona hanya bersandar di kursi sambil menyilangkan kedua tangan. Ven yang duduk tepat di samping Mona terlihat sedang memutar gelas yang ada di hadapannya. Lara, sang ibu hanya duduk tegak tanpa ekspresi. Sementara Petir, sosok di mana mata Lara, Mona, Ven, dan Sahar tertuju, hanya duduk menunduk sambil meremas jemarinya yang sudah mulai dingin. Peluh di keningnya mulai berbentuk biji jagung. Sesekali dia memperbaiki posisi kacamata tebalnya. Dia tak berani mengangkat wajahnya ketika semua mata keluarganya tertuju padanya saat ini. Apalagi mata Sahar, sang ayah yang sangat tajam dan menakutkan baginya.
“Ayah sudah beberapa kali memperingatkan kamu, kamu harus dapat nilai tinggi!” suara Sahar meninggi.
“Ven sudah bilang Yah, enggak usah di beliin handphone dulu, tuh kan si Petir jadi malas belajar,” tambah Ven yang juga ikut mengadili.
“Ayah membelikan kamu handphone supaya kamu bisa leluasa membuka materi lewat benda itu, bukan main-main!” sergah Sahar.
“Dia itu tidak menggunakan handphone untuk belajar Yah, dia hanya sibuk main game,” pungkas Mona.
Hanya Lara yang masih diam. Perempuan berkepala empat itu hanya sibuk memandangi putranya tanpa ekspresi. Entah apa yang ada di benaknya saat ini. Dia tak turut mengadili, tapi dia pun tak membela Petir.
“Liat nilai kamu, mata pelajaran semudah ini, kamu hanya dapat nilai 75. Itu nilai standar. Sementara anaknya Pak Hando dapat nilai 90. Kamu mempermalukan Ayah!” cecar Sahar.
“Maafkan aku, Yah. Aku sudah berusaha. Namun, memang Aku tidak sanggup mengerjakan semua soal matematika itu.” Petir mulai membuka suara dari kebisuannya.
“Kamu tidak bisa menjawab karena kamu hanya sibuk menulis puisi kan? Mau jadi apa kamu? Pujangga? Memangnya kamu mau makan pakai kata-kata puitis kamu itu, hah?” kata Mona.
Petir diam kembali. Sahar merobek-robek hasil ulangan harian putranya dan melempar sobekan kertas itu ke wajah Petir. Petir memalingkan wajahnya sedikit ke samping.
“Mana handphone kamu. Berikan kepada Ayah. Kamu tidak boleh main handphone lagi,” ucap Sahar.
“Tapi Ayah, aku tidak pernah menyalahgunakan handphone. Aku menggunakan handphone semata-mata karena ingin mencari materi pelajaran. Tidak dengan hal yang lain,” ucap Petir.
“Bohong tuh Yah, paling dia main game. Sita aja handphonenya,” adu Ven.“Tidak Kak Ven, aku tidak bohong. Aku tidak menggunakan benda itu untuk hal yang tidak penting,” kata Petir berusaha membela diri. Lidahnya yang sedari tadi kelu, kini terasa lentur mengeluarkan kata-kata itu.
“Pokoknya berikan benda itu kepada Ayah!” Sahar menggebrak meja makan untuk kedua kalinya.
“Jangan Ayah, aku membutuhkan handphone itu. Berikan aku kesempatan. Nilai ulangan harianku selanjutnya pasti akan dapat nilai tinggi.” Petir berusaha meyakinkan Ayahnya.
Sahar terlihat menimbang-nimbang ucapan Petir. Dia menarik napas panjang. “Baik, Ayah akan memberikan kamu kesempatan. Kamu harus dapat nilai minimal 90. Kalahkan anak Pak Hando. Jika tidak, kamu akan dapat akibatnya.” Sahar berlalu pergi meninggalkan meja makan.
“Rasain! makanya jadi anak harus patuh!” Mona pun ikut berlalu pergi.
“Mau sampai kapan pun kamu tidak bisa seperti aku dan Kak Mona,” cerca Ven yang mengikuti langkah Mona.
Petir adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Mona adalah anak pertama yang sedang kuliah di sebuah Universitas ternama di Jakarta jurusan kedokteran. Dia mendapat besiswa karena prestasiny yang luar biasa. Sedangkan Ven adalah kakak Petir yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas, kelas dua belas. Dia adalah idola di sekolah karena prestasi dan bakatnya dalam banyak hal seperti basket dan bermain musik. Dia sudah beberapa kali mengikuti olimpiade dan mengharumkan nama sekolah karena meraih juara. Dia pun sering diikutsertakan dalam lomba musik di segala event. Sedangkan Petir adalah anak bungsu yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas kelas sebelas, beda setahun dengan Ven.
Di mata orang-orang Ven dan Petir adalah dua bersaudara bak langit dan bumi. Ven adalah sosok idola, sementara Petir adalah sosok siswa yang selalu jadi bahan bullyan. Ven yang selalu dibanggakan oleh kedua orang tuanya, sementara Petir, selalu di tuntut untuk menjadi sempurna oleh keluarganya. Ven yang selalu dipuji oleh guru-guru, Petir yang selalu ditegur oleh guru-guru. Ven lebih ahli dalam semua bidang studi, sedangkan Petir hanya mempunyai kemampuan rata-rata. Meskipun, dia berkutat dengan buku tiap hari, dia tetap tidak bisa menajadi yang terbaik di kelasnya. Petir hanya menghabiskan waktunya untuk menulis, entah itu cerpen, cerbung, puisi atau novel. Ven selalu menghina Petir jika melihat adiknya itu menekuni hobinya. Bagi Ven, Petir hanya manusia berotak udang yang tak mungkin bisa meraih kesuksesan dimasa depan dengan modal tulisan yang dia buat.
Setelah Ayah dan kedua kakaknya meninggalkan ruang makan, kini hanya Petir dan Lara yang masih duduk di tempat itu. Petir memberanikan diri mengangkat wajahnya untuk menatap perempuan yang duduk tepat di hadapannya itu.
“Ma...,” ucap Petir dengan suara bergetar. Lara hanya diam.
“Ma... maafkan aku karena membuat Ayah marah lagi,” ucap Petir menahan tangisnya. Lebih tepatnya untuk menjaga harga dirinya sebagai seorang anak laki-laki. Dia akan merasa malu jika air matanya jatuh, meski di hadapan ibunya.
“Mama tidak mau melihat Ayahmu marah lagi. Lakukan yang terbaik seperti yang Ayahmu mau.” Lara kini membuka suara dengan raut wajah tegas. Kemudian, dia berdiri dari tempat duduknya dan meninggalkan Petir seorang diri di meja makan. Hanya Lola yang sibuk berseliweran di bawah meja, sesekali dia menggosokkan bulunya yang berwarna orange ke betis Petir. Seolah hewan peliharaan itu tahu apa yang dirasakan oleh Petir saat ini.
Petir mengacak rambutnya kasar. Ia merasa frustasi dengan perlakuan orang tua dan kakak-kakaknya. Seolah, di dunia ini semua orang dituntut untuk menjadi cerdas. Padahal setiap orang memiliki kecerdasannya masing-masing yang menonjol. Mungkin saja Petir, tidak ahli dalam matematika, fisika, kimia, tapi dia mampu merangkai kata yang bisa menyentuh hati orang lain. Tidak semua orang memiliki kelebihan yang sama. Setiap orang punya potensi masing-masing yang bisa dikembangkan. Petir adalah petir, bukan orang lain. Bagaimanapun usaha Petir untuk menjadi orang lain, itu takkan berhasil, sebab Petir memiliki potensinya sendiri untuk menjadi yang terbaik versi dirinya sendiri.
Seandainya orang tua dan kakak-kakaknya mengerti akan hal itu, pasti laki-laki berumur tujuh belas tahun itu akan merasa baik-baik saja. Tidak seperti sekarang, di mana Petir sudah meninggalkan ruang makan dan kini dia telah berada di dalam kamarnya. Dia mematikan lampu kamar dan berdiam dalam kegelapan. Silet tajam sudah berada di genggamannya. Dia mengepalkan telapak tangannya dengan kuat, sehingga darah menetes mengotori ubin cream di dalam ruangan itu. Telapak tangannya memang terluka, tapi entah mengapa hatinya lebih meringis merasakan sakit yang mendalam.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Choice {TAMAT}
Teen FictionDalam hidup, setiap orang punya pilihannya masing-masing dalam segala hal. Setiap orang berhak menentukan apa yang terbaik sebab dia yang mau menjalaninya. Ketika kita punya andil besar dalam hidup, jiwa kita akan merasa tenang. Namun, tidak dengan...