Murka Sang Ayah

5 3 0
                                    


Senja sudah memudar dan kegelapan mulai menyapa. Kegelisahan mulai berpendar, rasa tidak tenang mulai menimpa. Setelah shalat magrib, Petir memutuskan untuk meminta pamit kepada teman-temannya. Meskipun, dia tahu bahwa Gemilang tidak akan mungkin mengizinkannya pulang sebelum tugas mereka selesai. Namun, Petir tak apa mencobanya. Siapa tahu mood gadis itu sedang baik saat ini. Ternyata dugaan Petir benar, Gemilang tidak mengizinkannya meninggalkan tempat.

“Kamu mau pulang? tugas belum selesai! Kamu kok mementingkan diri sendiri sih!” oceh Gemilang.

“Aku tidak mementingkan diri sendiri Ge. Hanya saja....” ucapan Petir terhenti.

“Kamu memang banyak alasan! Ini kerja kelompok, kalian datang sama-sama, yah kalian harus pulang sama-sama dong!” ucap Gemilang.

“Tapi, aku sudah memberikan sumbangsih ide. Kan tugas itu tinggal diedit aja susunannya. Pas nanti kita mau latihan drama, aku akan datang kok,” ucap Petir.

“Enggak! Kamu enggak boleh pulang sebelum semuanya tuntas,” tegas Gemilang. Petir yang tadinya berdiri, akhirnya duduk kembali.

Teman-temannya yang lain hanya menatap mereka. Mereka tidak tahu mengapa Petir sangat terburu-buru ingin pulang, seperti anak gadis yang sangat menjaga diri.

Petir merasa bahwa dia sudah keluar rumah berjam-jam. Dia sudah menebak ketika tiba di rumah nanti, pasti Ayah dan saudara-saudaranya akan menghakimi dirinya. Namun, karena Gemilang melarangnya pulang dan demi kebersamaan menyelesaikan tugas. Dia tetap tinggal sampai tugasnya selesai. Dia memang harus memilih salah satunya, antara tugas dan rumah. Semoga pilihannya kali ini benar. Dia sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi di rumahnya. Dia harus berani menghadapi segala kemungkinan buruk yang terjadi. Dengan sigap, Petir berusaha sekuat tenaga untuk membantu teman-temannya menyelesaikan tugas itu. Alhasil, tugas itu selesai pukul 22.00, sudah lumayan larut bagi Petir.

Setibanya di rumah, Petir melangkah masuk ke ruang tamu. Keadaan sepi, tak ada siapa pun. Dia berharap semua penghuni rumah sudah tidur. Tak apa jika besok pagi dia diadili. Setidaknya perasannya akan lebih baik besok pagi. Petir berjalan menuju kamarnya dan membuka pintu kamar. Dia menyalakan lampu kamar dan melihat Sahar, Sang Ayah sudah berdiri di sana, tepatnya di depan lemari pakaian.

“Ayah,” desis Petir dengan jantung yang mulai berdegup kencang. Dia yakin bahwa saat ini amarah Ayahnya mencuat keluar. Itu tampak jelas dari sorot matanya yang dizsinari oleh cahaya lampu temaram.
Sahar berjalan menghampiri Petir dengan pelan. Setelah jarak satu meter mengantarainya dengan putranya itu, Sahar menghentikan langkahnya. Dia diam sejenak menatap Petir. Kemudian, secara kasar dia memukul kepala Petir dengan tangannya. Petir tidak bergerak sedikit pun. Dia hanya menahan sakit akibat dari pukulan Sahar yang lumayan keras.

“Dari mana kamu?” bentak Sahar dengan nada suara tinggi.

“Dari rumah teman, Ayah,” ucap Petir dengan suara pelan.

“Anak nakal! Keluar tidak minta izin! Handphone tidak aktif! Kamu berani sama Ayah? Hah?.” Sahar mendorong Petir ke tembok seolah Petir hanya sebuah benda yang tak bisa merasakan sakit apa pun. Kepala petir terbentur di tembok, dan membuahkan memar yang pastinya akan membekas hingga beberapa hari kedepan.

“Maafkan aku Ayah, aku tidak minta izin sama Ayah, aku takut Ayah tidak mengizinkanku keluar,” ucap Petir tanpa memandang Ayahnya. Dia masih bisa berbicara meski badannya kini terasa remuk akibat benturan di tembok itu.

“Apa kamu bilang? kamu benar-benar anak tidak tahu diuntung!.” Sahar menendang betis Petir. Petir duduk dan bersujud di kaki Sahar.

“Maafkan aku Ayah,” ucap Petir lirih.
Sahar kembali menendang kepada Petir. Sakitnya tak terkalahnya. “Anak tidak tau diri!”

Petir hanya diam. Dia berusaha menutupi kepalanya dengan tangannya.

“Berikan handphone kamu kepada Ayah!” hardik Sahar.

“Handphone?” Petir mengangkat kepalanya dan menatap Ayahnya sekilas kemudian dia duduk dan bergegas mencari benda itu di dalam tasnya. Lalu memberikannya kepada Sahar. Sahar secara kasar merebut benda itu dari tangan Petir.

“Mulai sekarang, kamu tidak akan main handphone lagi!” sebelum Sahar meninggalkan kamar Petir, dia menampar putranya dengan tamparan yang keras berhasil membuat bibir petir berdarah.
Di depan pintu Lara berdiri menyaksikan kejadian itu. Dia berdiri mematung. Tangannya mengepal. Napasnya naik turun. Sepertinya dia menahan amarah. Tapi, entah kepada siapa, apakah amarahnya ditujukan kepada putranya atau suaminya.

Sahar menatap Lara yang dia temui di ambang pintu. Mata Sahara begitu berapi-api menatap Lara.
“Urus anak kamu! Ajari dia agar tidak menjadi anak kurang ajar!” ucap Sahara kemudian berlalu pergi.

Lara hanya berdiri di sana sekian menit, menatap Petir yang masih berlutut di tempatnya. Ada rasa iba yang terpancar dari sorot matanya. Namun, ia berusaha membungkusnya dengan wajah datar. Kemudian, dia pergi meninggalkan tempat itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Tepat pukul 02.00 dini hari, Petir masih duduk di tempat tidurnya, spring bed tanpa ranjang. Dia menyandarkan kepalanya di tembok. Tatapannya kosong. Luka di bibirnya masih terlihat basah. Keningnya yang terbentur tak dia pedulikan.

“Mengapa aku selemah ini? Aku tidak bisa melawan Ayah. Padahal aku bukan anak kecil lagi. Mengapa saat aku ingin melawan Ayah, hatiku selalu menciut? Mengapa aku selalu merasa takut? Apa aku pergi saja dari rumah ini? lalu, bagaimana dengan ibu? Argh.” Dia mengacak rambutnya seolah melampiaskan rasa frustrasinya.

Kekacauan di dalam hatinya begitu besar. Petir ingin sekali melawan Ayahnya ketika Ayahnya selalu menghalangi langkahnya. Namun, dia selalu merasa tidak sanggup. Entah apa yang sedang menyelimuti dirinya. Rasa takut? Rasa khawatir? Atau adakah hal lain yang membuatnya tak bisa melakukan apa pun. Entahlah, hanya waktu yang bisa mengungkap semuanya.
Hari berganti pagi. Petir tak bisa terlelap. Tubuhnya terasa remuk dan luka di kening dan bibirnya sangat nyeri. Usai melaksanakan salat subuh, dia membaca Al-Quran dengan harapan hatinya yang terluka bisa terobati. Petir memang termasuk anak yang rajin beribadah. Setiap usai melaksanakan salat magrib dan subuh, dia selalu menyempatkan diri membaca ayat-ayat Allah. Berbeda dengan kedua kakaknya yang sudah melupakan aktivitas itu. Kadang, Petir ingin menasihati mereka. Namun, dia selalu urungkan niatnya, sebab Mona dan Ven pasti hanya akan membentak dan mengejek Petir sebagai orang yang sok tahu dan sok alim. Mona dan Ven hanya sibuk mengurus dunia yakni prestasi dan popularitas. Mereka sudah lupa bahwa yang mendatangkan prestasi dan popularitas itu adalah Allah.
Setelah berseragam lengkap, Petir menuju ruang keluarga untuk sarapan. Dia duduk dan hendak menyantap makanan yang biasa disiapkan untuknya oleh asisten rumah tangga di rumah itu. Namun, tak ada makanan apa pun untuk Petir. Mona dan Ven sibuk dengan nasi gorengnya. Lara sudah mengunyah roti bakar. Sementara Sahar mencecap kopi pahit di hadapannya.

“Kamu ke sini mau ngapain?” tanya Mona.

“Mau sarapan kak,” jawab Petir.

“Kamu mau makan angin? Enggak liat apa, di depan kamu tidak ada makanan!” ujar Mona.

Petir hanya menunduk. Dia tahu persis, ketika dia membuat kesalahan yang membuat Ayahnya murka, tak ada makanan untuknya selama tiga hari ke depan. Dia hanya bisa menarik napas panjang.

“Ya udah, Petir berangkat ke sekolah dulu.” Dia menyalami mamanya. Kemudian beralih kepada ayahnya yang tidak meliriknya sama sekali. Dia memutuskan meninggalkan tempat itu dan memilih untuk ke sekolah lebih awal daripada dia tetap tinggal dan menjadi bahan bullyan saudaranya.

*****

Choice {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang