Rasa Aneh

9 3 1
                                    


“Hai,” sapa Ven dengan ramah. Kini Ven sedang melancarkan aksinya untuk mendekati Gemilang. Gadis itu menatap Ven dalam diam. Dia tahu bahwa laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya adalah kakak Petir. Laki-laki yang sifat serta penampilannya sangat jauh berbeda dengan Petir. Dia adalah sosok yang nyaris sempurna, wajah tampan dan otak cemerlang.

Gemilang tersenyum dan membalas sapaan Ven, “Iya.”

“Kamu Gemilang kan?” tanya Ven.

“Iya. Ada apa yah?” tanya Gemilang.

“Hmm, rupanya kamu lebih cantik jika dipandang sedekat ini,” ucap Ven menggoda Gemilang. Gemilang mengerutkan kening ketika Ven melontarkan kalimat itu. Dia hanya berdengus dalam hati.

“Oh.” Katanya berlalu pergi meninggalkan Ven. Sementara Ray, sahabatnya yang sedari tadi diam hanya berdiri mematung memandangi Ven. Dia tidak mau melewatkan kesempatan untuk menatap idola di sekolah itu. Air liurnya sudah hampir jatuh karena jatuh cinta.

“Ray, kamu masih mau tinggal di situ?” Gemilang berbalik meneriaki Raya setelah melangkah beberapa langkah, tapi dia baru sadar bahwa Raya masih tinggal di tempat di mana Ven berdiri. Saat menatap Raya, matanya menerobos melihat Petir yang tengah memandanginya tepat di belakang Raya dengan Jarak beberapa langkah.

“Eh, iya. Mari kak.” Raya berjalan sambil melambaikan tangan kepada Ven.

“Ya ampun Ge, Kak Ven itu keren banget,” puji Raya.

“Biasa aja kali,” ucap Gemilang cuek.
Ven memandangi langkah Gemilang hingga menghilang dari pelupuk matanya.

Dia tersenyum dan berkata dalam hati, “Liat aja, aku akan mendapatkan kamu!”.
Setelah Ven meninggalkan tempat itu, Cahaya dan Petir pun meninggalkan tempat dan berjalan menuju kantin. Waktu istirahat tersisa 15 menit lagi. Cahaya menggunakannya untuk mencari tahup penyebab mengapa Petir tidak datang kemarin sore dan mengapa dia datang terlambat pagi ini.

“Kamu kok enggak datang kemarin sore Tir? Apa karena kita ngerjain tugas kelompok di rumah Gemilang?” tanya Cahaya ketika mereka sudah duduk di kursi kantin.

“Aku... aku... aku sakit perut Ya, jadi aku enggak bisa ke mana-mana kemarin,” ucap Petir berbohong kepada Cahaya. Namun, Cahaya yang sudah lumayan lama mengenal Petir tahu kapan Petir jujur dan kapan Petir sedang menyembunyikan sesuatu. Hal itu terlihat jelas ketika Petir hanya menunduk tanpa melihat mata Cahaya.

“Kamu bohong kan?” kata Cahaya to the point.

“Enggak, aku serius Ya. Aku memang sakit perut kemarin. Bawaannya pengen baring terus.” Petir setengah tersenyum.

“Oh, begitu.” Cahaya memaklumi Petir. Petir mungkin punya hal yang tidak bisa diceritakan kepadanya.

“Lantas, mengapa kamu datang telat tadi pagi?” tanya Cahaya lagi seolah dia adalah wartawan yang tidak kehabisan pertanyaan.

“Yah, itu karena aku sakit perut jadi telat bangun,” ucap Petir berbohong untuk kedua kalinya. “Maafkan aku Ya, aku tidak bermaksud membohongi kamu. Hanya saja aku malu menceritakan kondisiku yang sebenarnya. Aku malu karena aku sudah jadi pengecut,” batin Petir.

Cahaya mengangguk. Dia mulai berpikir mungkin saja apa yang dikatakan Petir benar, sebab semua jawabannya terdengar saling terpaut.

“Oh begitu. Eh, ngomong-ngomong kamu mau makan apa?” Cahaya mengalihkan pembicaraannya sambil menatap menu yang sedari tadi mengintainya di atas meja.

“Hmm, minum aja deh. Sebentar lagi kita masuk kelas. Nanti aku enggak bisa habisin kalau aku pesen makanan berat,” ucap Petir.

“Biar aku yang habisin.” Cahaya tertawa lepas.

“Atau kamu mau makan sepiring berdua denganku?” tanya Petir.

“Hah?” Cahaya melongo. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang lagi. Entah berapa kali Petir harus membuatnya berdebar seperti ini. “Ya ampun, Petir apa-apaan sih. Please deh jangan goda aku kayak gitu dong. Kan aku jadi deg-degan,” batin Cahaya sambil memainkan ujung jilbabnya.

“Kamu kenapa Ya?” tanya Petir.

“Eh, enggak. Ya udah deh aku pesen minuman juga. Nanti program dietku gagal gara-gara makan makanan berat,” ucap Cahaya dengan raut wajah malu.

“Kamu diet? Kamu mau nurunin berat badan?” tanya Petir.

“Iya, aku kegemukan soalnya,” kata Cahaya.

“Kamu sudah cantik kok dengan postur tubuh kamu sekarang,” kata Petir sambil meneguk es teh yang sudah ada di hadapannya.

“Kamu serius?” tanya Cahaya dengan nada pelan.

“Iya,” ucap Petir dengan raut wajah serius.

Cahaya tersipu malu sambil mengaduk es teh di hadapannya.

“Kamu enggak suka kalau aku bilang kamu cantik?”

“Suka kok, suka banget,” ucap Cahaya dengan penuh kejujuran. “Eh, maksud aku, yah aku seneng kalau orang-orang di sekelilingku bilang aku cantik,” ucapnya dengan cepat seolah menutupi rasa bahagianya karena dipuji oleh Petir.
Petir hanya tersenyum sambil mengangguk. Lesung pipinya yang dalam semakin membuat Cahaya terpesona.

*****

Sepulang sekolah, Gemilang berdiri di depan pintu gerbang sekolah. Dia menunggu Pak Toni, supir pribadinya. Hari ini Gemilang tidak mengendarai mobilnya sebab mobil kesayangannya harus masuk bengkel. Pak Toni dipercayakan untuk membawa mobil tersebut untuk diperbaiki dan harus kembali berfungsi dengan baik ketika sekolah sudah berakhir.

“Maaf non, bapak telat. Non dari tadi nunggunya yah?” tanya Pak Toni setelah keluar dari mobil dan menghampiri Gemilang.

“Iya, lumayan buat aku berkeringat. Mana kuncinya?” tanya Gemilang sambil menengadahkan tangannya.
Pak Toni menyerahkan kunci mobil kepada Gemilang dan bertanya, “Non, mau ke mana?”

“Jalan-jalan dong Pak. Bapak enggak usah ikut yah, Bapak pulang aja, aku akan panggilin taksi.” Gemilang kini melambaikan tangan untuk menghentikan sebuah taksi. “Silahkan naik Pak. Kalau Mama cariin aku, bilang aja ada les tambahan yah,” ucap Gemilang.

“Tapi Non....”

“Pak Toni naik aja deh,” Gemilang memaksa laki-laki paruh baya itu masuk ke dalam taksi, kemudian meminta kepada supir taksi untuk mengantar Pak Toni ke alamat rumahnya.

“Hati-hati Pak.” Gemilang melambaikan tangan.

“Kamu tega menyuruh supir kamu pulang Ge,” suara itu mengagetkan Gemilang. Dia berbalik dan melihat sosok itu berdiri di hadapannya yang tak lain ada Petir.

“Memangnya kenapa? Mau-mau aku dong!”  ucap Gemilang sinis.
Petir hanya mengangguk kemudian berlalu pergi meninggalkan Gemilang.

“Ngapain sih dia. Tiba-tiba datang, tiba-tiba pergi, dasar aneh!” Gemilang menggerutu. Dia kemudian masuk ke dalam mobilnya dan mengendarai mobil itu dengan pelan. Dia seolah mengikuti langkah Petir yang sedang berjalan kaki.

“Dia mau ke mana? Kok jalan kaki? Sepeda buntutnya di kemanakan? Panas-panas gini jalan kaki, ya ampun, dasar aneh,” batin Gemilang. Setelah melewati posisi Petir, Gemilang menghentikan mobilnya.
“Hei, ayo masuk,” teriak Gemilang dari dalam mobil.

“Aku.” Petir menunjuk dirinya.

“Iya, kamu siapa lagi? Ayo naik mumpung aku lagi baik hati,” ucap Gemilang.

Petir mempertimbangkan dengan matang. Dia melihat cuaca sangat panas. Uang sakunya pun tak cukup untuk membayar taksi. Jikalau pun setelah tiba di rumah dan dia meminta uang untuk membayar taksi, pasti Mamanya hanya memandanginya tanpa ekspresi. Dia memutuskan untuk masuk ke dalam mobil Gemilang. Dia duduk di samping gadis itu. Dia melirik Gemilang sekilas. Dia tidak tahu kata-kata apa yang layak dia ucapkan saat ini.

“Kamu pikir aku selalu jahat?” tanya Gemilang setelah Petir duduk di sampingnya.

Petir hanya diam tak merespon pertanyaan Gemilang.

“Sepeda buntut kamu mana? Kok jalan kaki?” tanya Gemilang lagi.

“Aku enggak naik sepeda hari ini. Aku bareng kak Ven tadi pagi,” ucap Petir.

“Oh, lantas mengapa kamu pulang jalan kaki? Kamu enggak bareng kakak kamu lagi?” tanya Gemilang sambil melirik bekas luka di lengan Petir serta buku-buku jarinya.

“Mungkin Kak Ven sudah pulang,” kata Petir.

“Kok kamu enggak naik taksi?”
Petir hanya diam. Dia tidak mungkin mengatakan kepada Gemilang bahwa dia tidak punya uang saku. Pasti Gemilang akan menertawainya. “Tadi aku mau naik taksi, hanya saja kamu memintaku naik ke mobilmu, jadi pasti aku memilih yang gratis. Petir menggosok tengkuknya sambil melirik Gemilang sesekali.

“Rupanya kamu suka yang gratisan juga.” Gemilang tersenyum. Senyuman yang sangat menawan. Petir sempat tak berkedip beberapa detik melihat senyuman  yang menurutnya tidak ada duanya di dunia ini. Baru kali ini dia melihat gadis itu tersenyum, meskipun hanya terlihat dari samping, tapi pesonanya tetap tajam. Seandainya saja sejak dari dulu Gemilang selalu tersenyum, mungkin keadaan akan berbeda. Namun, kemungkinan apa itu? Hanya Allah yang tahu.

Suasana di dalam mobil masih terasa panas. Meskipun, AC mobil sudah dinyalakan. Belum lagi kemacetan sedang menguasai lalu lintas. Gemilang sudah berapa kali menggerutu menyumpahi mobil yang begitu lamban berjalan di depannya. Sesekali dia memukul stir mobilnya. Dia juga mengibas-ngibaskan tangannya karena merasa gerah. Rambut sebahunya tersingkap ke belakang, memperlihatkan leher jenjangnya. Petir yang masih melirik Gemilang secara diam-diam menarik pandangan secepat mungkin. Dia tidak mau matanya menjadi rusak karena lama-lama memandangi gadis di sampingnya itu. Petir memilih untuk memandangi deretan pohon yang berdiri kokoh di pinggir jalan. Hingga Petir tidak sadar bahwa mereka telah lepas dari kemacetan dan kini sudah berada di depan rumah mereka.

“Kok kamu tahu alamatku?” tanya Petir.

“Aku tahu dari Kak Ven,” ucap Gemilang.

“Kak Ven? Kalian deket?” tanya Petir dengan hati-hati.

“Kenapa emangnya? Kok kamu kepo? Kalau aku deket dengan Kak Ven, kamu cemburu?”

Tiba-tiba wajah Petir terasa panas. Dia menunduk dan menyembunyikan ekspresi kagetnya. Entah mengapa dia merasa aneh ketika Gemilang mengucapkan kalimat itu kepadanya. Namun, dia berusaha menyembunyikannya dan memilih turun dari mobil.

“Ya udah, terima kasih yah Ge, Assalamu ‘alaikum,” ucap Petir kemudian berlalu pergi.

Gemilang menatap Petir membuka pagar rumahnya, hingga laki-laki itu hilang di ambang pagar. Gemilang tidak tahu, bahwa sepasang mata sedang memandanginya dari balkon rumah itu. Mata tajam yang menyimpan emosi.

Choice {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang