Belum Memaknai Rasa

10 5 2
                                    


Petir berjalan ke sekolah dengan lemas. Tak ada satu pun makanan yang mengisi perutnya pagi ini. Dia ingin membeli jajanan, tapi uang sakunya sudah tidak cukup. Sungguh, dia merasa hidupnya sangat menyedihkan. 

Dia masuk ke kelas dan mencari keberadaan Cahaya. Dia berharap Cahaya bisa meminjaminya uang untuk membeli sepotong roti sebagai pengisi perut untuk sementara. Namun, rupanya sosok gadis itu belum datang. Matanya hanya menangkap sosok Gemilang yang tengah menatapnya pula ketika dia telah berdiri di ambang pintu. Apakah dia seharusnya meminta tolong kepada gemilang saja untuk dipinjami uang pembeli roti? Petir mengurungkan niatnya dan memilih duduk. Jika dia melakukan itu, mungkin Gemilang akan mengejeknya dan semakin membencinya. Akh, sungguh menyedihkan dirinya. Hatinya terasa sangat meradang. Petir menancapkan ujung jari telunjuknya di atas paku yang mencuat keluar di meja. Hingga, darah keluar dari ujung jarinya. Dia tersenyum tipis melihat darah itu. Hanya setetes, tapi itu cukup membuat dirinya nyaman daripada sebelumnya.

“Eh, Petir sudah datang tuh,” bisik Raya kepada Gemilang yang masih menatap Petir yang tengah tersenyum tipis memandangi ujung jari telunjuknya.
Gemilang hanya diam. Dia menatap Petir yang wajahnya dihiasi luka dengan kening berkerut. “Kenapa dia terluka lagi? Ada apa dengan Petir? Apa dia seorang bodyguard?” tebak Gemilang dalam hati.

“Hei, kamu kenapa memandangi Petir seperti itu, kamu jatuh cinta yah sama Petir?” suara dan tawa Raya menggema begitu besar yang berhasil membuat penghuni kelas itu berbalik kepada Gemilang, termasuk Petir. Petir langsung berhenti menancapkan ujung jarinya ke paku itu. Dia beralih menatap Gemilang.

“Apaan sih, siapa yang jatuh cinta sama dia. Ih, tipeku enggak seburuk itu!” ucap Gemilang merendahkan Petir. Dia kini tidak menatap Petir melainkan menatap Raya yang kini tertawa di hadapannya.
Dia menyembunyikan sorot matanya dari Petir.

Petir hanya menunduk kembali dan fokus menatap paku di hadapannya yang masih dihiasi oleh setetes darahnya. Di dalam benaknya terbesit pertanyaan, “Apa aku seburuk itu di matanya? Mungkinkah suatu hari pandangannya tentangku akan berubah? Tapi kapan?” Setelah beberapa detik berlalu, Petir menggelengkan kepalanya dengan keras. “Mengapa aku harus memikirkan hal itu? Memangnya kenapa kalau Gemilang memandangku buruk? Tidak ada pengaruhnya sama sekali dalam hidup kami. Mengapa juga aku berharap pandangannya tentangku bisa berubah? Lagi pula sudah sekian lama sudah terbukti bahwa memang aku buruk di mata gadis itu, sebab bulliannya kepadaku setiap ada kesempatan jadi bukti yang kuat. Aku tak boleh berharap lebih,” ucapnya dalam hati.

“Apa Petir seburuk itu di mata kamu Ge? Atau justru kebalikannya? Hayoo,” Raya mengompori Gemilang.

“Apaan sih Ray. Kalau buruk yah akan tetap buruk,” Gemilang menggerutu.

“Siapa tahu kalian jodoh loh, kalau garis takdir mengatakan kalian jodoh, keburukan akan berubah  menjadi hal yang memesona loh,” ujar Raya.

“Ish, kamu menyontek quote dari mana. Jelek banget,” ejek Gemilang yang mulai tertawa mendengar guyonan Raya.

Di tengah tawa mereka, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh. Ternyata dia adalah Petir. Semua orang yang ada di ruangan itu berbalik. Gemilang kaget bukan kepalang. Dia tidak habis pikir Petir bisa jatuh dari bangku tempat di mana dia duduk dan pingsan.

“Dia kenapa Ray?” tanya Gemilang sambil menggoyangkan lengan Raya.
Raya hanya menggeleng kemudian mengangkat bahunya. Semua teman sekelas Petir menghampirinya dan membopongnya ke atas meja.

“Dia pingsan,” ucap Oni.

“Ayo bawa ke UKS,” anjur Gemilang antusias. Hal itu membuat Raya hanya menggaruk kepala.

“Kenapa kalian bengong? Cepetan bawa Petir ke UKS. Nanti keburu bu Sinta datang, teman-teman yang lain enggak bisa belajar karena Petir masih di sini,” ucap Gemilang setengah teriak.

Choice {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang