Cinta atau Karir

8 4 0
                                    

Seminggu berlalu. Akhirnya tiba waktunya Gemilang dan Mela untuk kembali ke Indonesia. Mereka akan menghabiskan beberapa hari untuk menghadiri pesta pernikahan Farah, sepupu Gemilang. Ketika turun dari bandara, Gemilang sudah melihat sosok itu, gadis cerewet yang sudah lama menjadi sahabatnya.

“Gemilang.” Raya berhambur memeluk sahabatnya.

“Ray, ya ampun, kamu agak gemukan sekarang?” kata Gemilang memandangi Raya dari ujung kaki hingga rambut.

“Jangan ngejek dong, Ge. Aku memang agak gemukan kan aku sudah ibu-ibu, Jadi wajar kalau tubuh langsing semampaiku menghilang,” ucap Raya sambil mencontohkan ekspresi orang sedih. “Eh tante, makin cantik aja,” Raya menyapa Ibu Gemilang ketika matanya berpindah. Perempuan cantik itu sedari tadi hanya tersenyum melihat tingkah Raya yang tak berubah sedikit pun sejak dia masih remaja.

“Iya dong, meskipun sudah berumur, tapi harus tetap cantik,” ucap Mela.

“Hmmm, sudah datang rupanya." suara maskulin membuat Gemilang dan Ibunya berpaling ke sumber suara. Seorang laki-lali tampan dengan dandanan rapinya berdiri di hadapan mereka. Kulitnya glowing dan lesung pipinya semakin membuat siapapun yang melihatnya terpesona.

“Petir,” ucap Gemilang lirih memandangi laki-laki itu sekilas. Kemudian dia menarik tatapannya untuk menyembunyikan semburat pink yang mulai muncul secara samar di kedua pipinya.

“Petir? sepertinya Ibu pernah dengar nama itu,” ucap Mela menatap Petir.

“Perkenalkan Ge, Tante. Ini, bosku di perusahaan. Namanya Pak Petir. Ganteng kan,” puji Raya.

Gemilang tersenyum dalam keadaan masih menunduk. Dia tidak berani menatap Petir yang kini sepertinya juga malu menatapnya.

“Iya ganteng. Untung saja kamu sudah menikah Ray, kalau tidak pasti kamu sudah menggoda bosmu ini,” canda Mela.

Petir dan Gemilang tertawa kecil. Sudut mata Gemilang memandang Petir yang sudah banyak berubah. Sepertinya waktu telah mengubah semuanya. Begitu pun dengan Petir, dia menatap Gemilang yang kini semakin anggun. Sepertinya perempuan itu juga sudah pandai menjaga pandangan. Jilbabnya juga sudah menjulur turun hingga di perut. Senyumnya lembut dan tidak berlebihan. Wajahnya tak berpoles make up tapi enak di pandang. Sungguh, dia sebuah maha karya Allah yang nyaris sempurna.

“Jadi, kalian datang ke sini untuk menjemput kami?” tanya Mela.

“Iya tante. Aku mau ke sini sendiri. Tapi, pak Bos tidak mengizinkan. Jadi, sekalian aja deh aku ajakin. Skefo tante, dia teman sekelasku di masa SMA loh.” Raya mendekatkan mulutnya di samping telinga Mela sambil berbisik.

“Oh yah? oh, tante baru ingat, dulu namanya pernah disebutkan oleh Gemilang. Waktu itu kita bahas apa yah sayang?" Mela bertanya kepada Gemilang.

Seketika wajah Gemilang merah bak kepiting rebus, “Ibu, apaan sih. Aku enggak pernah menyebutkan namanya.” ucap Gemilang berusaha menutupi. Kini dia merasa sangat malu dengan Petir.

“Ibu enggak mengungkit masa lalu kok. Kebetulan saja Ibu ingat persis nama Petir sebab namanya unik sih.” Mela menatap Petir yang sedang tersenyum.

Tidak bisa dipungkiri bahwa memang rasa bahagia menyelimuti hati Petir. Apalagi sekarang dia tahu bahwa, sepertinya sejak dulu, perempuan itu sudah menyimpan rasa untuknya.

“Bukan hanya di depan tante dia menyebutkan nama Petir. Di depanku, malah dia menyebutkan nama bosku ini berjuta kali. Seandainya aku bisa ,” cecar Raya.

“Ray, sudah dong akh. Ayo kita jalan.” Gemilang jalan mendahului mereka semua. Petir tetap tidak bisa menghilangkan ukiran senyuman di bibirnya.

Choice {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang