Pagi sangat cerah. Mentari menyambut dengan cahaya merah. Burung camar menyapa dengan ramah. Udara segar berlalu lalang seolah sudah hapal arah. Petir sudah berada di sekolah, tepatnya di SMA Bakti. Rambut jatuhnya sudah terlihat menutupi alisnya. Kacamatanya tetap setia menghiasi wajahnya. Dia berjalan sambil menendang gelas minuman bekas. Sesekali dia memperbaiki posisi kacamatanya yang longgar.
"Petir, mengapa kamu memasukkan sampah itu di dalam area sekolah? Buang sana!" bentak Pak Tomo, guru BK di sekolah itu yang tiba-tiba muncul di belakang Petir.
"Eh, iya pak, maaf." Petir membungkuk dan mengambil sampah itu. Kemudian berjalan cepat untuk mencari tempat sampah.
"Wah, si kutu buku sudah datang nih. Pagi-pagi udah dapat teguran," ejek Gemilang yang berpapasan dengannya.
Gemilang adalah teman sekelas Petir. Dia adalah gadis cerdas yang fashionable. Tubuhnya tinggi semampai dengan kulit hitam manis. Hidungnya mancung bak orang india dengan bibir tipis semerah delima. Matanya selalu dihiasi dengan softlens berwarna coklat. Dia adalah gadis idola yang disukai oleh banyak kaum adam. Dia adalah salah satu siswi beragama islam yang sampai saat ini tidak mengenakan jilbab di sekolah itu. Padahal, di SMA Bakti, semua siswi yang beragama islam diwajibkan untuk mengenakan jilbab. Namun, entah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu, sehingga dia tidak mau berpakaian lebih sopan. Dia lebih nyaman mengenakan seragam putih abu-abu dengan setelah rok selutut. Rambut sebahunya yang hitam selalu terurai indah.
"Iya Ge, pagi-pagi udah bawa sampah masuk ke sekolah," ucap Raya, sahabat Gemilang. Gadis itu telah mengenakan jilbab, tapi baju seragamnya masih ketat membentuk lekuk tubuh. Seolah jilbab hanya jadi tuntutan orang tua dan pihak sekolah.
Petir hanya diam mematung memandangi kedua gadis itu yang berdiri di hadapannya. Entah nasib apa lagi yang akan menimpanya hari ini, sebab pagi-pagi buta dia sudah merasa sial.
"Kan dia bawa temennya Ray," ucap Gemilang sambil tertawa diikuti oleh Raya.
Petir hanya menggeleng kepala. Ini bukan pertama kalinya dia diejek oleh Gemilang. Ini sudah keseribu kalinya. Entah mengapa Gemilang suka mengganggu Petir. Seolah gadis itu tidak suka melihat Petir hidup bahagia. Petir selalu berusaha tetap tenang. Dia tidak mau menambah beban pikirannya. Di rumah dia dituntut jadi sempurna, di sekolah dia di bully oleh Gemilang. Sungguh nahas nasibnya.
"Kenapa sih kamu selalu diam kalau diajak ngomong. Buka mulut dong!" paksa Gemilang.
"Aku tidak punya kata-kata yang bagus untuk kamu Ge," ucap Petir menohok hati Gemilang.
"Apa kamu bilang? Oh, jadi kamu pikir kata-kata untukku itu adalah kata-kata yang jelek doang?" hardik Gemilang.
"Bukan gitu Ge...." Petir menghentikan ucapannya.
"Bilang aja deh!" bentak Gemilang.
"Hai, Tir," sapa seorang gadis cantik nan ayu. Jilbab putihnya terulur di depan dada. Kulitnya putih mulus tanpa cacat. Wajahnya dihiasi oleh hidung bangir dan alis tebal. Dia adalah Cahaya, sahabat Petir sejak kelas sepuluh.
"Eh, bidadari kesiangannya udah datang tuh," kata Gemilang dengan nada mengejek lagi.
"Iya, hebat yah. Bidadarinya selalu datang tepat waktu," ucap Raya.
"Kalian gangguin Petir lagi yah?" tanya Cahaya.
"Siapa yang ganggu, kita cuma berpapasang doang kok. Dia jalan sendirian jadi kita sapa deh. Kami kan ramah." ucap Gemilang.
"Bilang aja deh, kamu memang suka mengganggu orang Ge, kapan sih kamu mau berubah?" tanya Cahaya.
"Kalau aku mau ganggu orang yah aku pilih-pilih dong. Habisnya Petir enak digangguin." Gemilang dan Raya tertawa bersamaan.
"Memangnya makanan, enak gitu," ucap Cahaya.
"Sudahlah Aya, kita pergi aja dari sini," Petir mengajak Cahaya meninggalkan tempat itu.
"Huh, dasar nenek lampir!" kata Cahaya sembari berjalan meninggalkan Gemilang dan Raya.
"Ih, kenapa sih dia," kata Gemilang sambil mengerutkan kening.
"Mungkin lagi telat," Raya tertawa. Sementara Gemilang hanya berdengus kesal.
Setelah langkah Petir dan Cahaya sudah menjauh dari tempat di mana Gemilang dan Raya berdiri, mereka singgah sejenak di sebuah bangku di depan kelas mereka. Jam menunjukkan pukul 06.45, jadi kurang lebih lima belas menit lagi, apel pagi akan dilaksanakan. Lumayan buat mereka untuk saling bertukar cerita.
"Mereka ngatain apa lagi ke kamu Tir?" tanya Cahaya dengan wajah khawatir.
"Enggak Aya. Mereka hanya menyapaku saja kok." Petir mengeluarkan buku dari dalam tasnya.
"Pasti mereka mengejek kamu lagi kan, memang dasar yah nenek lampir itu, jahat!" Cahaya menggerutu.
"Enggak kok Ya," ucap Petir tenang.
"Kamu jangan belain dia terus dong. Kan mereka selalu kayak gitu. Merasa paling hebat di sekolah ini. Mentang-mentang mereka anak pejabat, emang bisa seenaknya gitu!" Cahaya mengomel.
"Sudahlah, enggak usah marah-marah pagi-pagi. Marah dipagi hari katanya bisa mengurangi kecantikan loh," ucap Petir sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang dalam.
Semburat merah muda terlihat mencuat di kedua sisi pipi Cahaya. "Ya ampun, jadi Petir menganggap aku cantik," batin Cahaya. Ia tersipu malu sambil memainkan ujung jilbab putihnya.
"Aya, kok senyum sendiri sih?" tanya Petir.
"Hmm, anu... ehh... itu...." Aya jadi salah tingkah.
"Kok wajah kamu memerah tiba-tiba?" tanya Petir yang memandangi wajah Cahaya. Sungguh, dia adalah laki-laki yang tidak tahu ekspresi seorang perempuan jika sedang tersipu karena jantungnya berdetak kencang.
"Oh, ini.. hmmm," Cahaya memegang pipinya yang memang sudah terasa panas ditambah kedua telapak tangannya yang kini sedingin es.
"Aku ke toilet dulu yah Tir, mau benerin make up." Cahaya berlalu pergi yang membuat Petir hanya garuk-garuk kepala merasa kebingungan akan tingkah sahabatnya itu.
"Dia kenapa yah, apa aku salah ucap?" tanya Petir kepada dirinya sendiri.
Petir tidak pernah tahu isi hati Cahaya yang sebenarnya. Sebenarnya bukan tidak tahu, hanya saja Petir tidak peka dengan apa yang selalu Cahaya berikan kepadanya. Saat Gemilang dan Raya serta Ven saudaranya sendiri datang mem-bully-nya di sekolah, Cahaya yang selalu siaga di sampingnya. Meski, Cahaya tidak mempunyai kekuatan lebih, paling tidak Cahaya memiliki level yang sama dengan Gemilang, jadi Gemilang dan Ven serta Raya memiliki keseganan terhadap Cahaya.
Petir tidak fokus dengan cinta. Dia hanya fokus menunjukkan kepada kedua orang tuanya bahwa dia bisa menyamai kedua kakaknya. Meski usahanya selalu gagal, dia akan tetap selalu mencoba. Dia tidak tahu akhir seperti apa yang akan dia raih. Biar waktu yang menjawab semuanya.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Choice {TAMAT}
Teen FictionDalam hidup, setiap orang punya pilihannya masing-masing dalam segala hal. Setiap orang berhak menentukan apa yang terbaik sebab dia yang mau menjalaninya. Ketika kita punya andil besar dalam hidup, jiwa kita akan merasa tenang. Namun, tidak dengan...