Burung camar sedang bersenda gurau. Siluet mentari sudah hampir tiba di ufuk barat menjemput senja yang memukau, Cahaya, Oni, Rea kembali ke rumah Gemilang untuk melanjutkan menyelesaikan tugas yang kemarin. Ajaibnya, Petir juga hadir. Entah jalan apa yang telah dia lalui sehingga dia bisa sampai di rumah Gemilang.
Petir tengah duduk di sofa tepatnya di ruang tamu Gemilang. Dia duduk di samping Cahaya. Sofa itu memiliki panjang tiga meter, jadi masih ada jarak di antara Petir dan Cahaya. Rea duduk di sebelah Cahaya, di kursi kayu yang artistik. Sementara Oni duduk tepat di depan Cahaya. Saat itu gemilang belum muncul. Gadis itu masih berada di kamarnya. Dia sedang sibuk bermain gawai. Asisten rumah tangganya tergopoh-gopoh ke kamar majikannya itu untuk memberitahu bahwa teman-temannya sudah datang. Dengan kaos oblong dan celana pendek Gemilang keluar kamar dengan penuh percaya diri.
“Hai gaess,” sapa Gemilang kepada teman-temannya dengan wajah ceria. Seolah saat ini moodnya sedang bagus. Matanya berhenti seketika, senyum cerianya memudar saat melihat Petir duduk di sofa ruang tamunya. “Oh, rupanya dia datang juga. Untung deh, kalau enggak, dia akan keluar dari kelompok tiga. Apa mungkin karena aku anterin dia sampai ke rumahnya tadi siang?” batinnya.
“Hai Ge,” ucap Oni. “Dari tadi kita nungguin kamu,” sambung Oni.
“Oh yah? kalian datang terlalu cepat sih, aku kan bilang kalian bisa datang pukul 15.00, ini baru pukul 14.40 loh gaess,” ucap Gemilang.
“Supaya kita bisa berlama-lama di rumah kamu. Lumayan kita bisa makan sepuasnya.” Rea tertawa sambil menatap berbagai macam makanan yang ada di hadapannya.
Meskipun Gemilang dikenal sebagai gadis yang judes dan keras kepala, tapi dia adalah sosok yang dermawan. Dia tak segan-segan memberikan apapun yang dia punya kepada orang lain. Apalagi jika dia kedatangan tamu, dia akan memberikan suguhan yang luar biasa untuk tamunya, sebab memang baginya tamu adalah raja.
“Ya udah, karena semua sudah hadir, kita mulai saja kerja tugasnya, biar tugasnya kelar.” Cahaya yang dari tadi diam angkat bicara. Gemilang mengambil tempat di samping Oni tepatnya di hadapan Petir.
“Aya, kamu hari ini cantik tau enggak,” goda Rea.
“Akh, kamu ada-ada saja Re,” kata Cahaya.
“Beneran, aku suka jilbab kamu.” Rea menyentuh jilbab yang menutupi rambut Cahaya.
“Dia pura-pura tuh, Ya, palingan Rea mau minta jilbab kamu, modus tuh,” ucap Oni.
“Ih, apaan sih, aku hanya memuji. Beneran kok. Lagian Cahaya memang cantik. Iya kan Tir?” Rea menatap Petir yang dari tadi hanya diam.
“Heh, iya cantik,” Petir tersenyum.
Gemilang yang matanya tertuju di layar ponsel tiba-tiba teralihkan kepada Petir. Dia menatap Petir yang tersenyum tulus memperlihatkan lesung pipinya. “Ngapain dia tersenyum sih? Ih menjengkelkan,” batin Gemilang memasang ekspresi tidak suka.
“Wah, baru kali ini aku lihat Petir tersenyum. Senyum untuk Cahaya lagi, mau dong disenyumin, Tir,” ucap Oni dengan gaya centil bak perempuan.
“Kalian ke sini mau kerja tugas atau mau memuji Cahaya sampai malam?” sindir Gemilang.
“Eh, jadi lupa, maaf deh Ge, tapi kamu juga cantik kok, iya kan, Gaess? tanya Rea sambil menatap Oni, Cahaya dan Petir secara bergantian.
“Iya cantik kok,” ucap Oni.
“Iya cantik. Semua perempuan cantik kok,” tambah Cahaya.
“Gimana menurut kamu Tir?” Rean bertanya kepada Petir yang hanya diam.
“Hmmm, Iya,” kata Petir singkat. “Tapi lebih cantik kalau auratnya ditutup,” tambahnya sambil tersenyum kepada Gemilang yang dibalas dengan senyuman jutek Gemilang. Di benak Gemilang tumbuh sebuah asumsi bahwa Petir menyukai Cahaya karena Cahaya adalah gadis berhijab yang menutup aurat.
“Oh, jadi Petir suka sama gadis berhijab?” goda Oni sambil menatap Cahaya yang mulai memerah.
“Hmm, maksud aku, yah....” kata Petir.
“Ya udah kita mulai saja deh,” kata Cahaya memotong ucapan Petir. Dia tidak tahan jika mereka selalu membuat guyonan yang membuat hatinya semakin berdebar.
Sementara Petir menatap Gemilang sekilas yang tengah mulai membuka buku. Dia melihat gadis itu tengah merasa jengkel. Hal itu terlihat jelas ketika Gemilang membuka lembaran buku secara kasar. Namun, Petir mengalihkan pandangannya kepada buku di hadapannya ketika Gemilang mengangkat wajah dan menatapnya.
Diskusi tentang materi pun di mulai. Mereka antusias menyelesaikan tugas yang akan deadlinenya sudah dekat itu. Cahaya adalah sosok yang paling aktif dalam diskusi itu. Tidak mengherankan karena Cahaya memang sosok gadis yang cerdas. Sama halnya dengan Gemilang. Kecerdasan yang mereka miliki sama. Namun, Gemilang terkesan cuek dan tidak peduli dengan nilainya.
“Kita istirahat dulu aja deh,” saran Gemilang.
“Kan baru beberapa menit,” kata Oni.
“Otak kan butuh istirahat,” cetus Gemilang.
“Ya udah, kita makan-makan dulu aja.” Rea meraih buah apel yang dari tadi menghiasi sudut matanya.
“Ge, aku boleh minta izin, mau shalat Ashar,” ucap Petir.
“Di sana. Kamu lurus aja terus belok kiri.” Gemilang menunjukkan arah di mana mushalla di rumahnya berada. Petir mengangguk tanda mengerti.
“Oni, kamu enggak shalat?” tanya Rea sambil mengunyah buah apel yang sudah memenuhi mulutnya.
“Nanti aja deh. Kamu sendiri kok enggak shalat?” tanya Oni kepada Rea.
“Lah, aku kan perempuan. Jadi aku punya alasan.” Ucap Rea.
Oni mengangguk tanda mengerti. Kemudian beralih menatap Cahaya.
“Aku berhalangan,” ucap Cahaya sambil tersenyum. Sepertinya dia sudah tahu Oni ingin mengajukan pertanyaan apa. Oni tidak bertanya kepada Gemilang karena gadis itu sedang sibuk memainkan ponselnya.
“Aku ke belakang dulu yah.” Gemilang melangkah pergi diikuti oleh anggukan teman-temannya.
Gemilang menghentikan langkahnya ketika dia melihat Petir tengah bersujud di mushalla di dalam rumahnya itu. Dia terhenyak dan terdiam. Bibirnya terasa kelu. Dia bersandar di tembok seolah memikirkan langkahnya yang kelam. Dia adalah pemilik rumah itu. Namun kakinya hampir tidak pernah berpijak di dalam mushallah itu. Hanya sesekali ketika kedua orang tuanya ada di rumah. Itu pun jika kemalasannya tidak merajai raganya. Jika rasa malas sedang melandanya, dia hanya mengatakan kepada Bunda dan Ayahnya bahwa dia sedang berhalangan. Tidak melaksanakan perintah Allah semudah itu baginya.
Setelah beberapa detik, dia kembali mengintip Petir yang tengah menengadahkan tangannya dan berdoa kepada sang Pencipta. Hati Gemilang kembali merasa tertindih. Ada seonggok batu yang tiba-tiba membuatnya sesak. Dia mengelus dadanya dan duduk sambil menunduk di depan pintu mushalla itu.
“Ge, kamu kenapa,” tanya Petir sambil berjongkok di hadapan Gemilang.
Gemilang mendongak menatap Petir. Manik mata mereka bertemu beberapa detik. Saat itu tak ada suara yang bergema di telinga mereka kecuali detak jantung mereka yang berlomba berpacu pada tempatnya.Setelah Gemilang sadar bahwa dia telah tenggelam dalam manik mata hitam Petir, dua langsung berdiri. “Enggak, aku mau ke belakang.” Gemilang meninggalkan Petir di tempat itu yang masih berjongkok.
Setelah Gemilang menghilang dari pelupuk matanya, Petir berjalan ke ruang tamu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Lama amat shalatnya, berdoa minta jodoh yah? kita masih sekolah kali Tir,” ucap Oni.
Petir hanya tersenyum. Dia tidak peduli dengan guyonan Oni. Dia kembali duduk di tempatnya semula. Kemudian, membuka bukunya.
“Tuan rumah ke mana sih, lama amat,” ucap Rea.
Petir hanya diam. Tak berselang lama. Gemilang kembali dan bergabung dengan mereka. Petir memandangi gadis itu.
“Kamu dari shalat Ge?” tanya Rea.
“Enggak. Aku dari belakang.” Ucap Gemilang.
“Oh, rupanya ketiga gadis ini halangannya janjian yah,” ujar Oni tanpa dipedulikan oleh teman-temannya yang lain.
Mereka melanjutkan kembali aktifitas yang belum selesai. Mereka telah berjanji untuk menyelesaikan tugas itu hari ini agar semuanya tuntas dan tak ada beban. Hingga jam telah menujukkan pukul 17.30. Petir sudah tidak tenang di tempat duduknya. Dia sudah melirik jam seratus kali. Ingin rasanya dia pamit pulang karena pasti sekarang Ayahnya sudah sangat geram kepadanya. Handphonenya sengaja dinonaktifkan agar Ayahnya atau saudaranya tidak menganggunya. Pasti mereka sedang mencari kemana jejak Petir berlabuh.*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Choice {TAMAT}
Teen FictionDalam hidup, setiap orang punya pilihannya masing-masing dalam segala hal. Setiap orang berhak menentukan apa yang terbaik sebab dia yang mau menjalaninya. Ketika kita punya andil besar dalam hidup, jiwa kita akan merasa tenang. Namun, tidak dengan...