Petir terlihat sangat serius memandangi buku di hadapannya. Deretan kata di ujung pena telah membuahkan sebuah bait puisi yang sarat makna.
Mata berlian menancap tajam,
Menusuk sanubari yang kelam,
Akankah wujud cinta akan kugenggam,
Dalam jemari yang berwajah masam,
Puisi itu mungkin menggambarkan isi hatinya saat ini. Seruan rasa yang mulai bergemuruh tapi berusaha dia tepis. Dia tak berani mengagungkan rasa yang suci itu. Dia tak mau pelangi di mata orang yang diinginkannya bersinar bukan pada tempatnya.
Buku Fisika di hadapannya seolah memandanginya dengan tatapan menyelidik. Buku itu seakan bertanya mengapa Petir hanya sibuk memandangi coretannya itu dan tidak memedulikannya. Padahal esok, ilmu di dalamnya lebih penting daripada coretan tak jelas itu.
Petir melirik buku fisika itu. Hanya melihat sampulnya saja, tapi deretan rumus fisika kini serasa menari-nari di kepalanya. Memorinya tiba-tiba terasa penuh dan sesak. Apalagi jika dia membukanya, mungkin kepalanya sudah pening.Tak berselang lama, ketika matanya kembali kepada sebait puisi yang telah dia tulis, tiba-tiba wajah Gemilang yang tengah tersenyum melintas di benaknya. Petir menggeleng beberapa kali dan mengerjapkan matanya. Dia sesekali melepas kacamatanya dan melep benda itu. Dia berusaha mengusir bayangan gadis itu di benaknya.
Saat itu pula, Ven masuk ke dalam kamarnya tanpa permisi. Kakaknya itu menepuk pundaknya dan berhasil membuat Petir salah tingkah.
“Rajin amat belajar, tapi kok enggak pernah jadi yang terbaik,” ejek Ven yang langsung duduk di atas meja belajar Petir.Petir menarik buku fisik di depannya secepat kilat untuk menutupi bait puisinya. Namun, dia salah, sebab Ven lebih cepat melirik isi puisi itu.
Petir memperbaiki posisi kacamatanya dan berkata, “Ada apa kak, kok tiba-tiba masuk ke kamarku?”
“Kamu sudah melaksanakan tugasmu?” tanya Ven.
Deg. Hati Petir berdetak kencang. Dia sudah menebak bahwa Ven pasti menagih tugas yang diberikan untuknya yakni mencomblangkan Ven dengan Gemilang. Entah mengapa Petir memiliki rasa tidak suka jika Ven memintanya melakukan hal itu.
“Hmmm, belum kak,” ucap Petir sambil mengelus tengkuknya.
“Gimana sih, aku lihat kamu kemarin dulu pulang bareng dia. Kalian akrab dong. Seharusnya kamu menggunakan kesempatan itu untuk mendekatkanku dengannya,” cecar Ven.
Petir menggaruk hidungnya yang tidak gatal. Dia baru sadar, ternyata Ven melihatnya diantar oleh Gemilang.
“Pokoknya aku enggak mau tahu, kamu harus membuat Gemilang dekat denganku. Sekali-kali ajak dia ke rumah ini,” kata Ven.
“Tapi kak, aku....” Petir tidak sempat melanjutkan kata-katanya dan di potong secepat kilat oleh Ven.
“Kamu kenapa lagi? Enggak mau mengikuti perintahku? Oh kamu mau aku aduin ke Ayah bahwa kamu hanya sibuk dengan puisi ini? Hah?” ancam Ven.
“Jangan kak, aku akan berusaha mewujudkan permintaan kak Ven, tapi sabar yah. Aku juga harus memikirkan cara untuk membuat Gemilang dekat dengan Kak Ven,” kata Petir.
“Bagus, begitu dong. Besok, kamu harus membuat Gemilang makan bersamaku di kantin.” Ven menepuk lagi pundak Petir kemudian berlalu pergi meninggalkan Petir yang hanya memandangi punggung kakaknya hingga menghilang di ambang pintu.
“Membuat Gemilang mau makan bersamanya, sepertinya sulit,” ucap Petir lirih dan menghela napas panjang. Dia berdiri dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia menatap langit-langit kamarnya dalam sendu. Dia berusaha memikirkan cara untuk mewujudkan permintaan Ven. Meski di hatinya ada yang menindihnya sebagai tanda tak rela. Tapi, di sisi lain, dia takut jika Ven mengadukannya kepada Ayahnya. Rasa trauma selalu menghantuinya.
*****
Di belahan bumi yang lain, Gemilang dan Raya duduk di gazebo di samping rumah Gemilang. Mereka menghabiskan malam berdua membahas banyak hal.Di hadapan mereka sudah ada beberapa makanan yang sepertinya mereka sudah santap dan kini hanya tinggal seperduanya saja. Menatap makanan di hadapannya, Gemilang termenung dan tiba-tiba mengingat Petir. Dia sebenarnya merasa bersalah sebab sudah salah paham dengan Petir. Ketika Petir ingin minta tolong di belikan sebuah roti, malah dia mengira laki-laki itu meminta tolong kepadanya untuk memanggil Cahaya untuknya.
"Ada apa, Ge? Kok termenung?” tanya Raya.
“Enggak ada apa-apa kok. Aku hanya... Hanya....”
“Hanya apa?”
“Hmm, enggak apa-apa.” Gemilang tertawa tidak jelas.
“Gimana sih, Ge.” Raya mengunyah kerupuk bayam sambil menatap Gemilang.
“Ray, menurut kamu mengapa seseorang biasanya memiliki banyak luka di tubuhnya?” tanya Gemilang mengalihkan pembicaraan.
“Mungkin dia abis berkelahi kali,” jawab Raya seadanya.
“Ada alasan lain enggak?” Gemilang tidak puas dengan jawaban Raya.
“Hmmm, mungkin kecelakaan,” Raya mencoba menebak lagi.
“Kecelakaan? Sepertinya enggak deh,”
“Maksud kamu?”
“Memar di kening, di ujung bibir, buku-buku jari terluka, goresan di lengan atas, ujung jari telunjuk berdarah, apa itu termasuk kecelakaan, Ray?” tanya Gemilang.
“Hmmm, mungkin sengaja melukai diri sendiri kali,” tebak Raya.
“Sengaja? Memangnya ada yah orang sebodoh itu?” Gemilang melongo atas respon Raya.
“Iya, Petir misalnya. Kamu enggak lihat, di ujung bibirnya kayak habis terbentur gitu,” jelas Raya.
Gemilang jadi salah tingkah mendengar Raya menyebutkan nama Petir. Untung saja Raya tidak tahu bahwa yang dimaksud oleh Gemilang adalah Petir.
“Memangnya Petir terlihat seperti itu yah?” Gemilang pura-pura sambil membuka layar ponselnya.
“Iya, kamu enggak lihat lukanya di bibir. Enggak mungkin kan kalau dia abis berkelahi, dia kan pengecut, penakut, dan enggak punya keberanian,” kata Raya.
“Enggak tuh. Aku lihat wajahnya baik-baik saja,” Gemilang berbohong.
“Aku mah perhatiin. Tapi aku enggak peduli tuh. Seandainya aku jatuh cinta sama dia, pasti aku kepoin, kok bisa dia terluka kayak gitu? Luka dari mana? tapi kan Petir bukan orang spesial di hatiku, jadi biarin aja deh, mau luka satu badan pun aku enggak penasaran,” jelas Raya yang berhasil membuat Gemilang diam sejenak. Dia menelaah baik-baik ucapan Raya. Ucapan Raya hanya terdengar omong kosong, tapi entah mengapa hatinya serasa bergetar. Dia sadar bahwa kini dia sangat ingin tahu penyebab tubuh Petir terluka. Apakah hatinya sudah berlabuh kepada Petir. Gemilang menggeleng sekuat mungkin untuk membuang jauh-jauh pikiran itu. Dia merasa tidak mungkin dia melabuhkan hatinya kepada Petir, sebab betapa dia sangat membenci laki-laki itu.
“Kenapa Ge? Kok geleng-geleng. Kamu mengingat Petir yah,” goda Raya sambil menunjuk Gemilang.
“Hah, enggak. Apaan sih, enggak mungkinlah aku pikirin dia. Buat apa coba,” Gemilang berdengus.
“Yah siapa tahu, hati orang tak ada yang tahu.” Raya mengunyah kerupuk bayam di hadapannya sambil memandangi Gemilang.
“Kamu tuh yah, suka ngawur enggak jelas.” Gemilang menuang segelas Jus jeruk di gelasnya.
“Kalau bukan Petir, apakah kak Ven yang sedang kamu pikirkan?” tanya Raya lagi.
Gemilang memutar bola matanya, “Aduh, Raya kenapa sih kamu mengingat mereka.”
“Kan kak Ven suka sama kamu. Setiap kita ketemu, matanya tak pernah berkedip memandang kami, Ge. Sepertinya dia sangat menyukai kamu. Wah, kamu beruntung sekali, Ge,” ucap Raya sambil berteriak.
“Beruntung apanya, aku merasa biasa aja. Seandainya aku menyukai kak Ven, kemudian ternyata cintaku berbalas, itu baru namanya beruntung,” jelas Gemilang.
“Memangnya kamu tidak tertarik sama dia?” tanya Raya.
“Tidak.” Gemilang mengelak dengan cepat.
“Tapi kak Ven itu nyaris sempurna loh, Ge. Udah ganteng, berbakat, berprestasi, dan suka sama kamu. Apa lagi coba yang dicari,” ucap Raya.
“Ray, rasa sayang itu muncul bukan karena kesempurnaan, tapi mengalir apa adanya dan biarkan hati yang memutuskan,” kata Gemilang yang tiba-tiba jadi bijak.
“Wih, enak banget kata-kata kamu, Ge,” kata Raya.
Gemilang hanya tersenyum memikirkan ucapannya barusan. Dia tidak habis pikir, mulutnya bisa mengucapkan kalimat itu. Biasanya dia hanya mengeluarkan ucapan yang berisikan ejekan atau penghinaan. Namun, kali ini sepertinya sudah ada yang berubah dalam dirinya. Raya pun melihat perubahan itu. Namun, sahabatnya itu hanya berpikir bahwa mungkin saja, saat ini Gemilang sedang dikelilingi oleh malaikat, jadi pikirannya sedang jernih. Esok pasti kembali lagi seperti sedia kala.Antara dua anak manusia yang saling memikirkan, tapi saling menyembunyikan. Entah kapan benang merah itu menemukan masing-masing ujungnya. Atau mungkinkah, benang di antara mereka tak berujung? Atau mungkin masing-masing ujungnya di pegang oleh orang lain?
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Choice {TAMAT}
Fiksi RemajaDalam hidup, setiap orang punya pilihannya masing-masing dalam segala hal. Setiap orang berhak menentukan apa yang terbaik sebab dia yang mau menjalaninya. Ketika kita punya andil besar dalam hidup, jiwa kita akan merasa tenang. Namun, tidak dengan...