Sepulang sekolah, Gemilang merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia memandang kamar yang bernuansa putih itu. Matanya menatap langit-langit, tapi pikirannya tertuju pada Petir yang seolah berbeda dari hari-hari sebelumnya.
“Mengapa sikapnya terlihat berbeda? Apa yang telah merasukinya. Biasanya dia hanya menunduk saat aku menatapnya, tapi hari ini dia seolah menjauh dan terlihat lebih cuek,” ucap Gemilang seorang diri.
Gemilang tidak tahu bahwa seseorang berubah pasti karena ada alasan tertentu. Dia tidak mungkin langsung berubah begitu saja. Namun, saat ini Gemilang belum tahu alasan Petir berubah terhadapnya. Mungkin esok atau lusa, tak ada yang tahu.
Gemilang meraih handphonenya dan mencari kontak Petir. Dia ingin menghubungi laki-laki itu. Namun, dia urungkan, sebab rasa malu masih merajai hatinya. Sebagai seorang perempuan, dia tak mungkin mau menghubungi Petir duluan.
“Akh, ngapain juga aku melihat kontaknya. Kamu kenapa sih, Ge. Apa yang membuatmu seperti ini. Please, sadar dong.” Gemilang memukul kepalanya pelan untuk menyadarkan dirinya.
Saat dia masih menatap layar handphonenya, seorang yang tak diharapkannya memanggil. Nama Ven tertera di sana.
“Ven,” desis Gemilang.
Dia mengabaikan panggilan itu dan meletakkan handphonenya di sisi kanannya. Ternyata Ven tidak menyerah. Dia memanggil lagi untuk kedua kalinya.
“Halo,” Gemilang menyerah dan menerima panggilan Ven.
“Halo, Ge. Aku kira kamu tidak mau menerima panggilanku,” ucap Ven di seberang sana.
“Hmmm, ada apa kak?” Gemilang terdengar bosan meladeni Ven.
“Kamu sibuk hari ini?” tanya Ven.
“Hmmm, enggak tahu nih kak,” kata Gemilang.
“Kok enggak tahu, Ge.” Ven tersenyum di seberang sana.
“Aku ngantuk Kak,” kata Gemilang yang sudah ingin sekali mengakhiri pembicaraannya dengan Ven.
“Sebenarnya aku mau mengundang kamu makan malam di rumahku malam ini, Ge.”
“Hah? Makan malam?” ucap Gemilang.
“Iya, kamu bisa, Ge?”
“Aku enggak bisa. Aku capek,” kata Gemilang.
“Ya udah, semoga di lain waktu kamu bersedia, Ge.”
Gemilang hanya berdehem mengakhiri pembicaraannya dengan Ven melalui handphone. Gemilang adalah gadis yang tidak mudah untuk menyukai seseorang. Apalagi kepada seorang Ven. Dia tahu persis bahwa Ven adalah idola di sekolah. Namun, Gemilang juga tahu bahwa di balik kepopulerannya, Ven termasuk laki-laki yang angkuh dan tinggi hati. Gemilang merasa bahwa sifatnya sama dengan Ven. Jadi, dia tidak ingin menyatukan batu dengan batu. Toh, salah satunya pasti akan retak dan pecah.
Ven sudah berkali-kali berusaha mendekati Gemilang dengan caranya sendiri, sebab Petir tak kunjung bertindak untuk membantunya. Namun, sepertinya hati Gemilang tak goyah untuk menuju padanya. Ven adalah sosok yang tak pantang menyerah, dia akan terus berjuang sampai Gemilang jatuh di pelukannya.
********
Hari telah berganti. Usaha Gemilang untuk memiliki kesempatan berbicara dengan Petir sia-sia. Dia sama sekali tidak bisa bertanya perihal luka-luka di tubuh Petir yang selalu membuatnya penasaran. Belum lagi, Petir yang tiba-tiba menghilang kemarin dulu.
Pagi itu, dia kembali berdiri di pintu kelas menanti Petir datang. Dia berharap Petir bisa lebih ramah kepadanya daripada kemarin. Namun, harapannya surut ketika dia melihat Petir dan Cahaya datang berbarengan. Mereka sepertinya sedang membahasa sesuatu yang lucu, sebab langkah mereka diiringi oleh tawa renyah keduanya.
“Mengapa dia tertawa renyah di depan Cahaya. Aku benci jika tawamu kau berikan kepada orang lain.” Gemilang meremas roknya. Ekspresinya tiba-tiba mendung bak hujan deras akan berguyur. Matanya tak bisa berpaling dari Petir dan Cahaya hingga keduanya masuk ke dalam kelas.
Ketika mata pelajaran di mulai, Cahaya dan Petir masih terlihat akrab mendiskusikan materi pelajaran. Gemilang semakin geram melihatnya.
“Ih, aku benci dengan mereka.” Gemilang mengepalkan tangannya.
“Kamu kenapa, Ge?” tanya Raya kepada sahabatnya itu.
“Hmm, enggak. Aku... aku....” Gemilang tidak bisa memberikan alasan kepada Raya.
“Kamu cemburu yah,” bisik Raya.
“Apa sih Ray, jangan sok tau deh,” ucap Gemilang dengan berbisik pula.
“Cinta itu tidak bisa disembunyikan, sama dengan batuk,” kata Raya mengeluarkan quotenya.
“Duh Ray, udahlah. Aku konsentrasi nih.” Gemilang kembali fokus kepada buku di hadapannya.
Setelah satu jam berlalu, Gemilang sangat lelah untuk bertahan memandangi buku di hadapannya. Ingin rasanya dia berbalik lagi menatap tingkah Petir dan Cahaya yang sangat akrab. Namun, dia khawatir raya memergokinya lagi. Dia malu jika Raya menganggapnya telah jatuh cinta kepada Petir. Apalagi, Gemilang tahu bahwa Raya sangat tahu isi hatinya dahulu terhadap Petir. Jika ada kata melebihi kata benci yang bisa menggambarkan ketidaksukaan, kata itulah yang cocok untuk Petir bagi Gemilang. Sekarang, sepertinya semuanya sudah berubah. Rasa benci di hatinya itu sudah menjelma menjadi rasa yang sulit untuk dimengerti oleh Gemilang sendiri.
Setelah jam pelajaran pertama berakhir, Cahaya dan Petir memutuskan untuk ke perpustakaan, sebab guru mata pelajaran selanjutnya berhalangan untuk hadir. Jadi, lebih baik mereka menghabiskan waktu di perpustakaan untuk membaca buku daripada mereka duduk di kelas dan mengantuk.
Di perjalanan menuju perpustakaan, mereka masih bersenda gurau dan berbagi cerita. Sepertinya, keduanya selalu mempunyai topik menarik untuk di perbincangkan. Hingga, mereka tidak sadar bahwa Gemilang tengah mengikuti mereka. Ketika Petir berbalik ke belakang, dia tidak bisa melihat sosok Gemilang, sebab gadis itu bersembunyi di balik tembok. Gemilang sengaja tidak menampakkan dirinya, sebab dia akan merasa malu jika ketahuan mengkuti Petir dan Cahaya.
“Ada apa, Tir?” tanya Cahaya.
“Aku merasa, ada yang mengikuti kita deh,” ucap Petir.
Cahaya tertawa dan berkata, “Ya ampun, Tir. Ini sekolah kali. Tuh, banyak orang yang lalu lalang di belakang kita. Mungkin mereka yang mengikuti kita.”
“Beneran, Ya. Aku merasa ada yang mengikuti langkah kita deh. Apa itu hantu?” Petir bercanda kepada Cahaya.
Cahaya semakin tertawa. “Hantu? Aduh, Petir jangan ngaco deh. Hantu di pagi-pagi begini, yah enggak lah. Mending kita lanjutin aja deh ke perpus. Keburu perpusnya tutup pas istirahat.”
Mereka berdua melanjutkan langkahnya. Begitu pun dengan Gemilang yang mengikut sambil menggerutu, “Aku dikirain hantu apa. Orang cantik sih iya.” Gemilang mengibaskan rambut sebahunya.
Sesampainya di perpustakaan, Petir dan Cahaya berpencar untuk mencari buku favorit masing-masing. Cahaya berjalan menuju deretan buku ilmu pasti, matematika. Sedangkan Petir berjalan ke rak buku di mana tersusun rapi deretan novel dan karya sastra lainnya. Sementara Gemilang kehilangan jejak dua temannya itu. Dia celingak-celingku ke seluruh penjuru perpustakaan yang luasnya 30 x 30 meter itu. hanya rak-rak buku dan siswa-siswa yang tak dikenalnya yang ditangkap oleh kedua bola mata indahnya.
“Mereka ke mana yah, kok menghilang secepat itu. Apa mereka tenggelam di rak-rak buku itu?” tanya Gemilang sambil berjalan di antara rak buku. Dia mengintip melalui sela-sela buku untuk mencari keberadaan Petir dan Cahaya. Hingga, akhirnya dia berhenti dan melihat sosok Cahaya yang sudah mengambil posisi di sebuah kursi sambil membaca buku.
“Petir mana?” batinnya. Dia memutar haluan dan ternyata Petir sudah berada di hadapannya. Dia memundurkan kakinya selangkah ke belakang untuk mejaga jarak dengan laki-laki itu.
Gemilang mengelus tengkuknya dan meyapa Petir, “Hai.”
Petir hanya menatapnya dengan tatapan datar, tanpa senyuman sedikit pun. Kemudian Petir melangkah ke sisi kiri Gemilang. Dia hendak meninggalkan gadis itu. Namun, langkahnya dicegat oleh sang gadis. Petir mengubah langkahnya ke sisi kanan. Lagi-lagi dengan jahilnya Gemilang mencegahnya lagi.
“Apa sih mau kamu?” Petir terlihat jengel dengan tingkah Gemilang.
“Aku... aku....” Gemilang terlihat berpikir. Sebenarnya banyak hal yang ingin dia sampaikan kepada Petir. Namun, ketika dia telah berhadapan dengan Petir, semuanya hilang tak berbekas.
“Apa?” tanya Petir lagi.
“Aku kamu ngomong sesuatu sama kamu,” ucap Gemilang.
“Silahkan, satu menit dari sekarang.” Petir kini beralih menatap deretan buku. Sepertinya, deretan buku itu lebih enak dipandang daripada Gemilang.
“Kamu dari mana kemarin dulu? Mengapa tiba-tiba menghilang? Mengapa tubuhmu semakin hari semakin banyak luka? Kamu marah padaku? Mengapa dua hari terakhir, kamu terlihat cuek. Tidak seperti biasanya? Kamu punya masalah?”Pertanyaan itu muncul, tapi hanya di hati Gemilang. Entah mengapa bibirnya terasa kaku untuk mengucapkan rentetan perntanyaan itu. Lidahnya keluh tak bisa digerakkan sama sekali. Dia hanya mampu menatap Petir dari sisi kiri.
“Waktu habis. Permisi.” Petir melangkah pergi. Tapi, lengannya di tarik oleh Gemilang.
“Tunggu, aku belum bicara.” Gemilang berkata dengan lirih. Dia ingin Petir tinggal lebih lama di tempat itu.
“Kamu tidak pantas menyentuh laki-laki yang bukan muhrim. Kamu tidak pernah belajar agama?” kata-kata Petir seketika membuat Gemilang menarik tangannya. Gadis itu mundur selangkah dan menunduk.
“Oh, maaf,” ucap Gemilang. Sekeras-kerasnya seseorang pasti ada kalanya dia akan berucap maaf dari bibirnya. Kita tidak tahu kapan batu akan hancur atau kayu akan lapuk, tapi hanya waktu yang membersamai mereka hingga mereka menyerah terhadap diri mereka sendiri. Kali ini adala pertama kali Petir mendengar Gemilang berucap maaf, dari sekian banyak hal yang gadis itu lakukan. Hatinya yang keras tiba-tiba melunak dna kata yang sakral itu meluncur begitu saja.
Petir memandangi gadis itu sejenak. Dia mencoba menemukan sesuatu dari manik mata indah itu. Namun, yang dia temukan hanyalah sebuah ketulusan dari hati yang hanya bisa dirasakan oleh hati kecil pula.
Saat itu pula, Cahaya datang menghmpiri mereka dengan wajah penuh keterkejutan. Rupanya, dari tadi Cahaya berdiri di balik rak buku dan melihat apa yang terjadi. Cahaya sudah menebak apa yang ada di hati Gemilang. Sebagai seorang gadis, Cahaya bisa membaca makna dari gerak gerik Gemilang, meski Gemilang tak berucap melalui lisan.****
KAMU SEDANG MEMBACA
Choice {TAMAT}
Teen FictionDalam hidup, setiap orang punya pilihannya masing-masing dalam segala hal. Setiap orang berhak menentukan apa yang terbaik sebab dia yang mau menjalaninya. Ketika kita punya andil besar dalam hidup, jiwa kita akan merasa tenang. Namun, tidak dengan...