Berubah!

5 4 0
                                    


Di bawah rembulan yang menyinari malam gelap gulita, Gemilang duduk sambil menatap bintang gemintang yang berkedip manja seolah menggodanya. Dia duduk seorang diri di taman belakang rumahnya yang didesain atas permintaanya sendiri. Saat dia merasa jenuh dan ingin menikmati waktu sendiri, dia ke tempat favoritnya itu hanya untuk menghirup udara atau rebahan hingga pikirannya meremaja kembali.

Ketika jangkrik berhenti bersuara, dia mengingat kembali perkataan Petir tempo hari saat mereka pulang bersama kala hujan. “Iya aku memang suka dengan perempuan berjilbab. Tapi, tidak sembarang juga. Selain pintar menutup aurat, dia juga harus pandai menjaga lisan. Tidak suka menghina orang lain, tidak suka menghakimi orang lain, tidak suka memandang rendah orang lain, dan pastinya tidak suka mengadukan orang. Dia cantik bukan karena fisik, tapi hati. Buat apa cantik fisik kalau hatinya buruk.”

Gemilang kini tahu bahwa Petir menaruh rasa kepada Cahaya. Sebenarnya tidak mengherankan, sebab Gemilang tahu persis bahwa Petir dan Cahaya sudah bersahabat sejak mereka menjadi siswa baru di sekolah. Hingga saat ini, persahabatan mereka semakin erat. Meski kedekatan mereka mengatasnamakan persahabatan, tapi tidakkah semua orang tahu bahwa tidak ada persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan? Pasti salah satu dari mereka akan terpeleset dan jatuh kedalam lubang cinta.

Sepertinya Petir sudah jatuh kepada Cahaya. Mengapa aku merasa ada yang aneh dengan jantungku ketika membayang mereka akan bersama?” batin Gemilang sambil meletakkan telapak tangannya di depan dada. “Apa aku menyukai Petir?” tambahnya.

Dia menghela napas. Kemudian, merebahkan tubuhnya di atas rerumputan. Kini, dia lebih leluasa menatap bintang-bintang itu. Hanya untuk menghabiskan waktu, dia menghitung jumlah bintang satu demi satu yang tak kunjung habis.

Berselang beberapa menit, sebuah langkah yang terdengar menginjak rerumputan, membuatnya terbangun.

“Ibu,” ucapnya ketika melihat perempuan paruh baya itu tersenyum menghampirinya. Kemudian, perempuan yang dipanggilnya ibu itu duduk di sampingnya. “Kapan Ibu datang?” tanya Gemilang.

“Barusan sayang.” Perempuan yang bernama Mela itu mengelus rambut putrinya.

“Kok enggak bilang-bilang kalau Ibu mau datang? Ayah mana?”

“Kan surprise. Ayahmu masih ada urusan bisnis, jadi Ibu pulang sendiri. Habisnya Ibu sudah kangen sama putri Ibu yang cantik ini” Mela tersenyum.

“Ih, Ibu bikin surprise segala.” Gemilang bergelayut manja kepada Mela. Gemilang adalah putri tunggal di keluarga itu. Ayah dan Ibunya dalah orang sibuk yang selalu ke luar negeri untuk mengurus bisnis mereka. Maka tinggallah Gemilang bersama para asisten rumah tangganya di rumah.

Ketika orang tuanya meninggalkannya, dia selalu merasa kesepian. Olehnya itu, tidak heran jika sikapnya cenderun keras kepala dan egois. Namun, ketika kedua orang tuanya kembali, maka sosok Gemilang yang manja akan muncul.

“Ini apa Bu?” Gemilang kembali ke posisinya semula. Matanya kini beralih pada sebuah kotak berpita yang ada di tangan Mela.

“Ini, hadiah buat kamu. Ibu beli di negara orang. Jadi, Ibu berharap kamu mau mengenakannya.”

“Coba Gemilang mau lihat, Bu.” Gemilang meraih kotak itu dan membukanya.

“Jilbab?” dia meraih benda itu. Sebuah jilbab bermotif bunga berwarna putih dengan latar belakang peach. Kata-kata Petir terngiang kembali di benaknya.

“Haruskah aku mengenakannya? Apa mungkin kata-kata Petir adalah perantara baginya untuk mengenakan benda ini?” ucapnya lirih.

“Petir? Siapa dia?” tanya Mela.

“Oh, Enggak. Maksud aku Petir yah yang muncul saat mau hujan Bu,” Gemilang cengengesan menutupi kalimatnya barusna.

“Apa sih, Ibu enggak ngerti deh,” ucap sang Ibu.

“Lupakan aja Ibu, sayang. Gemilang cuma ngawur,” Gemilang mengelus pipi Mela.

“Jadi, mau enggak nih mengenakan jilbab ini? ini sudah kesekian kalinya loh, Ibu memberikan kado seperti ini. Masa kali ini kamu hanya menyimpannya lagi di lemari, tidak di kenakan. Ibu berharap putri ibu menjelma menjadi perempuan yang keanggunannya bertambah jika menutup aurat. Pasti kamu tambah cantik,” bujuk Mela.

“Hmmm, iya Bu. Gemilang akan mempertimbangkan kok.” Gemilang menunduk sambil menatap jilbab itu.

“Ya udah, Ibu masuk dulu yah. Mau istirahat. Kamu enggak mau masuk? Ini sudah pukul sepuluh malam, loh."

“Gemilang juga hendak masuk kok Bu,”
Mereka berdua memasuki rumah. Mela langsung menuju kamar untuk memberikan haknya kepada tubuhnya yang lelah, sementara Gemilang masuk ke dalam kamar dan langsung mencoba jilbab pemberian ibunya itu. Dia melilitkan jilbab di kepalanya. Warna jilbab sangat cocok dengan kulitnya. Jilbab pun terlihat rapi di wajahnya yang oval. Dia mematut di depan cermin dan memandangi dirinya. Kemudian, senyum simpul terhias di sudut bibir merah delima itu.

“Aku harus berubah. Kelihatannya aku enggak jelek-jelek amat kalau pakai jilbab,” ucapnya dalam hati sambil tersenyum.

Kemudian dia membuka lemari pakaiannya dan mengutak atik semua jilbab yang di hadiankan oleh Ibunya. Dia pun mengeluarkan seragam sekolah yang berstelan panjang. Dia sudah membulatkan tekadnya untuk mengenakan stelan panjang itu ke sekolah besok.

“Tapi, bagaimana kalau teman-teman menatapku aneh?” tanyanya. “Aku pasti akan malu. Dia diam sejenak sambil berpikir. “Akh, biarin aja deh! Aku enggak peduli ucapan mereka! Aku akan mencoba penampilan baruku besok. Tidak ada salahnya kan mencoba, siapa tahu nyaman.” Dia tersenyum sendiri menatap seragamnya yang berlengan panjang dan rok panjang. Dia pun mencari jilbab putih yang senada dengan seragamya untuk di kenakan besok.

Keesokan harinya, kini seorang Gemilang menjelma menjadi seseoarng yang berbeda. Seragam dengan baju berlengan panjang dan rok panjang serta jilbab putih menutup dada kini membalut tubuhnya. Dia terlihat sangat mempesona. Dia memutar badan bekali-kali di depan cermin dan memandangi dirinya yang terlihat anggun.

Setelah merasa penampilannya sudah rapi, dia keluar kamar dan menuju ruang keluarga untuk menyantap sarapan. Di sana, sudah ada Mela, sang Ibu yang dengan setia menunggu putrinya keluar. Ketika Gemilang menampakkan dirinya, Mela terkesima. Ibu Tuti, asisten rumah tangga yang berdiri di samping Mela pun ikut menganga lebar, seolah memberikan peluang untuk para nyamuk masuk di mulutnya.

“Aku aneh yah?” tanya Gemilang ketika sudah berdiri di sisi meja makan.

“Ya ampun, ini beneran anak Ibu? Cantik sekali,” puji Mela sambil menghampiri Gemilang. Dia memperbaiki posisi jilbab Gemilang yang agak miring tertiup angin.

“Ibu Tuti kok mengnga gitu, aku aneh yah Bu?” tanya Gemilang kepada Ibu Tuti.

“Tidak non. No Gemilang Cantik.” Ibu tuti mengacungkan kedua jempolnya.

"Akh masa sih, Serius nih?” tanya Gemilang ingin memastikan.

“Seratus rius Non. Non Ge cantik bak biadadari,” puji Ibu Tuti.
Gemilang tersenyum kemudian mengambil tempat duduk di samping Ibunya. “Kirain aku terlihat aneh karena penampilan baruku ini,” ucap Gemilang.

“Enggak sayang. Kamu cantik. Kamu terlihat sangat anggun. Ibu suka sekali. Ibu berharap kamu bisa istiqamah yah.” Mela memegang pundak putrinya.

“Gemilang akan berusaha Bu,” kata Gemilang.

Mereka menyantap sarapan pagi itu dengan khidmat. Mela tidak menyangka, Gemilang akan berubah. Dia berharap Putri semata wayangnya itu bisa mempertahankan pilihannya yang baik ini, sebab seperti yang kita tahu bahwa memilih itu mudah, mempertahankan yang sulit. Namun, jika yang membuat seseorang memilih jalannya selalu mendukung, pasti pilihan itu akan tetap bertahan. Tapi, Mela tidak tahu bahwa perubahan Gemilang adalah pengaruh dari kata-kata seseorang yang kini merajai hati putrinya itu. Akh, cinta memang luar biasa. Kata-kata yang dicintai bisa menggetarkan hati sang pencinta untuk memilih jalan terbaik. Semoga Gemilang akan bertahan, meski suatu hari kenyataan tak sesuai dengan harapan. Namun, tak ada yang tahu, bisa jadi, karena perubahannya sekarang, segala kebaikan termasuk cinta akan berpaling kepada Gemilang. Hanya Allah yang tahu.

Choice {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang