Khawatir untuk Petir

3 3 0
                                    


Jam telah menunjukkan  pukul 04.00 dini hari. Setelah Petir jatuh pingsan tadi malam, dia terlelap di atas lantai yang dinginnya tak bisa lagi dia rasakan meski menusuk sumsum tulang belakangnya. Dia terbaring lemas sambil memegangi luka di lengan kirinya. Setelah matanya terbuka. Dia beringsut duduk dan menyandarkan kepalanya di dinding tempat tidurnya.
Dia menerawang kembali kejadian tadi malam yang menyita hatinya dan menguras air matanya. Selama ini, semua keluarganya menyembunyikan perihal tentang siapa dirinya sebenarnya. Namun, seperti apa pun sebuah rahasia disembunyikan, pasti akan terbuka seiring berjalannya waktu.

Petir tak pernah menyangka bahwa penghianatan yang dilakukan oleh Ibunya membuatnya harus menjadi tawanan Sahar, laki-laki yang selama ini dianggap sebagai ayah kandung sendiri. Sahar selalu memperlakukannya tidak adil, karena dendam di dalam hatinya untuk Lara masih ada. Lantas, mengapa Sahar tidak menceraikan Lara jika memang ibu dari ke dua anaknya berkhianat? Petir akan mencari tahu hal itu.

Setelah mengembalikan semua kekuatannya yang hilang seiring tetesan darah yang jatuh ke lantai, Petir memutuskan untuk mandi dan melaksanakan salat sunnah subuh sebelum salat subuh tiba. Dia menyadari bahwa tidak ada yang bisa mengobati lukanya dan mendengarkan keluh kesahnya, kecuali sang pencipta. Meskipun, hidupnya serasa tidak adil, tapi Petir tidak pernah melupakan Allah swt. Setelah melukai dirinya sendiri, dia selalu kembali mengingat Allah. Apa pun yang dia alami, atas kehendak-Nya.
Setelah salat sunnah subuh dua rakaat dia laksanakan, dia berzikir untuk menenangkan hatinya, sembari menunggu azan subuh berkumandang. Setelah melaksanakan salat subuh, dia tak lupa membaca ayat suci Al-Qur’an.

Hingga mentari memunculkan dirinya di ufuk timur, Petir sudah siap dengan setelan seragam sekolahnya. Apa yang dia alami tadi malam, tidak menyurutkan niatnya untuk ke sekolah hari ini. Dia sudah bertekad, cukup kemarin saja dia bolos sekolah karena rasa malu terhadap teman-temannya. Hari ini, dia akan berusaha untuk menahan rasa malu yang masih menggerogotinya karena tak mampu menjawab soal fisika yang sangat mudah.

Di kelas XII A, Gemilang sudah berdiri di ambang pintu. Dia tampak celingak-celinguk seperti menunggu seseorang. Yah, memang benar, Gemilang tengah menunggu Petir. Bukan hanya Cahaya yang khawatir tentang keberadaan Petir, tapi Gemilang pun turut merasakan perasaan yang sama. Gadis itu merasa khawatir dan prihatin dengan Petir yang tiba-tiba menghilang dan tidak mengikuti jam pelajaran hingga waktu sekolah berakhir.

“Hei, kamu nungguin siapa?” Raya yang tiba-tiba muncul di belakang Gemilang mengagetkan sahabatnya itu.

“Ray, kalau aku jantungan, aku langsung jatuh dan meninggal, mau tanggung jawab kamu, hah?” bentak Gemilang kepada Raya.

“Yah, maaf. Habisnya sih dari tadi aku lihat dari jauh kamu celingak-celinguk gitu kayak nungguin seseorang. Kamu nungguin aku yah?” tanya Raya sambil tersenyum.

“Hmmm.” Gemilang memperbaiki posisi rambutnya yang menutupi matanya. “Iya. Aku nungguin kamu, tapi karena aku sudah melihat sahabatku yang manis ini, jadi mending masuk kelas aja gih sana. di atas meja aku sengaja menyimpan buku biologiku, kamu langsung menyontek aja. Pasti tugas kamu belum selesai, kan?” sambung Gemilang yang berusaha membuat Raya masuk kelas.

“Ya ampun Ge, kamu jadi sahabat kok pengertian banget sih. Tahu aja kalau tugasku belum selesai. Ya udah aku masuk dulu yah cantik.” Raya mencolek pipi Gemilang sebelum masuk kelas.

Gemilang mengelus pipinya yang memerah akibat cubitan Raya yang hanya main-main tapi membuahkan bekas. Ketika Gemilang kembali menatap sepanjang koridor sekolah, dia sudah menemukan Petir berjalan seorang diri. Laki-laki itu sama seperti biasa. Tidak ada yang spesial dari penampilannya. Namun, entah mengapa Gemilang melihat ada cahaya yang mengelilingi Petir. Sehingga laki-laki terlihat bersinar bak malaikat.
Setelah langkah Petir mendekat, Gemilang berusaha untuk tersenyum dan hendak menyapa Petir. Namun, Petir langsung masuk ke dalam kelas tanpa melirik gadis itu sama sekali. Baru kali ini Petir terlihat cuek. Biasanya dia hanya menunduk saat berhadapan dengan Gemilang. Sekilas, Gemilang melihat lengan Petir penuh dengan luka goresan.

“Dia terluka lagi,” batin Gemilang. Kemudian, dia mengikuti jejak Petir memasuki ruang kelas. Dia duduk dan matanya tidak lepas dari Petir. Dia mengamati gerak-gerik laki-laki itu.

“Ge, in tulisannyai apa yah?” tanya Raya yang sedang sibuk mencontek di sampingnya.

“Heh, oh itu ekosistem.” Gemilang kembali menatap Petir yang tidak berbalik sama sekali kepadanya setelah memberitahu Raya.

Berselang beberapa menit, Cahaya datang dengan senyuman cerianya memasuki kelas.

“Tir,” teriaknya penuh histeris ketika melihat sahabatnya sudah duduk di bangkunya. Petir tersenyum ketika melihat Cahaya.

“Kok, kemarin kamu menghilang begitu saja? Kamu dari mana?” kini Cahaya sudah duduk di bangkunya tepat di belakang Petir. Dia berbicara sambil mencondongkan sedikit badannya agar Petir bisa mendengar suaranya.

“Hmmm, aku... aku... pulang, Ya,” jawab Petir dengan terbata-bata.

“Loh, kok kamu pulang, kamu sakit lagi?” tanya Cahaya dengan wajah penasaran.

“Tidak, aku sehat kok. Hanya saja, aku ada urusan.” Petir memutar tubuhnya ke kiri agar dia bisa melihat Cahaya, lawan bicaranya. Tak sengaja dia menangkap manik mata Gemilang yang menatapnya. Namun, secepat kilat dia mengalihkannya kepada Cahaya dibarengi dengan senyuman.

“Kenapa dia enggan menatapku? Apa wajahku sangat menyeramkan?” batin Gemilang.

“Oh yah, aku bawa roti. Pasti kamu belum sarapan kan?” Cahaya mengeluarkan tapperware kota yang berisi roti berlapis selai strowberry. Mata Petir langsung berbinar. Kejadian kemarin membuatnya tidak mendapatkan sarapan pagi ini. Perutnya terasa perih. Untung Cahaya membawa makanan itu, jadi lambungnya akan aman hingga beberapa jam ke depan.

“Wah, enak tuh, Ya. Terima kasih yah. Ngomong-ngomong ini buat aku semuanya, kan?” tanya Petir dengan nada bercanda.

“Ih, ngapain sih dia bercanda segala kepada Cahaya,” Gemilang membatin dengan wajah sinis.

“Iya, makan aja semuanya. Aku ikhlas kok,” kata Cahaya.

“Beneran? Tapi aku ambil satu ajalah. Terima kasih yah.” Petir kembali memutar tubuhnya menghadap ke depan sambil mengunyah roti itu.

“Ini, buat kamu aja semuanya. Aku ke toilet dulu yah.” Cahaya berdiri dan menyodorkan kotak makanan itu di atas meja Petir.

“Eh, Ya... kok aku dikasi semuanya?” teriak Petir. Namun, suaranya tak bisa lagi di dengar oleh Cahaya sebab gadis itu sudah menghilang di ambang pintu kelas. Tak ada pilihan lain, Petir melanjutkan aktivitasnya mengunyah roti itu.

Di sisi lain, Gemilang masih menatap Petir. Dia ingin bertanya banyak hal kepada Petir, tapi dia hanya bisa menyimpan pertanyaan itu sebab sepertinya Petir tidak mood berbicara dengannya.

“Mengapa kamu memandangiku dari tadi? Aku memang aneh di mata kamu, Ge. Tapi enggak usah pandangi aku seperti itu. Seolah kamu kelaperan memandangiku makan roti. Kalau kamu mau ini ambil aja semuanya.” Petir menyodorkan kota roti itu kepada Gemilang kemudian meninggalkan kelas.

“Eh, Petir kok kamu pergi. Aku tidak mau minta roti.” Gemilang meneriaki Petir.

“Biarin aja deh, Ge. Lumayan dapat sarapan.” Raya mengambil roti dan mengunyahnya dengan cepat. “Lagian ngapain sih kamu memandangi dia. Jangan bilang kamu terkesima dengan keanehannya.” Sambung Raya yang melanjutkan aktivitas menulisnya.
“Aku hanya liatin doang,” cicit Gemilang.

“Kamu ngomong apa sih. Aku enggak dengar,” tegur Raya.

“Enggak. Aku enggak ngomong apa-apa. Fokus aja tuh sama tulisan kamu, keburu guru datang, kamu dapat nilai E karena ketahuan menyontek, memang mau?” ancam Gemilang. Raya dengan sigap melanjutkan aktivitasnya.
Tiba-tiba Cahaya datang sambil celingak-celinguk mencari Petir.

“Loh, Petir mana lagi?” matanya berkeliling di dalam kelas. Hingga bola matanya membulat ketika kotak makanan yang dibawanya sudah ada di atas meja Gemilang. “Kok, kotak makananku di sini? Hah, kamu berulah lagi yah, Ge? Kamu merampas kotak makanan ini dari Petir. Iya kan? Ngaku deh!” bentak Cahaya.

“Apaan sih. Kamu jangan asal nuduh dong. Kotak makanan ini Petir sendiri yang ngasih. Aku enggak minta tuh,” jelas Gemilang tak mau kalah.

“Masa iya? Aku enggak percaya,” kata Cahaya.

“Tanya aja sama Petir sebentar. Aku enggak bohong. Makanya jadi orang tuh jangan neting mulu,” ucap Gemilang.

“Abisnya selama ini kan kamu jahat sama Petir. Jadi, aku selalu ada alasan neting sama kamu,” balas Cahaya.

“Sudah deh, kalian berdua tuh yah, membuyarkan konsentrasi tau enggak sih.” Raya angkat bicara. Dia emosi karena suara kedua gadis itu begitu menggema di dalam kelas dan membuatnya sulit berkonsentrasi untuk menyontek.

“Habisnya sahabat kamu nih yang jahatnya enggak ketulungan selalu buat ulah. Sini kotak makananku!” Cahaya merebut kotak makanan itu dari tangan Gemilang. Gemilang hanya berdengus kesal sambil memutar bola matanya. Dia sepertinya sudah lelah berdebat dengan Cahaya. Lebih baik, dia duduk menanti Petir kembali ke dalam kelas. Siapa tahu dia punya kesempatan untuk berbicara dengan laki-laki itu.

*****

Choice {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang