Siang itu, hujan mengguyur bumi. Kering yang membawa hawa panas seketika mereda. Jam sekolah telah berakhir. Para siswa masih berkumpul di koridor menanti deraian hujan yang tidak menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti. Di tembok depan kelas, Gemilang dan Raya bersandar sambil melipat dada. Mata Gemilang hanya mematut memandnagi air hujan yang turun melalu genteng sekolah. Seolah Gemilang menghitung tiap tetes yang berhasil lolos membasahi bumi. Sementara Raya hanya diam memadangi Gemilang. Dia mencari tahu apa yang sebenarnya membuat Gemilang diam seperti ini. Gemilang tidak peduli ketika Raya menatapnya dalam-dalam.
Di sisi yang lain, tepatnya di depan kelas sebelah, Petir berdiri di pinggiran koridor. Hanya berjara tiga meter dari kelasnya. Di sampingnya Cahaya dengan setia menemani, menanti hujan reda. Mereka bagaikan prangko yang tak bisa dipisahkan. Cahaya nampak menjulurkan tangannya keluar untuk menampung air hujan yang jatuh.
“Tir, kamu suka hujan?” tanya Cahaya.
“Iya. Aku suka hujan.” Petir tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
“Mengapa kamu suka hujan?” tanya Cahaya.
“Hujan membuat duniaku tidak kesepian. Mereka datang barengan, jadi rasanya dunia ini jadi ramai. Di setiap sisi ada mereka,” jelas Petir.
Cahaya mengangguk. Kemudian timbul sifat jahilnya untuk memerciki Petir menggunakan air hujan.
“Aya, jangan dong. Aku basah nih.” Petir berlari dan berhenti di dekat Gemilang. Jarak mereka hanya kisaran satu meter. Kedatangan Petir di dekatnya membuat pandangan Gemilang teralihkan.Sekarang, matanya tidak mematut lagi pada hujan, melainkan kepada Petir. Sementara Raya hanya mengerutkan kening tanda tak suka dengan tingkah Petir dan Cahaya.
“Ih, sok romantis,” Raya berdengus kesal.
Cahaya tertawa lepas. “Katanya suka hujan. Kok, diperciki sedikit aja malah menjauh.”
“Aku memang suka hujan, tapi tidak dengan main basah-basahan.” Petir melap seragamnya yang terkena percikan air hujan.
Cahaya masih tertawa. Petir menegur gadis itu, “Kok, masih tertawa?”
“Kamu lucu aja,” ucap Cahaya yang kini hanya tersenyum.
“Emang aku badut.” Petir beralih kepada Gemilang di sampingnya setelah dia mengakhiri kalimatnya. Gemilang tersenyum. Senyuman termanis yang dia punya. Petir terkesima melihat senyuman itu. Hatinya berdetak kencang tak terkendali. Dia memutuskan mengajak Cahaya meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju ujung koridor, tempat yang jauh dari Gemilang.
Petir tidak tahu bahwa sikapnya itu seketika membuahkan goresan yang dalam di hati Gemilang. Gemilang merasa tiba-tiba di tengah dinginnya hujan, matanya tiba-tiba memanas dan ingin meluncurkan air mata. Namun, dia berusaha menahannya dan berkedip berkali-kali agar air mata itu tak jatuh. Apalagi saat ini di sampingnya masih ada Raya. Dia akan merasa malu, jika Raya tahu air matanya jatuh karena seorang Petir, laki-laki yang sangat di bencinya, dahulu.
“Ge,” suara itu membuatnya berbalik.
“Kak Ven. Ada apa kak?” tanya Gemilang.
“Kamu sakit? Wajah kamu kok pucat,” ucap Ven khawatir.
“Tidak, aku baik-baik saja kok. Mungkin hanya pengaruh hujan saja,” jelas Gemilang tanpa memandang Ven.
“Aku anterin kamu pulang yuk, bareng Raya juga.” Ven beralih menatap Raya yang kini matanya sudah tidak besa lepas dari sosok Ven.
“Terima kasih kak, tapi Aku nungguin Pak Toni aja,” kata Gemilang.
“Kalau nungguin Pak Toni mah lama, gimana kalau aku anterin kalian?” Ven tidak menyerah membujuk Gemilang.
“Kasian, nanti Pak Toni datang dan....” tak sempat Gemilang menyelesaikan kalimatnya, handphone berdering. Rupanya, panggilan dari Pak Toni. Kata supirnya itu, dia tidak bisa menjemput Gemilang sebab, mobilnya mogok di tengah jalan.
“Baik Pak,” ucap Gemilang mengakhiri panggilannya.
“Kenapa, Ge?” tanya Raya.
“Mobil mogok di tengah jalan. Pak Toni enggak bisa jemput,” kata Gemilang. “ Aku naik taksi aja deh.” Gemilang memasukan handphonenya ke dalam tasnya.
“Heh, ya udah kita bareng kak Ven aja. Tawarannya masih berlaku kan kan?” tanya Raya antusias.
“Iya, sampai kapan pun berlaku kok.” Ven tersenyum.
Mau tidak mau Gemilang menerima ajakan Ven untuk naik ke mobilnya. Tapi sebelum melangkah, dia tersenyum dan menatap Ven. “Petir enggak pulang bareng kakak?”
Ven mengernyit mendengar pertanyaan Gemilang. Begitupun dengan Raya.
“Ngapain sih pikirin Petir. Dia kan sudah bareng Cahaya. Mungkin dia sudah pulang bareng pujaannya itu,” cecar Raya.
“Petir kan naik sepeda. Dia enggak mungkin main hujan-hujanan kan kak?” tanya Gemilang sambil menatap Ven.
“Iya, kalau aku temuin Petir di luar sana, aku akan ajak dia pulang bareng kok, yuk,” kata Ven. Demi Gemilang dia rela mengajak Petir naik ke mobilnya. Mereka bertiga berjalan menyusuri koridor sekolah.Ternyata benar, Petir masih ada di ujung koridor bersama Cahaya. Laki-laki itu masih dengan setia menunggu huja reda, dan Cahaya masih dengan setia menemaninya menunggu. Padahal, gadis itu bisa saja pulang dengan taksi online jika mau.
“Tir, yuk pulang,” ajak Ven.
Petir kaget ketika Ven tiba-tiba mengajaknya pulang. Dia lebih kaget lagi ketika matanya menangkap sosok Gemilang yang tersenyum berdiri di samping Ven. Tiba-tiba hatinya gusar. Entah mengapa ada perasaan tidak suka jika dia melihat Gemilang berdiri di samping Ven.
“Aku nungguin hujan reda aja kak,” Petir menolak tawaran Ven.
“Hujan kayak gini mah enggak akan reda dalam waktu dekat. Biasanya sih awet. Kamu bareng aku aja. Sepeda kamu di sini aja. Nanti pak Mamang akan menjemputnya,” kata Ven sambil memberikan kode melalui mata kepada Petir agar menuruti perkataannya. Hal itu membuat Petir salah tingkah dan memperbaiki posisi kacamatanya.
“Baiklah. Aya, kamu gimana?” tanya Petir.
“Aku bisa pesan taksi online kok. Tenang aja.” Cahaya tersenyum.
Mereka pun bergegas ke tempat parkir di mana mobil Ven berada.
“Ge, kamu duduk di depan aja,” pinta Ven.
“Jangan dong. Kalau Gemilang duduk di depan, jadi aku duduk di belakang bareng Petir dong. Ih, enggak mau akh.” Raya bergidik ngeri, seolah Petir adalah benda menjijikkan yang tak boleh berada di dekatnya.
Petir hanya memutar bola matanya kemudian berkata, “Ya udah aku duduk di depan. Kamu duduk di belakang aja. Nanti sahabat kamu ini muntah kalau deket-deket sama aku.”
“Untung tau diri.” Raya pun naik ke atas mobil Ven di ikuti oleh Gemilang. Petir terpaksa duduk di samping Ven karena tidak ada pilihan lain. Tidak mungkin pula dia duduk di samping gadis yang selalu menghinanya, Raya.
Di perjalanan, Petir hanya sibuk memandangi deretan rumah dan bangunan. Dia tidah tahu bahawa sejak mereka naik ke mobil, Gemilang tak berhenti mencuri padang padanya. Semetara, Ven selalu berupaya untuk mengaja gadis itu untuk berbicara. Gemilang hanya menrespon seadanya.
“Akhirnya aku naik mobilnya kak Ven. Pasti banyak gadis yang cemburu dengan aku dan Gemilang. Mereka pasti ingin seperti kita tapi tidak bisa,” ucap Raya histeris.
Ven tersenyum dan berbasa-basi, “oh yah?” tanyanya seolah dia tidak tahu bahwa dirinya digandrungi oleh kaum hawa.
“Iya dong kak. Banyak loh yang ngefans sama kakak. Aku juga eh,” Raya menutup mulut dengan sengaja. “Beda dengan adik kakak tuh, yang ih bikin ilfeel,” lagi-lagi Raya menghina Petir.
Petir menarik napas panjang. Dia berusaha tidak peduli dengan ucapan Raya dan menganggapnya angin lalu.
Ven memegang pundak Petir. “Adik aku ini sebenarnya keren juga loh, hanya saja dia malas mengeluarkan auranya. Hanya orang-orang tertentu yang bisa melihatnya.”
Ucapan Ven membuat Gemilang tersenyum. Di benaknya timbul pertanyaan "Alakah mungkin dia adalah orang tertentu itu?"
“Tadi, perempuan yang denganmu itu, pacar kamu Tir?” tanya Ven. Pertanyaan itu memudarkan senyuman Gemilang.
“Maksud kakak Cahaya?” tanya Petir.
“Yah, siapa lagi. Dia yang menemani kamu di ujung koridor itu,” jelas Ven.
“Iya kak, dia Cahaya, temen sekelas kami juga. Dia itu bidadarinya Petir,” cerocos Raya.
“Oh, jadi kamu suka perempuan berjilbab. Raya juga berjilbab tuh.” Ven melirik Raya.
“Ih, enggak usah deh suka-suka sama aku. Aku enggak aka membalas perasaanmu!” Raya kegeeran. Hal itu membuat Petir tersenyum kecut.
“Iya aku memang suka dengan perempuan berjilbab. Tapi, tidak sembarang juga. Selain pintar menutup aurat, dia juga harus pandai menjaga lisan. Tidak suka menghina orang lain, tidak suka menghakimi orang lain, tidak suka memandang rendah orang lain, dan pastinya tidak suka mengaduin orang. Dia cantik bukan karena fisik, tapi hati. Buat apa canti fisik kalau hatinya buruk.” Petir seolah menyampaikan tipe perempuan idelanya kepada ketiga orang itu.
“Jadi kamu pikir aku buruk?” Raya memukul pundak Petir pelan.
“Enggak. Aku enggak bilang itu kamu kok. Jadi enggak usah tersinggung."
“Ih, nyebelin!” Raya memukul pundak Petir untuk kedua kalinya.
Mendengar ucapan Petir barusan menyadarkan Gemilang bahwa perempuan yang disukai oleh Petir adalah perempuan seperti Cahaya. Dia menghela napasnya dengan berat. Hatinya terasa teriris. Ingin rasanya dia berteriak di tengah hujan perihal apa yang dia rasakan sekarang. Kini, embun yang menempel di kaca jendela mobil jadi saksi kegalauan yang menggebu di dalam hatinya. Seharusnya kehadiran hujan membuat hatinya mendingin, tapi malah sebaliknya. Seluruh tubuhnya terasa panas dan ingin meledak.
"Haruskah aku berubah demi dia?" batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Choice {TAMAT}
Genç KurguDalam hidup, setiap orang punya pilihannya masing-masing dalam segala hal. Setiap orang berhak menentukan apa yang terbaik sebab dia yang mau menjalaninya. Ketika kita punya andil besar dalam hidup, jiwa kita akan merasa tenang. Namun, tidak dengan...