Makan Malam

7 4 0
                                    

Malam yang indah. Seindah pemandangan di luar sana. Cuaca seolah mendukung acara makan malam yang akan di gelar oleh keluarga Sahar. Mereka bersiap-siap menuju Restoran Mahesta, sebuah restoran mewah yang berdesain outdoor.

Sahar dan Ven nampak gagah dengan setelan batiknya. Lara nampak anggun dengan gamis batik dan jilbab yang senada dengan baju. Sedangkan, Mona juga menggunakan batik tapi hanya selutut. Rupanya, keluarga itu sangat mencintai ciri khas budaya nusantara.  Sementara, Petir, dia hanya mengenakan kemeja lusuh yang sudah tua. Sepertinya, dia tidak mempunyai setelan batik seperti keluarganya yang lain.

Sebenarnya Petir tidak ingin hadir di acara makan malam itu, tapi Ven memaksanya dengan alasan, dia tidak mau jika Gemilang melihat bahwa Petir tidak hadir. Ven takut jika gadis itu berpikir yang tidak-tidak tentang keluarganya.
Saat itu, Ven berangkat lebih dulu untuk menjemput Gemilang. Setibanya di sana, gadis itu sudah siap dengan gamis berwarna navy nya dipadukan dengan jilbab cream. Saat Ven tiba, seketika itu pula laki-laki itu terpesona dengan Gemilang yang nampak memukau mengalahkan sang dewi malam.

“Kamu cantik sekali,” puji Ven.

Gemilang hanya tersenyum dan mengalihkan wajahnya ke jendela mobil. Dia tidak peduli dengan ucapan Ven. Hingga, mereka tiba di tempat tujuan, Restoran Mahesta.

Di sana sudah banyak pengunjung yang sedang menyantap makanan lezat di bawang naungan bintang-bintang. Ven menuntun jalan Gemilang menuju tempat yang sudah di pesan oleh keluarganya. Rupanya, keluarga Sahar sudah ada di sana. Ketika Ven dan Gemilang sudah sampai tepat di meja yang telah mereka pesan, Mona langsung berdiri ketika melihat Ven membawa seorang gadis cantik.

“Dia siapa Ven?” tanya Mona.

Petir yang sedari tadi hanya menunduk langsung mengangkat kepala dan menatap gadis yang begitu mempesona yang kini berdiri di samping Ven.

Gemilang, mengapa kamu bertambah cantik? Aku enggak rela jika kak Ven yang berdiri di samping kamu!” batin Petir.

“Yah, Ma, kak, ini Gemilang, adik kelas aku.” Ven memperkenalkan Gemilang kepada keluarganya. Mata Gemilang melihat setiap keluarga Ven. Hingga matanya berhenti kepada sosok Petir.

Meskipun, Petir hanya berpenampilan biasa saja, tapi entah mengapa dia yang paling bersinar di mata Gemilang.

“Ayo, duduk, Nak,” anjur Sahar.
Petir, Ven dan Sahar, duduk berderetan. Begitu pun Gemilang, Mona dan Lara. Gemilang duduk tepat di hadapan Petir. Sedangkan, Mona berhadapan dengan Ven. Gemilang memandangi Petir dengan kemejanya. Kemudian, dia beralih kepada keluarganya yang lain. Kening Gemilang berkerut. Dia baru menyadari bahwa Petir berpenampilan berbeda dari yang lain. Namun, lagi-lagi Gemilang berpikir positif. Dia menganggap Petir mungkin memiliki gaya sendiri.

“Kamu cantik sekali. Baru kali ini aku melihat perempuan yang lebih cantik daripada aku. Eh kenalin aku Mona,” ucap Mona sambil mengulurkan tangannya.
Gemilang hanya tersenyum dan berkata, “Kakak bisa aja deh. Aku Gemilang.”

“Hmm, Ven memang pintar memilih calon,” kata Mona.

“Hah? Calon?” tanya Gemilang.

“Iya. Selera Ven memang tinggi. Terbukti kan, cari perempuan saja harus yang berkualitas. Apalagi hal-hal yang lain. Enggak sama dengan si Petir, huh enggak ada nilai positifnya,” kata Mona.

Seketika Gemilang menautkan kedua alisnya. Dia heran dengan ucapan kakak perempuan Petir itu.

“Mengapa kak Mona berkata seperti itu? Sepertinya di keluarga ini, Petir seperti anak tiri deh. Sepertinya dia di anggap orang asing di tengah keluarganya sendiri,” batin Gemilang.

“Oh yah, kamu mau makan apa?” tanya Mona.

“Aku ngikut aja deh kak,” ucap Gemilang dengan sopan.

Hal itu lagi-lagi membuat Petir terkesima. Baru kali ini dia melihat Gemilang sesopan ini.

“Apa dia benar-benar berubah?” Petir membatin.

Sementara Gemilang sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia beralih menatap Petir, tapi hanya sementara sebab pesanan mereka sudah datang.

“Silahkan dinikmati,” ucap Ven menatap Gemilang.

Acara makan mereka pun dimulai. Kepiting rica-rica, cumi-cumi kecap dan lobster bakar sangat menggugah selera. Namun, tidak bagi Petir, dia hanya memandangi seafood itu. Jika dia berani memakannya, maka dia harus menahan gatal dan kulitnya memerah.

Kini Petir hanya diam. Keluarganya sungguh tega memesan makanan yang tak bisa dia makan. Padahal semua keluarganya, termasuk Mamanya tahu bahwa dia alergi seafood. Lantas, dia harus makan apa? haruskah dia pura-pura suka dengan makanan di depannya?

“Petir, kok kamu hanya diam. Kamu enggak bisa kenyang kalau hanya diam,” tegur Mona.

“Kamu makan gih,” kata Ven.

Gemilang memandangi Petir. “Apa dia alergi dengan seafood? Apa keluarganya tidak tahu bahwa Petir Alergi seafood, sampai-sampai di depan semua makan asli seafood?” batinnya.

“Iya, kak.” Petir menyendokkan nasi ke piringnya dan menambahkan dua potong cumi. Dia berharap jika dia hanya memakannya sedikit, tubuhnya tidak akan bereaksi. Namun, dia salah, setelah beberapa menit dia menelan cumi itu, tubuhnya kini bereaksi. Seluruh tubuhnya terasa mulai gatal. Dia mulai tidak tenang. Dia bergerak ke sana kemarin ketika keluarganya yang lain sibuk bercengkrama.

“Permisi, aku mau ke toilet dulu.” Petir meninggalkan meja makan tanpa dipedulikan oleh keluarganya. Hanya Gemilang yang menatapnya hingga hilang diujung matanya.

“Aku ke toliet dulu yah, kak.” bisik Gemilang kepada Ven. Ven hanya mengangguk.

Sesampainya di sekitar toilet, Gemilang menuju toilet laki-laki. Dia mencari sosok Petir. Rasa khawatirnya untuk laki-laki itu menari-nari di kepalanya. “Dia kok lama amat sih,” kata Gemilang yang kini bolak balik di depan toilet laki-laki.

Setelah beberapa menit berlalu, Petir keluar dengan wajah lesu dan kulitnya sudah memerah.

“Petir,” ucap Gemilang mengampiri Petir.

“Kamu ngapain di sini?” tanya Petir denga judes.

“Aku sengaja nungguin kamu,” kata Gemilang.

“Kamu kembali aja ke depan. Pasti orang-orang nyariin kamu,” anjur Petir.

“Kita kembali sama-sama yuk,” ajak Gemilang.

“Apaan sih, Ge. Kamu duluan aja. Aku masih mau di sini. Lagian mereka tidak akan peduli aku ada di sana atau tidak. Semetara kamu, pasti kak Ven sudah pusing menunggu kekasihnya tak kunjung kembali dari toilet,” ujar Petir.

“Kekasih? Siapa juga yang punya hubungan dengan kak Ven,” Gemilang mengelak ucapan Petir.

“Kamu, siapa lagi!" Petir mengalihkan wajahnya dari Gemilang.

“Aku bukan kekasih kak Ven. Kami hanya berteman,” jelas Gemilang.

“Oke, mau kekasihnya atau bukan, kamu kembali ke depan.” Petir menunjuk pintu.

“Tir, kamu baik-baik saja? Wajah kamu memerah,” ujar Gemilang dengan wajah simpati.

“Aku baik-baik saja, enggak usah sok peduli deh!” Petir terlihat mulai emosi.

“Aku enggak sok peduli kok, aku memang peduli,” kata Gemilang.

“Aku engga perlu kepedulian orang-orang yang nampak baik di depan tapi nyatanya di belakang malah mengadu kepada orang lain,” jelas Petir.

“Maksud kamu?” tanya Gemilang dengan wajah bingung.

“Kamu pura-pura tidak mengerti lagi?” Petir kini menatap Gemilang.

“Aku bener-bener enggak ngerti maksud kamu?” Gemilang menunduk. Dia tidak tahan dengan manik mata Petir yang sudah jadi candu baginya.

“Sudahlah! Enggak usah pura-pura deh. Kamu kan yang ngaduin aku ke kak Ven bahwa aku bolos sekolah seminggu yang lalu?” tanya Petir mulai mengutarakan apa yang selama ini membuatnya menjauhi Gemilang.

“Ngaduin? Aku enggak pernah melakukan itu, Tir. Lagian, aku enggak mungkin cerita panjang lebar ke kak Ven."

Petir tertawa kecut. “Bohong! Aku sudah enggak percaya sama kamu. Meskipun kamu sudah mengubah penampilanmu sekarang, tapi bagiku kamu tetap Gemilang yang kukenal.”

“Tir. Aku bener-bener enggak melakukan itu. Kamu harus percaya padaku,” ucap Gemilang lirih.

“Sudahlah, enggak perlu dibahas lagi. Ke depanlah, aku enggak mau melihat kamu di sini. Temuilah kak Ven!” Petir kini membelakangi Gemilang.

“Tapi, Tir,”

“Keluar! Kamu enggak malu berdiri di sini bersama seorang laki-laki. Oh, aku tahu, kamu kan sudah enggak punya urat malu. Toh, nyatanya kamu langsung menerima ajakan kak Ven untuk makan malam.” Petir tersenyum dengan raut wajah mengejek.

Gemilang bergetar mendengar ucapan Petir. Matanya kini terlihat berair. Dia ingin menumpahkan air mata itu sekaligus, tapi dia berusaha menahannya. Hingga, Ven datang dengan raut wajah penuh amarah.

“Kamu ngapain dengan Gemilang?” Ven menarik kera kemeja Petir.

“Aku enggak ngapa-ngapain dengan kekasih kakak. Dia yang mendatangiku ke sini,” ucap Petir yang kini terlihat berani membalas perkataan Ven.

“Kamu sudah berani denganku, hah?” Ven mendorong tubuh Petir ke tembok.

“Kak Ven, sudah! Hentikan! Petir enggak salah. Aku yang sengaja menemui dia di sini.” Gemilang berdiri tepat di hadapan Petir untuk menghalangi Ven memukul adiknya itu.

“Ge, dia memang pengganggu, selalu buat masalah. Sini, aku kasi dia pelajaran,” ucap Ven yang berusaha untuk memukul Petir. Namun, tinjunya meleset dan Gemilang lah yang menjadi sasaran. Gadis itu mimisan dan merasa pening hingga jatuh pingsan.

“Ge,” teriak Petir yang menangkap tubuh Gemilang yang tumbang di hadapannya.

“Ge,” Ven mengambil alih untuk membopong Gemilang menuju ke depan. Semua mata tertuju mereka seolah sedang menonton sinetron. Sementara Petir berdiri mematung di tempatnya. Perasaan bersalah kini menyelimutinya. Gadis itu membelanya, sehingga dialah yang harus berkorban.

“Maafin aku, Ge. Gara-gara aku kamu terluka. Aku memang jahat! Enggak punya hati!" Petir membenturkan kepalanya di tembok. Darahnya mengalir. Hingga ia jatuh pingsan dan tidak mengingat apa-apa lagi setelah itu.

*****


Choice {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang