Malu

5 3 0
                                    


Hari senin, upacara bendera dilaksanakan tepat pada pukul 07.00. Semua siswa berbaris dengan rapi. Setiap kelas terdiri dari dua barisan. Di bagian depan, berdiri siswa laki-laki, kemudian disambung dengan siswa perempuan. Petir berdiri di barisan siswa laki-laki paling belakang. Di belakang Petir, Cahaya berdiri dengan anggun. Jilbab putihnya terbang tertiup angin pagi.

Setelah beberapa detik berlalu upacara bendera dimulai, tiba-tiba Gemilang datang dan mengambil tempat di sebelah Cahaya. Dia menggeser posisi Rea yang sebelumnya bersebelahan dengan Cahaya. Terpaksa Rea harus mundur selangkah ke belakang diikuti oleh siswi lain. Tapi tak ada yang berani protes. Mereka hanya menunjukkan ekspresi tidak suka, tapi mulut mereka bungkam.

“Kok, kamu menerobos ke depan?” tanya Cahaya memprotes tingkah Gemilang.

“Mau-mau aku dong. Aku kan siswi di sekolah ini. Aku mau berdiri di depan, di tengah, di belakang, yah bukan urusan kamu!” kata Gemilang dengan sinis.

Cahaya hanya mengalihkan pandangannya ke tempat lain seolah mulutnya telah terkunci untuk meladeni seorang Gemilang. Dia tahu, orang seperti Gemilang, semakin diladeni akan semakin berkoar. Lebih baik dia menjadi air, agar kobaran api tidak membesar.

Sementara, Petir yang hanya mendengar ocehan kedua gadis di belakangnya itu seolah tak peduli. Setelah kedua hadis itu diam, Petir melirik Gemilang dari ujung matanya. Dia menangkap gadis itu tengah menatapnya tanpa ekspresi. Namun, Petir enggan untuk berbalik, sebab dia takut manik matanya, bertemu lagi dengan  manik mata gadis itu. Dia tak bisa menahan getaran aneh itu di hatinya jika dia memandang Gemilang.

“Pembina upacara memasuki lapangan upacara,” suara Protokol yang lantang menghentikan mata Gemilang menatap Petir. Mereka kembali fokus pada pelaksanaan upacara bendera hingga selesai.

Saat semua siswa bubar, Petir mengikuti langkah Gemilang. Sementara, Petir sendiri diikuti oleh Cahaya. Nampak, Cahaya terlihat penasaran tentang apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Petir kepada gadis yang menjengkelkan baginya itu. Baru kali ini Petir begitu berani mengikuti Gemilang. Biasanya Petir menghindari Gemilang.

“Ge,” ucap Petir yang berhasil menghentikan langkah Gemilang dan berbalik melihat sosoknya. Jantung Gemilang tiba-tiba berpacu lebih kencang. Dia tidak tahu sejak kapan jantungnya tidak bisa diajak kompromi ketika berhadapan dengan Petir. Namun, dia berusaha menghentikannya dengan mengatur napas dengan baik.

“Ada apa?” tanya Gemilang dengan cuek menyembunyikan perasaannya.

“Aku, hmmm aku mau ngomong sesuatu,” ucap Petir dengan hati-hati.

“Ngomong aja,” Gemilang dengan wajah penasaran yang disembunyikan mempersilahkan Petir untuk berbicara.

“Tir,” Cahaya yang sudah berdiri di belakang Petir menyapa laki-laki itu. Petir menunda untuk menyampaikan hal yang baginya penting itu kepada Gemilang. DIA berbalik dan melihat Cahaya tengah tersenyum manis padanya. “Eh, Aya.”

“Kalian ngapain berhenti di sini?” tanya Cahaya yang memandang Petir dan Gemilang secara bergantian. Nampak Gemilang menarik napas panjang dan melipat kedua lengannya di depan dada.

“Petir, mau ngomong sesuatu sama aku,” kata Gemilang secara tiba-tiba.

“Ngo—mong apa yah?” kata Cahaya terbata-bata.

“Tanya aja sendiri,” jawab Gemilang memutar bola matanya dan mengalihkan padangannya ke arah lain.

Petir memandangi kedua gadis itu secara bergantian. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Sebenarnya, dia hanya ingin menyampaikan kepada Gemilang, bahwa Kak Ven mengajaknya makan saat jam istirahat. Tapi, disituasi seperti ini, dia tidak mungkin mengatakannya kepada Gemilang, sebab Cahaya akan mendengarnya. Bukannya Cahaya akan marah jika dia tahu, tapi Petir hanya ingin menjaga privasi Gemilang, meski di depan sahabatnya sendiri.

“Anu, tadi aku mau ngomong, hmmm terima kasih,” kata Petir ngawur.

“Terima kasih buat apa?” Gemilang mengerutkan kening.

“Karena kamu meminta teman-teman untuk menolongku kemarin,” ucap Petir.

“Oh, jadi hanya itu yang ingin kamu beritahukan kepadaku? Hehh, enggak penting banget! Menyita waktu aja.” Gemilang mengibaskan tangannya kemudian berlalu pergi meninggalkan Petir dan Cahaya yang berdiri mematung.

“Ih, bilang sama-sama kek. Sombong banget, baru juga menolong kayak gitu udah bangga,” omel Cahaya.

“Udahlah,Ya, ayo kita ke kelas. Kelas sudah hampir di mulai nih,” ajak Petir yang mulai melangkah.

“Seharusnya kamu tidak perlu berterima kasih kepadanya,” cecar Cahaya.

“Loh, kok begitu sih, Ya,” protes Petir.

“Kamu udah lihat kan responnya apa, enggak menghargai sama sekali!”

“Yah, terserah dia Ya, yang jelas aku sudah berterima kasih. Bukankah ada tiga hal yang sering dilupakan oleh orang-orang untuk diucapkan yaitu ucapan terima kasih, permintaan maaf, dan minta tolong. Padahal ketiganya memberikan pengaruh positif untuk si pembicara dan si pendengar,” jelas Petir.

“Apa coba pengaruhnya?”

“Kalau kita mengucapkan salah satu dari ketiganya, baik si pedengar maupun si pembicara akan mendapat ketenangan batin,” kata Petir.

“Jadi, batin kamu merasa tenang sekarang?” tanya Cahaya memandangi Petir.

“Iya.” Petir mengusap tengkuknya. Meskipun, sebenarnya niatnya melenceng dari aksinya, tapi setidaknya dia bisa mengucapakan terima kasih kepada Gemilang yang tidak sempat diucapkan olehnya kemarin.

Choice {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang