Bukan Surat terakhir

5 4 0
                                    

Dua minggu berlalu, Petir sudah bisa pulang. Dokter menyarankan untuknya beristirahat di rumah karena dia masih dalam proses pemulihan. Dia, Lara dan Cahaya kini menuju rumah kontrakan Lara di mana selama kurang lebih tiga bulan perempuan itu tinggal seorang diri sembari menunggu Putranya sadar dari koma. Mereka menaiki mobil Cahaya. Gadis itu begitu antusias ketika Petir sudah diizinkan pulang oleh dokter, sampai-sampai dia meminta izin kepada Ayahnya untuk mengendarai mobil seorang diri demi mengantar Petir pulang ke rumahnya.

Sesampainya di rumah sederhana itu, Petir dituntun masuk oleh Lara. Dia kemudian duduk di ruang tamu di sebuah kursi kayu yang sudah mulai rapuh. Petir memandang sekelilingnya, tembok rumah sudah terkelupas, plavon yang sudah memiliki lukisan bekas air hujan yang merembes turun, serta beberapa keramik putihnya sudah terlepas. Tempat tinggal dan suasana yang sangat berbeda. Namun, dia berharap di tempat barunya ini dia bisa menemukan kebahagiaan yang tak pernah dia dapatkan di rumah mewah itu.

“Nak, Mama ke dalam dulu yah, mau ambil minum untuk Cahaya,” ucap Lara yang hendak meninggalkan ruang tamu.

“Enggak usah, tante. Enggak usah repot-repot. Tante di sini aja temenin Petir,” kata Cahaya.

“Kamu pasti haus, Nak,” ucap Lara.

“Enggak kok tante. Kan kita ke sini enggak lari-larian. Kita pun terlindung dari mentari, jadi enggak haus kok, serius deh,” Cahaya menaikkan jari telunjuk dan tengahnya sambil tertawa. Lara dan Petir pun ikut tertawa.

“Terima kasih yah, Ya. Kamu sudah membantuku begitu banyak. Sejak dari awal kita ketemu, kamu sudah banyak membantuku. Kamu selalu mendukungku. Maafkan aku karena sebagai sahabat, aku tidak pernah cerita tentang kehidupan pribadiku. Soalnya aku malu, Ya,” ucap Petir sambil menunduk.

“Iya, sama-sama Petir. Aku seneng kok membantu kamu. Kamu juga sering membantuku. Soalnya masalah pribadimu, aku sudah tahu semuanya. Aku tidak marah kok kalau selama ini kamu tidak cerita tentang masalahmu. Setiap orang punya hak untuk menceritakan sesuatu yang menurutnya rahasia kepada orang lain. Intinya sekarang kamu sudah sembuh. Aku berharap kamu bisa menjalani hidupmu yang lebih baik sekarang," kata gadis berjilbab itu.

“Kamu memang sahabat yang tiada tandingannya, Ya.” Petir mengacungkan jempolnya sambil tersenyum.

Cahaya diam, dia memainkan ujung jilbabnya dan membatin, “Sampai saat ini, Petir hanya menganggapku sebagai sahabat. Tidak lebih. Padahal kami sudah kenal sejak lama. Apakah tak ada ruang  untukku sedikit saja di hatinya? Apakah mungkin di hatinya ada orang lain? Gemilang kah? Tapi Petir tidak pernah mengatakan bahwa dia menyukai Gemilang."

“Kenapa diam, Ya? Ada yang salah?" Tanya Petir.

“Hmm, enggak kok, enggak ada. Tir, aku ada sesuatu untuk kamu.” Cahaya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih dengan pinggiran motif bunga-bunga.”

“Ini apa?” kata Petir ketika meraih amplop itu dari tangan Cahaya ketika gadis itu menyodorkannya.

“Surat dari Gemilang. Kata dia, kamu tidak punya handphone untuk dihubungi, jadi dia hanya bisa menuliskan ini melalui surat.”

“Oh yah?" Petir dengan cepat membuka surat itu. Lara mengerutkan melihat putranya begitu terburu-buru. Lara sudah menebak bahwa Putranya menyimpan rasa untuk gadis itu "Terima kasih yah, Ya.” Petir mulai membuka lipatan surat itu. Dia sudah tidak sabar ingin membacanya.

Dear Petir.

Assalamu ‘alaikum wr...wb...
Petir, aku sangat bahagia, sebab ketika kamu membaca surat ini, pasti kamu sudah sadar dari koma. Tidak mungkin kan kamu membacanya see dalam keadaan tertidur. Hehe.

Choice {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang