Terlambat

7 5 0
                                    


Pagi menyapa lagi. Hari berganti sebagai tanda bahwa apa yang terjadi kemarin sudah menjadi bagian dari masa lalu yang harus dilupakan. Namun, tidak bagi Petir. Hatinya masih terluka dengan kejadian kemarin. Seolah kejadian itu telah meninggalkan luka mendalam yang sulit untuk disembuhkan. Dia membuka matanya perlahan. Menatap langit-langit kamar bernuansa putih dengan tatapan nanar. Kemudian, dia melihat buku-buku jarinya yang sudah terluka. Lalu, dia meraba bagian dadanya, terasa perih. Dia masih mengingat saat kopi panas itu meresap masuk ke pori-pori bajunya. Dia hanya mendengus dan enggan mengobati luka-luka yang telah merajai anggota tubuhnya. Dia merasa lebih nyaman jika di tubuhnya ada luka. Luka-luka yang terlihat itu bisa menyembuhkan luka hatinya yang mendalam.

Beberapa menit berlalu, setelah seluruh jiwanya terkumpul utuh, dia bangun dari tidurnya dan meregangkan otot-ototnya. Kemudian secepat kilat dia menarik handuk dan bergegas mandi. Luka-luka di tubuhnya lagi-lagi memberikan respon saat terkena air sabun, perih.
Berselang beberapa menit dia keluar kamar menuju ruang keluarga di mana semua anggota keluarganya telah duduk di sana menikmati sarapan.

“Kamu telat bangun, begadang yah?” tanya Ven yang sudah lengkap dengan seragamnya.

Petir hanya diam sambil menyantap nasi goreng di hadapannya.

“Pasti dia main game,” tebak Mona.

Petir masih diam. Lara memandangi Petir dan melihat buku-buku jari putranya terluka. Lara tahu persis, bahwa ketika Petir merasa tertekan, dia akan melukai dirinya sendiri. Namun, Lara tidak bereaksi saat itu. Perempuan itu hanya melanjutkan aktifitasnya yakni mengupas jeruk untuk sang suami.

“Kok enggak ngomong? Kayak enggak punya mulut aja,” bentak Mona.

“Bisu kali kak.” Ven tertawa.

“Aku berangkat dulu.” Petir berdiri menyalami Sahar. Dia tetap harus menjadi anak yang berbakti meski berulang kali Ayahnya itu membuatnya tertekan lahir batin. Sahar terlihat sangat acuh. Kemudian, Petir beralih untuk menyalami Mamanya. Ketika hendak melepaskan tangan Lara, Lara menahannya. Petir menatap manik mata Mamanya. Dia melihat ada sorot kesedihan di sana. Namun, tertutupi oleh wajah datar Lara.

“Aku ke sekolah dulu Ma,” ucap Petir berlalu pergi.

“Kita bareng aja, mumpung aku lagi baik hati.” Ven tiba-tiba merangkul Petir.

Mengapa Ven mau ke sekolah bersamaku? Biasanya dia malu kalau jalan bersamaku?” batin Petir.

Namun, Petir tidak bisa menolak, karena kini Ven sudah menyeretnya masuk ke dalam mobilnya.

Di dalam mobil, Ven dengan sikap sombongnya hanya memerkan prestasi dan bakatnnya kepada Petir. Petir hanya diam tak menanggapi Ven yang terlalu berlebihan. Lagipula, Petir dan semua orang tahu prestasi dan bakat Ven, jadi tak perlu diceritakan lagi. Petir sudah bosan mendengarnya.

“Kamu sekelas dengan Gemilang?” tanya Ven tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
Petir hanya mengangguk.

“Aku punya tugas untuk kamu,” ucap Ven.

“Tugas apa?” Petir mengerutkan keningnya.

“Combalingin aku dengan Gemilang!” kata Ven yang berhasil membuat Petir berbalik kepadanya dan membelalakkan mata.

“Kenapa? Kamu suka juga sama Gemilang?” tanya Ven.

“Enggak,” jawab Petir.

“Lalu?”

“Kenapa harus dia? Maksudku mengapa kamu tidak mencari gadis lain saja?” tanya Petir.

Ven merem mobilnya secara mendadak. Jidat Petir terbentur di kaca mobil. “Jadi kamu enggak mau nurutin perkataanku?” ucap Ven.

Choice {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang