Sepuluh tahun kemudian, semuanya sudah berubah. Kota yang tadinya hanya didiami oleh jutaan penduduk, kini sudah lima kali lipat bertambah bahkan lebih. Bangunan tinggi pencakar langit seolah sudah jadi ciri khas kota itu. Jalan raya dan jembatan layang sudah bisa memuat lima kendaraan roda empat sekaligus. Kehidupan para penduduk kota sudah terlihat lebih dari kata cukup. Semua serba mewah dan menawan. Teknologi semakin canggih, semua serba cepat dan modern.
Laki-laki yang kini sudah berusia dua puluh delapan tahun itu bangun karena siluet mentari yang diam-diam masuk melalui jendela. Dia berdiri dan membuka tirai yang menutupi jendela apartemennya. Jendela kaca itu terbentang dari sudut ke sudut. Matanya langsung memandang bangunan di bawah yang terlihay kecil. Yah, dia kini berdiri di lantai dua puluh apartemen mewah itu.
Setelah beberapa menit meregangkan otot-ototnya, dia langsung menyambar handuk, mandi kemudian bersiap ke kantornya. Setelah itu, dia turun dengan penampilan rapinya. Setelan jas abu-abu yang membalut tubuhnya membuatnya terlihat berkharisma. Kulit wajahnya putih glowing tanpa cacat. Rambutnya terlihat rapi mengkilap. Kaca mata jadi pemanis wajahnya yang memang sudah tampan. Dia adalah Petir. Remaja belasan tahun yang suka melukai dirinya sendiri dan selalu dipenuhi rasa cemas kini menjelma menjadi sosok laki-laki dewasa yang selalu diidamkan oleh kaum hawa.
Berselang satu jam dia sudah duduk di ruangannya sambil memeriksa beberapa file yang berkaitan dengan pekerjaan.
“Pak, kandidat sekretaris baru sudah ada di luar,” ucap Broto, supir pribadinya sekaligus sekretaris sementara setelah sekretaris sebelumnya mengundurkan diri karena ingin menikah.
“Suruh dia masuk.” Pinta Petir kepada Broto.
“Baik, Pak.” Broto kemudian keluar dan memanggil seorang perempuan dengan balutan rok hitam dan kemeja abu-abu serta jilbab yang senada. Layaknya seorang pencari kerja.
Petir mengangkat wajah memandangi sosok calon sekretarisnya itu. Dia terperangah. Perempuan di hadapannya adalah sosok yang dikenalnya dahulu. Namun, postur tubuhnya sudah sedikit berubah. Mungkin, karena perempuan ini sudah berkeluarga dan memiliki anak.
“Raya,” desis Petir.
“Petir.” Raya memekik. “Eh, maaf Pak,” ucapnya kemudian.
“Silahkan duduk,” ucap Petir.
“Petir, eh Pak Petir. Bapak CEO di perusahaan ini?” tanya Raya ragu-ragu.
“Menurut kamu?” tanya Petir tanpa menatap Raya.
“Maaf Pak.” Raya menunduk malu. Dia tidak habis pikir bahwa orang yang dulunya selalu dihina kini berada di hadapannya duduk sebagai seorang atasan yang memegang peranan penting, apakah dia diterima bekerja atau tidak.
“Baik Ibu Raya, perkenalkan diri anda terlebih dahulu,” pinta Petir.
Raya mengikuti arahan Petir. Sang CEO memperhatikan dengan saksama setiap ucapan Raya. Kemudian dia menimbang dengan baik, apakah teman sekolahnya semasa SMA itu layak atau tidak bekerja di perusahaannya. Petir harus professional.
Atas pengalaman dan kemampuan Raya, Petir memutuskan untuk menerimanya sebagai sekretaris di perusahannya.
“Aku beneran diterima?” ucap Raya setengah teriak.
“Iya. Kamu enggak mau?”
“Mau banget. Terima kasih Pak sudah menerimaku di sini. Dan aku mau minta maaf sama bapak,”
“Untuk apa?” Petir mengernyit.
“Pak Petir, aku tahu diri. Dulu, waktu SMA aku dan sahabatku, Gemilang selalu membuli bapak,” jelas Raya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Choice {TAMAT}
Novela JuvenilDalam hidup, setiap orang punya pilihannya masing-masing dalam segala hal. Setiap orang berhak menentukan apa yang terbaik sebab dia yang mau menjalaninya. Ketika kita punya andil besar dalam hidup, jiwa kita akan merasa tenang. Namun, tidak dengan...