Petir membuka matanya perlahan. Dia sadar bahwa dirinya telah berada di sebuah ruangan asing, semua serba putih. Ruangan berukuran empat kali tujuh itu terlihat sangat sepi. Hanya ada sebuah hospital Bed dan sebuah lemari di samping tempat tidur yang di atasnya terdapat bunga lavender yang tertancap di dalam vas.Petir berbalik ke sisi kanan dan melihat selang infus. Dia kemudian memeriksa punggung tangan kirinya, dan benar di sana sudah tertancap ujung dari selang infus itu. Tangannya mulai naik meraba bagian kepala. Perban membalut sebagian kepalanya.
Dia berusaha mengingat kembali kejadian yang dia tidak tahu sudah berlalu berapa lama. Kemarin? Beberapa hari yang lalu? atau mungkin puluhan hari telah berlalu? Ketika gadis yang di puja terkena pukulan karena melindunginya, saat itu detik-detik dia tak sadarkan diri.
“Gemilang. Apakah kamu baik-baik saja sekarang?” batinnya. Dia masih tidak mengerakkan bibirnya. Dia merasa bibir dan lidahnya sudah keluh seperti es batu.
Tiba-tiba seorang gadis keluar dari toilet yang tak lain adalah Cahaya.
“Aya,” Petir membatin lagi.
“Petir, kamu sudah sadar? Aku panggilin dokter yah.” Gadis itu berteriak histeris kemudian berlari mencari keberadaan dokter yang menangani Petir.
Secepat kilat, dokter datang dengan berbagai peralatannya. Dia kemudian memeriksa keadaan Petir.
“Kita sangat bersyukur karena teman anda bisa sadar dari koma, setelah dia terbaring kurang lebih empat bulan. Sekarang, dia masih tetap harus di sini untuk proses pemulihan,” jelas sang dokter.
“Baik dokter, terima kasih banyak,” ucap Cahaya.
“Empat bulan?” batin Petir.
Setelah dokter meninggalkan ruangan, Cahaya kembali duduk di samping Petir. Dia memandangi sahabatnya itu.
“Petir, aku seneng banget kamu bisa sadar. Kamu tahu enggak sih, aku kesepian tanpa kamu di sekolah,” kata Cahaya.
“Apa mungkin Cahaya yang menemaniku sepanjang aku koma. Mama di mana? Apakah keluargaku sudah tidak ada yang peduli denganku?”
“Oh yah, tadi Tante Lara pulang dulu ke rumah. Katanya, mau beres-beres. Mama kamu kelihatannya sayang banget sama kamu yah. Sampai-sampai dia tidak pulang tiga hari karena menjaga kamu. Aku hanya bawain makanan ke sini. Tapi, dia enggan memakannya. Aku turut sedih, Tir. Tapi sepertinya sekarang tante Lara akan bahagia banget kalau dia tahu bahwa kamu sudah sadar. Aku harus menghubunginya.” Cahaya meraih handphonenya dan menghubungi Lara.
“Ternyata Mama masih peduli denganku. Lalu, bagaimana dengan Ayah? Bagaimana dengan Gemilang? Apa mereka tidak datang hanya sekedar untuk melihat keadaanku?” batin Petir.
Berselang beberapa menit, Lara datang tergopoh-gopoh masuk ke ruangan di mana Petir di rawat. Dia menghampiri putranya dengan deraian air mata. Tas yang dia bawah di letakkan begitu saja di atas tempat tidur.
“Petir, kamu sudah sadar nak?” tanya Lara sambil memegang bahu Petir.
Petir menatap Ibunya yang sudah dibanjiri air mata. Dia ingin berbicara, tapi dia belum sanggup.
“Mama, sangat senang kamu akhirnya sadar, Nak. Setelah empat bulan kamu terbaring akhirnya kamu kembali.”
“Tante, kita sama-sama bersyukur yah. Akhirnya, Petir bisa sadar,” ucap Cahaya. Lara mengangguk.
******
Keesokan harinya, Petir masih di rumah sakit. Lara setia menemani sang putra. Sementara Cahaya sudah pulang untuk beristirahat sejenak. Bibir Petir sudah tak terlalu kaku seperti kemarin. Dia mulai bisa menggerakkannya sedikit demi sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Choice {TAMAT}
Teen FictionDalam hidup, setiap orang punya pilihannya masing-masing dalam segala hal. Setiap orang berhak menentukan apa yang terbaik sebab dia yang mau menjalaninya. Ketika kita punya andil besar dalam hidup, jiwa kita akan merasa tenang. Namun, tidak dengan...