Hari ini hujan deras memenuhi rumah-rumah dan jalanan kota. Sandina yang masih berada di dalam kamarnya seketika merasa bosan. Padahal ia juga sedang memainkan ponselnya. Karena tingkat kebosanan nya semakin parah, ia memutuskan untuk keluar kamar mencari cara apa agar ia tidak mati kebosanan lagi.
Ketika melewati kamar milik Jeno, entah mengapa tiba-tiba saja dirinya terdorong agar masuk ke dalam sana. Sebelum masuk, Sandina mengetuk pintu sekali kemudian berjalan menuju meja Jeno yang sedang berkutik dengan laptopnya.
Dari belakang Sandina memeluk Jeno, menenggelamkan wajahnya ke pundak pemuda itu.
"Hei ada apa?" tanya Jeno menghentikan sejenak tangannya.
"Gue bosan banget Jen. Ayo temenin gue main atau cerita gitu," keluh Sandina mengerucutkan bibirnya yang menurut Jeno lucu sekali.
"Gak bisa. Aku punya banyak kerjaan. Lihat?" balas Jeno menunjukan pekerjaannya.
Gadis itu berjalan menuju sofa kemudian menyandarkan kepalanya. Ia menatap ke langit-langit rumah, memikirkan hal apa yang lebih baik ia lakukan. Memikirkan semuanya menyebabkan kerongkongannya menjadi kering.
"Jeno, ambilin gue air!" pinta Sandina tak mengubah posisinya.
Dengan senang hati cowok itu turun mengambilkan Sandina air putih juga ia membawakan gadis itu biskuit kesukaan Sandina rasa cokelat kacang.
"Itu airnya. Sama aku bawain biskuit cokelat kacang kesukaanmu."
"Makasih Jenjen," jawab Sandina sembari memperbaiki duduknya.
"Jen, enak gak sih punya abang kek bang Rafka?" tanya Sandina segabut itu.
"Ya giman ya? Ada enaknya, ada gak enaknya juga. Enaknya kamu tau sendiri karena kamu juga punya kakak. Yang gak enaknya, jadi kelinci percobaan buat ngasah keterampilan bela dirinya."
"Berarti sama aja dong kaya kak Lara. Suka banget dia jadiin gue tempat percobaan tutor make-up nya. Mana berisik lagi kalo dianya marah," ujar Sandina mengingat kelakuan sang kakak.
"Jadi kangen kak Lara. Gimana ya dia sekarang? Katanya dia lagi hamil gede. Penasaraan gue kelamin ponakan gue cewek apa cowok ya?" lanjut gadis itu menebak-nebak seperti apa nanti keponakannya.
"Kalo misalnya yang lahir cowok gimana?" tanya Jeno.
"Gimana ya? Bakal gue sayang terus dia. Karena kan gue belum punya adek cowok," ujarnya.
"Kalo cewek gimana?" tanya Jeno lagi.
"Kalo cewek ya? Mungkin bakal gue didik dia biar gak cerewet kek emaknya dan gak sebarbar gue!" Entah mengapa Sandina begitu antusias menunggu kabar dari kelahiran anak kakaknya.
"Emangnya kamu gak cerewet?" goda Jeno membuat Sandina menimbang kembali jawabannya.
"Masa sih gue cerewet? Perasaan gue biasa aja tuh."
"Kalo kamu gak cerewet, mana mungkin Akbar takut sama kamu."
"Dih, Akbarnya aja yang cemen! Masa mau sih debat sama cewek? Aneh memang dia!" sahut Sandina mengingat kejadian-kejadian yang pernah dialaminya kala berpapasan dengan Akbar.
Jeno hanya tertawa kecil saja mendengar penjelasan istrinya. Mungkin mereka sudah harus memikirkan hadiah apa yang cocok untuk bayi Lara nantinya.
"Oh ya Jen! Bang Rafka kapan nyusulnya ya?" tanyanya lagi.
"Entah. Dia aja masih suka gonta-ganti cewek. Masih belum kesana pemikirannya."
"Terus kenapa lo mau nikah sama gue cepat-cepat? Kan gue masih sekolah juga. Dan usia kita juga jaraknya lumayan jauh kan? Kenapa coba?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SANDINA
RomanceDemi menutupi aib keluarga, Sandina terpaksa dijodohkan oleh orang tuanya. Hari-harinya sedikit berubah, ia seolah hidup dalam persembunyian, menyembunyikan statusnya yang sudah berubah tentunya. Tinggal bersama seorang cowok cupu yang baru beberapa...