Bel pulang berbunyi, semua orang mulai berjalan keluar gerbang sekolah. Terutama Sandina, ia akhirnya bisa bernapas lega. Setelah masalahnya dengan Jeno selesai, benar saja Pak Mahmud berniat menambah hukuman untuk dirinya. Namun, ia senang karena Jeno sendiri melarang Pak Mahmud agar hukumannya di kurangi.
"San, lo gak pengen pulang apa? Dah sepi kelasnya. Kalo lo belum mau pulang mending bantu gue gih!" tawar Juwita lagi bertugas piket.
"Oh dah sepi ya? Yaudah deh gue balik. Mangat Wiwit!" ucap Sandina keluar kelas.
"Kampret lo! Bantuin gue napa!" teriak Juwita sayangnya, Sandina sudah pergi jauh. "Gue sendiri kan. Mana si Anoi, Tomi pake sakit segala. Ah kampret banget hari ini gue!" gumamnya melanjutkan tugas piket.
Ternyata benar kata Juwita, Sekolah ini sudah sepi. Hanya ada beberapa siswa yang bertugas piket di kelas masing-masing. Sebelum pergi ke parkiran, Sandina memasang airpods terlebih dahulu. Saat hendak membuka pintu mobil, tak sengaja Sandina melihat ada secarik surat terletak manis di Mobilnya.
Tanpa pikir panjang ia segera mengambil surat itu, membaca isinya ternyata dari seorang fans. Ia membawa surat tadi masuk ke dalam mobilnya. Gadis itu sudah terbiasa dengan hal-hal seperti tadi. Kadang-kadang, ada juga orang-orang yang memberikannya hadiah, baik makanan ringan, barang-barang unik ataupun surat.
.......
"Eh, udah pulang?" sapa Kiki saat Sandina masuk ke dalam rumah.
"Kok bete gitu mukanya? Cerita dong sama Mama," lanjut Kiki lagi.
Sandina berjalan menuju sofa di dekat sang Mama. Meletakkan tasnya di sembarang tempat. Pikirannya melayang kemana-mana. Tubuh Sandina benar-benar lemas. Seakan nyawanya terpisah dari raganya.
"Jadi gini Mah...."
Ia mulai bercerita mengenai kesehariannya di Sekolah. Jadi, setelah Jeno dibawa ke dalam UKS, Akbar yang merupakan ketua kelas Jeno memanggil Pak Mahmud agar permasalahan cepat beres.
Sejak Pak Mahmud tiba, Sandina menundukkan kepala serta menutup mulutnya rapat-rapat. Sementara Taran dan tiga sahabatnya berdiri di dekat Jendela sambil melipat tangannya di dada seolah tidak bersalah. Juwita dan Lia berada di belakang Sandina, mereka merasakan bagaimana dinginnya atmosfer di dalam sana.
"Ada apa ini?" tanya Pak Mahmud membuka pembicaraan.
"Jeno pingsan pak gara-gara melerai pertengkaran Sandina sama Taran," jelas Akbar menunjuk kedua gadis itu.
"Betul itu Sandina?" tanya Pak Mahmud kini pada Sandina.
"I-iya pak," jawab Sandina pelan.
"Ya ampun Sandina! Kamu sehari gak bikin masalah bisa?" kata Pak Mahmud. "Kamu juga Taran. Mau saya hukum juga kamu?"
Sandina yang di tanya cuma menutup mulutnya rapat-rapat. Tak lupa pandangannya menurun. Sementara Taran, cewek itu menatap Sandina dengan tatapan benci.
"Kalau Jeno terjadi apa-apa gimana?" sambung Pak Mahmud.
"Kalian seharusnya saya skors saja. Biar pada jera," lanjut Pak Mahmud.
"Ja-jangan Pak!" ucap Jeno baru sadar dari pingsannya.
Semua mata tertuju pada cowok yang terbaring di atas tempat tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANDINA
RomanceDemi menutupi aib keluarga, Sandina terpaksa dijodohkan oleh orang tuanya. Hari-harinya sedikit berubah, ia seolah hidup dalam persembunyian, menyembunyikan statusnya yang sudah berubah tentunya. Tinggal bersama seorang cowok cupu yang baru beberapa...