20. Ajakan Naufal

66 40 86
                                    

Happy Reading
.
.
.

Pagi ini Luna terbangun cukup siang daripada biasanya, yaitu pukul enam pagi. Hal itu dikarenakan dirinya yang semalaman kembali mencari keberadaan sang kakak. Tapi lagi-lagi yang dilakukannya hanya sia-sia, ia tidak mendapat petunjuk apapun. Tetapi walau begitu, Luna tetap tidak akan menyerah. Apapun keadaannya.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu tersebut membuat Luna yang tadinya sedang menatap pantulan dirinya di cermin seraya menyisir rambutnya, seketika menoleh.

"Iya, sebentar." Luna meletakkan sisirnya di meja rias kemudian berjalan menuju pintu. Dengan pelan ia membukanya. Luna seketika mengembangkan senyumnya saat melihat bi Imah yang sedang berdiri di depan pintu.

"Tumben pagi-pagi kesini, ada apa bi?"

"Bibi kira kamu belum bangun, jadi bibi kesini niatnya mau bangunin kamu. Eh ternyata udah cantik gini."

"Bibi bisa aja. Bibi udah buatin bekal buat aku kan?" Luna tertawa pelan mendengar penuturan bi Imah yang memujinya.

"Udah dong, udah bibi siapin. Nasi goreng super spesial buat si cantik."

"Ih si bibi mah, jangan puji aku mulu. Malu tau."

"Kan kamu emang cantik, cantik banget malahan. Tapi kalau lagi sedih, cantiknya langsung ilang lho. Jadi jangan pernah sedih ya, ada bibi. Kalau kamu ngerasa sedih, temuin bibi, kamu bisa cerita sama bibi. Bibi siap jadi sandaran kamu."

Mata Luna seketika berkaca-kaca mendengar penuturan bi Imah. Dengan segera Luna memeluk tubuh wanita paruh baya itu.

Beberapa tahun ini, bi Imah memang kerap kali menjadi sandaran sekaligus tempat curhat Luna ketika gadis itu merasa sedih. Bahkan tak jarang pula, saat tengah malam, Luna pergi ke kamar bi Imah untuk berbagi keluh kesah.

"Bi, makasih banyak buat semuanya ya. Aku nggak tau kalau nggak ada bibi aku bakal gimana."

"Tuh kan, jadi jelek kalau udah nangis gini. Udah, sekarang lanjut siap-siapnya abis itu berangkat, sekolah yang bener biar bisa jadi designer terkenal nanti." Bi Imah menghapus air mata di pipi Luna dengan lembut.

"Ini tuh air mata bahagia, bi. Aku bahagia karna bibi selalu peduli sama aku."

"Bibi akan selalu peduli sama kamu. Sampai kapanpun itu. Nah, sekarang, siap-siap ya. Udah siang tuh, udah setengah tujuh lebih."

"Ya udah, aku lanjut siap-siap dulu ya bi. Sebentar lagi aku turun. Bibi jangan capek-capek ya kerjanya. Aku nggak mau kalau bibi sampai sakit." Bi Imah tersenyum lembut menatap Luna. Gadis di hadapannya ini mempunyai hati yang sangat lembut. Sungguh, sangat tidak pantas jika gadis sebaik itu mendapatkan perlakuan yang buruk dari orangtuanya.

Bi Imah menatap sendu gadis yang sedang memakai sepatunya itu. Ia berharap, secepatnya kebahagiaan akan kembali menghampiri gadis itu.

🍃🍃🍃

Ketika sampai di sekolah, keadaan sudah ramai karena sebentar lagi bel masuk akan segera berbunyi. Begitupun saat memasuki kelas, hampir seluruh siswa sudah hadir. Mungkin hanya satuatau dua saja yang belum hadir.

Luna meletakkan tasnya di atas meja kemudian ia jadikan sebagai bantalan untuk menopang kepalanya. Lumayan Luna bisa bersantai, walau hanya beberapa menit saja.

(Not) PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang