Prolog

458 225 272
                                    

Hai hai👋 Welcome to my lapak. Semoga like ya, ya harus like dong. Kalo nggak, ntar author tampol sampe ke korea.

Happy riding yaw, bintangnya jangan pelit-pelit
.
.
.

"EMAKK, SI JONO JAIL NIH!"

Yang dipanggil emak pun menoleh. Ia melihat Mira-teman sekelasnya yang baru saja memanggilnya. Ia hanya bisa mengelus dadanya sabar. Setiap hari ia selalu disuguhi dengan tingkah teman-teman sekelasnya yang absurd.

Hanya karena menjabat sebagai wakil ketua kelas ia dipanggil dengan sebutan Emak. Sudah berkali kali ia memperingati mereka agar berhenti memanggilnya seperti itu, tetapi berkali-kali pula mereka tak pernah mempedulikannya.

"Mira, udah berkali-kali gue bilang, jangan panggil gue Emak! Gue bukan Emak lo pada!"

"Mak, nggak boleh kayak gitu, nanti Bapak marah lho, kalau Emak nggak ngakuin anak-anaknya. Betul nggak kawan?" Mira sedikit berteriak membuat perhatian seluruh kelas menuju pada mereka.

"Betul!" Seru mereka semua dengan kompak.

"Astaghfirullah, gue mesti gimana lagi sih biar kalian nggak manggil gue kayak gitu?" Ujarnya dengan frustasi.

"Mak, sabar mak. Jangan frustasi dulu, entar gila. Kita kan nggak mau punya Emak gila." Timpal Angga.

"Heh! Nama gue itu Luna!"

"Iya Emak, kita tahu kok. Tapi, sebagai anak yang baik tuh nggak boleh manggil Emaknya nama doang." Ujar Syarif.

"Ah! Tau lah! Serah lo pada! Dasar temen laknat!"

Luna bangkit dan berjalan meninggalkan mereka semua. Sesaat setelah itu, seorang pria memasuki kelas dengan dahi berkerut.

"Tuh si Luna kenapa?"

"Tadi habis jadi Emak durhaka Pak." Jawab salah satu teman sekelasnya.

"Emang kenapa?"

"Tadi Emak nggak mau ngakuin kita-kita anaknya Pak. Kan jahat."

"Oh gitu, ya udah, nanti Bapak bujuk biar Emakmu itu jinak dan mau ngakuin kalian anaknya. Kalian yang sabar ya."

"Semangat Pak! Bapak emang the best lah. Ay lopyu Pak." Ujar Jono.

"Kok gue jijik ya?"

Naufal-lelaki yang barusan dipanggil Bapak- pun kemudian duduk dibangkunya dan mengambil ponselnya yang ada di saku dan memainkannya dengan cara dimiringkan, apalagi kalau bukan nge-game.

"Pak, tadi katanya mau bujuk Emak, kok malah nge-game sih?" Ujar Syarif yang tiba-tiba duduk di sebelahnya.

Naufal meliriknya sekilas kemudian kembali menatap ke arah layar ponselnya.

"Nanti ya, sekarang Bapak mau nge-game dulu."

"Ya udah, mending kita mabar aja yok Pak."

"Hayuk lah."

Syarif mulai mengeluarkan ponselnya dan kemudian melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Naufal.

Tak lama setelah itu, Luna terlihat memasuki kelas dengan tergesa-gesa dan langsung bersembunyi di meja pojok paling belakang, membuat semua teman-temannya kebingungan.

"Kenapa Mak?" Tanya Anna-salah satu sahabatnya sekaligus teman satu kelasnya.

"Ssttt diem, jangan bilang gue disini." Ujar Luna dengan sedikit berbisik.

"Emang kenapa sih Mak?"

"Nanti kalau ada yang nyariin gue, bilang aja gue nggak ada, oke?"

Masih dengan kebingungannya, Anna mengangguk.

"LUNA! LUNA!" Tiba-tiba seseorang memasuki kelas Luna dengan berteriak.

"Woy, pada liat Luna nggak?"

Seseorang yang mereka ketahui bernama Andi itu terus celingukan mencari keberadaan Luna. Sementara, teman sekelas Luna masih terdiam, tidak ada yang berniat menjawab pertanyaan dari Andi barusan.

"Anna, Luna mana?"

"Lo ngapain sih, nyariin Emak?"

"Gue mau Luna tanggung jawab."

"LO HAMIL DI?" Tanya Jono dengan tampang polosnya.

"Gue mau dia tanggung jawab karna udah bikin pala gue benjol." Andi sedikit menyingkap rambutnya yang menutupi dahinya, dan terlihat dahinya yang sedikit benjol.

"Oh gitu, ya udah gue panggilin dulu Lunanya."

Sementara dibelakang, Luna menepuk dahinya pelan merutuki kebodohan Jono.

"Mak! Keluar dong, jangan ngumpet. Tanggung jawab nih."

"Ah! Sialan!" Perlahan, Luna berdiri dan langsung menatap Jono dengan tajam. Awas saja nanti, Luna pasti akan balas dendam jika Andi sudah pergi dari kelasnya.

"Emang ya, bego sama polos itu beda tipis."

"Heh Luna! Sini lo tanggung jawab!"

"Tanggung jawab apaan sih? Orang gue nggak sengaja kok. Lagian, gue juga udah minta maaf ya."

Ya, memang tadi Luna tidak sengaja menendang botol minuman yang ada di depannya, dan alhasil mengenai dahi Andi. Tapi itu bukan salahnya. Salahkan saja teman-temannya yang membuatnya kesal.

"Gue ngga mau tahu! Ganti rugi sekarang juga! Seratus ribu."

Mata Luna seketika melotot mendengarnya. Yang ada, ini pemerasan.

"Nggak nggak. Ogah banget gue, yang ada lo mau meras gue. Lo kira nyari duit gampang? Lo kira gue nggak ada kebutuhan lain gitu?"

"Gue nggak mau tahu!"

"Lo pergi sekarang juga, atau ini kursi melayang ke muka lo!" Ujarnya dengan penuh penekanan.

"Oke oke, gue bakalan pergi. Gue nggak mau muka tampan gue harus lecet lagi gara-gara kursi itu." Setelahnya Andi pergi meninggalkannya kelas Luna.

"JONO! SINI LO!"

Jono yang mendapat tatapan tajam dari Luna pun langsung ketakutan dan bersembunyi di balik punggung Naufal.

"SINI NGGAK LO?!"

"Pak, tolongin dong. Jinakin Emak biar nggak marah lagi. Emak serem kalau lagi marah gitu." Bujuk Jono pada Naufal yang sekarang masih asik pada permainannya.

"Ogah. Hadepin aja sendiri."

"Ah! Bapak mah nggak asik!"

"JONO!"

"Rasain lu Jon." Ejek teman-temannya yang lain.

Mereka sangat senang jika melihat Jono seperti itu. Karena bagi mereka, melihat Jono tersiksa adalah kebahagiaan mereka.

"Sini kagak?"

"Oke kalau nggak mau, biar gue yang kesitu." Luna mulai melangkah ke arah Jono, masih dengan tatapan tajamnya.

"Mak, ampun Mak. Maapin Jono ya? Jono nggak sengaja ngasih tahu tadi Mak. Maapin ya?"

"Nggak ada maaf maaf!"

Luna mulai mengangkat tangannya untuk menjambak rambut Jono, tetapi sebelum itu, Jono sudah lari terlebih dahulu menghindari amukan Luna.

"AMPUN MAK! JANGAN JAMBAK RAMBUT INDAH JONO, NANTI BOTAK!" Jono berlari meninggalkan kelas sembari berteriak membuat semua yang ada di kelas tertawa.

Memang seperti inilah keadaan kelas mereka setiap hari. Tiada hari tanpa keributan.

~~•~~

(Not) PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang