14. Sebuah Amplop

246 32 2
                                    

Pukul 10 malam dan Ariana Zhelyna baru kembali dari danau. Bertukar cerita dengan cowok itu membuatnya nyaman. Terlebih, suasana malam yang sangat mendukung.

Merentangkan kedua tangan, merebahkan diri di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar yang bercat putih polos. Dalam ruang kepalanya, segala perkataan Aldo di danau tadi terus berngiangan. Memenuhi segala saraf di otaknya.

Na, salah satu alasan gue tinggal di apartemen adalah dibuang.

Suatu kalimat yang paling Ana ingat. Ternyata, di balik segala kesempurnaan yang di miliki oleh Revaldo Sebastian, ada berjuta kesedihan yang terus menyelimuti hidup cowok itu.

Dibuang. Dan Ana tau bagaimana rasanya. Karena, ia pernah merasakan hal itu. Sebuah masa lalu yang terus menemani. Sebuah luka yang terus membekas.

Semua pukulan itu, semua bentakan itu, dan semua perkataan menusuk itu, akan terus tersimpan apik dalam ingatan Ariana Zhelyna. Tak mudah untuk membuang seberkas kenangan menyakitkan.

"Apa kabar mereka?" Sebuah monolog yang muncul dari mulutnya. Ariana memejamkan mata, merasakan bekas luka yang masih terasa dalam hatinya.

Ya kali cowok mental tempe.

Ariana Zhelyna tau, mental yang kuat itu terbentuk dari mental yang sering dirapuhkan.

Abang mana yang tega ngebiarin adeknya yang kurang sempurna, hidup sendiri di kota sebesar ini?

Pengorbanan yang mau tidak mau harus dilakukan. Mencoba menjalani pahitnya kehidupan di dunia yang benar-benar fana. Rasa ingin menyerah, pasrah, karena sudah berada pada titik terendah dalam tabah.

Buat apa gue bisa bergerak bebas, sedangkan adek gue lumpuh?

Sebuah kenyataan yang harus diterima. Segala rasa pahit yang harus ditelan dengan terpaksa. Tak ada manusia yang pernah menyangka akan takdir Sang Kuasa yang luar biasa.

Tentang Revaldo Sebastian yang jiwanya teriris luka.

"Jujur aja, sih, gue kangen sama mereka. Tapi ...." Tak sanggup untuk dilanjutkan.

"Gue yang dibuang, gue yang kangen. Apa pantes?" Menatap langit-langit kamar. "Kalau gue kembali, bakal dipukul kayak dulu nggak, ya?" Beralih pada nakas. "Kalau gue pulang bawa berlembar-lembar sertifikat, puluhan medali, apa mereka bakal tetap menganggap gue nggak berguna?"

Mengalihkan pandangan pada dinding kamar. "Apa gue bisa bahagia?" Lantas, menoleh ke arah Amora. "Apa dengan gue pinter, gue bisa banggain mereka?" Menarik napas pelan. "Gimana caranya biar mereka nggak terus kecewa?"

Ariana memilih untuk mendiamkan tubuhnya. Memejamkan mata, menaruh tangan di atas perut, membiarkan semilir angin malam menerpa kulitnya yang tak tertutup pakaian.

Embusan angin malam terasa lebih kencang dari biasanya. Suhu udara di kamar Ana seakan menurun. Suara tirai berkibar membuat cewek itu teringat akan sesuatu.

Ia lupa menutup jendela.

Ariana Zhelyna bangkit dari tidurnya. Ia berjalan menuju jendela kamarnya. Sedikit menyipitkan mata kala angin menerpa bola matanya. Tangannya bergerak untuk menutup, mengurangi jumlah angin yang masuk.

Tapi, tunggu, ada sesuatu di sana. Sebuah amplop yang tertempel tidak rapi di kaca jendela bening itu. Rasa penasaran menyelimuti dirinya. Tangan sebelah kanan Ariana terulur, mengambil amplop itu, lalu membukanya secara perlahan.

Hingga tampak secarik kertas terlipat rapi di dalam amplop itu. Rasa penasarannya membuncah. Dengan gerakan pelan, Ariana Zhelyna mengeluarkan kertas itu. Membukanya dengan hati-hati sampai tampak beberapa deret kata di sana.

Oneiro [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang