18. Foto

203 19 4
                                    

Tenggelam dalam lautan masa lalu yang kelam.

Perasaanku hancur saat hadirku dijadikan malapetaka.

Jiwaku retak saat hadirku hanya dianggap sampah.

Semua kalimat tak berguna itu terus berputar dalam otak Ana. Menganggu fokusnya saat mengerjakan soal paralel test. Isi otaknya seolah bercampur aduk, beradu dalam satu ruangan.

Antara materi yang ia pelajari dan segenap kalimat tak berguna itu.

Semakin dipikirkan, Ana semakin tidak fokus. Semua materi yang ia pelajari lenyap seketika membuat dirinya kesusahan dalam mengerjakan soal.

"Fokus, Na, fokus!"

Waktu terus berjalan, tapi Ana sama sekali belum bisa mendapatkan fokusnya. Memilih pasrah, ia memaksakan diri menggarap soal itu. Menekan otaknya agar berpikir logis dalam menjawab soal uraian yang terkadang menjebak.

Seiring berjalannya waktu, Ana terus mencoba mengendalikan pikirnya. Mencoba menaklukkan kembali konsentrasinya dan membuang jauh-jauh teror itu.

Meski ia sendiri sudah paham bahwa traumanya kembali dan membuatnya depresi.

Sementara di sisi lain, seorang siswi tengah membunyikan jari dan meregangkan otot leher saat semua soal sudah ia garap dengan baik. Terasa mudah dan seakan terlalu gampang.

"Soal level teri," ejeknya pada layar komputer. "Kurang susah, nggak menantang."

Seperti biasa, tersenyum angkuh penuh kesombongan. Jari-jari lentiknya mengambil pulpen mekanik, memainkan bagian atas pulpen itu menimbulkan bunyi beriringan.

Ia melirik meja komputer lain, tersenyum remeh saat melihat orang itu masih tampak berkutat dan kesusahan dalam soal.

"Goblok, sih." Lalu tertawa pelan. Merasa puas atas apa yang sudah ia lakukan, merasa berhasil dan berjaya.

Pandangan Athena tak lepas dari Ariana Zhelyna yang sedang mengerjakan soal. Tampak sekali cewek itu tengah sulit mengendalikan diri dan merasa gelisah. Hal ini bisa Athena ketahui dari membaca buku psikologi dua tahun lalu.

Waktu semakin maju, sisa waktu semakin sedikit, tapi Ana masih sibuk pada layar komputernya. Tak biasanya cewek itu selesai paling terakhir. Sebab, otak emas dengan kemampuan pemahaman yang kilat, pasti lancar berpikir.

Tapi, kali ini berbeda. Dan Athena mengumbar senyuman miring karena itu.

"Athena Senja Maharani nggak akan pernah terkalahkan," ucapnya bermonolog. "Nggak ada yang bisa menandingi gue gimana pun caranya."

"Karena gue, selalu di atas apa pun."

***

Melempar tas, melepas kunciran, membuka kaos kaki dengan asal. Mendudukkan diri ke atas sofa abu-abu, diakhiri dengan embusan napas sebal.

Ariana Zhelyna tengah membenci dirinya sendiri saat ini. Ia benci saat gagal melakukan apa yang sudah ia usahakan. Seperti mengendalikan fokus.

Memang, terdengar sederhana dan biasa saja. Tapi, sebuah konsentrasi sulit dikendalikan saat pikiran otak tengah bercabang, terlebih itu menyangkut trauma menyebabkan depresi. Semua hal yang berkaitan dengan mental, tak pernah sepele.

Dan, jangan pernah dianggap sepele apalagi remeh.

Merasa butuh pelampiasan, Ana berjalan menuju dapur. Membuka lemari makanan yang berisi beberapa bungkus mie instan. Matanya berbinar saat satu bungkus mie Samyang terpajang di sana.

Oneiro [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang