33. Phobia

138 15 6
                                    

Pembekalan selesai pukul lima sore dan Ana butuh waktu dua jam untuk menjalani rutinitasnya sehari-hari. Otomatis, gadis itu akan belajar pukul tujuh malam.

Ana benci ini. Ia benci waktu belajarnya yang berkurang dan keluar dari rencana.

Terlebih, mata pelajaran paralel test besok adalah Fisika.

Fisika adalah bencana bagi Ariana.

Ia benci rumus dengan angka rumit itu. Ia benci saat otaknya tak mampu melogika dengan baik saat ia mencoba mengerjakan latihan soalnya.

"Seperti yang kalian tau, besok adalah paralel test terakhir kelas 12. Saya harap, kalian memberikan hasil yang baik dalam test kalian besok. Akan ada konsekuensi bagi murid yang nilainya di bawah delapan puluh."

Perkataan kepala sekolah tadi terngiang dalam otak Ariana. Jujur, ia takut sekarang.

"Mata pelajaran besok hanya Fisika. Satu mapel saja. Karena kami melihat nilai Fisika kalian ada yang belum mencapai target. Kami harap, kalian belajar giat untuk mempersiapkan diri besok."

Ia takut nilainya turun dan menerima konsekuensi seperti yang dikatakan saat pembekalan tadi. Ia benci kegagalan.

"Argh!" gerutunya kesal. Ana mencoret-coret angka yang coba ia kerjakan.

Sebanyak dan segiat apa pun ia mencoba, tak ada satu pun jawaban yang Ana peroleh.

"Sesuai rumus, sesuai langkah-langkah. Terus kenapa gue nggak nemu jawabannya?!"

Ana benci saat otaknya susah memroses rumus-rumus itu. Tak semudah saat ia menyerap pelajaran Kimia dan Biologi. Tak segampang saat ia memahami unsur-unsur kimia serta kinerja organ tubuh manusia.

Ia memang cerdas. Selalu menjadi unggul dan peringkat satu dalam segala hal. Selalu mampu menyabet medali-medali olimpiade yang membanggakan. Namun, seantero GHS tau, kecerdasannya bukan tipe matematis. Nilai Matematika dan Fisikanya tak pernah memuaskan.

Dan, Ana benci itu.

Tangannya membuka buku paket. Mencari lembar halaman yang ia butuhkan.

"Rumus rangkaian induktor adalah reaktansi induktif sama dengan kecepatan sudut dikali induktasi induktor."

Lalu, membaca itu sekali lagi. Dan, ia sudah hafal. Sangat mudah untuk menghafal rumus, tapi untuk mencoba mengerjakannya, itu yang susah.

"Arghh!" Ana mengacak rambutnya, melampiaskan rasa stress yang menghantui kepalanya.

Tangannya bergerak, menulis angka dan simbol di atas kertas. Tintanya pulpennya terus keluar. Banyak langkah dan cara yang Ana tempuh, tapi ia masih buntu pada soal nomor satu.

"Nggak! Gue bisa, gue pasti bisa. I can do it!"

Satu hal positif dari Ariana Zhelyna. Ia selalu mampu memotivasi dirinya sendiri saat tak ada orang yang menjadi motivatornya.

"Reaktansi induktif sama dengan kecepatan sudut dikali induktasi induktor."

Matanya memejam. Mulutnya komat-kamit merapalkan rumus.

Oneiro [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang