31. Kehilangannya

157 17 3
                                    

Votenya jangan lupa ya pren. Happy reading <3
_____________________________________
Seperti yang Ana katakan waktu di apartemen Aldo kemarin, ia akan pergi ke suatu tempat. Sebuah tempat yang tidak pernah ada satupun orang tau bahwa Ariana Zhelyna sering ke sana. Sebuah tempat yang mampu mengubah tatanan hidup Ana yang awalnya rapi, menjadi berantakan tanpa arah.

Gadis itu menyisir rambut panjangnya, lantas mengikatnya dengan rapi. Sejenak, Ana menatap pantulan dirinya di cermin. Tampak sedikit ... memprihatinkan.

Matanya yang bengkak sedikit basah dengan hidung merah membuatnya terlihat menyedihkan. Tapi, sebagai seorang eccedentiast sejati, Ana selalu mampu menutupinya.

Merasa siap, ia mulai berangkat. Outfit serba hitam yang Ana gunakan, membuat orang-orang yang berpapasan dengan gadis itu pasti tau ia akan pergi ke mana.

Hingga, sampailah ia di tempat ini. Tempat yang menjadi saksi bisu jatuhnya beribu tetes air mata. Tempat yang menjadi sebuah persinggahan untuk mereka yang meninggalkan bumi.

Apalagi kalau bukan, pemakaman.


Ana berjalan pelan menuju satu buah kuburan yang sudah ditumbuhi beberapa rumput hijau. Kakinya tiba-tiba terasa lemas, seakan tenaganya hilang begitu saja. Tepat saat kedua netra indahnya menatap tulisan di batu nisan.

Ahmad Sudarmiji
bin
Wahyu

Lahir: 20 Oktober 1986
Wafat: 20 November 2010

Perlahan, satu tetes air mata turun dari netranya. Membasahi pipi mulus Ana dengan isakan kecil dari bibirnya.

"Pa, Ana dateng," lirihnya diikuti beberapa tetes air mata. Lantas, Ana perlahan menjongkokkan diri tepat di samping makam sang ayah.

"Papa apa kabar? Ana kangen ..."

Tangannya mengusap pelan batu marmer yang di bawahnya terdapat jenazah terbujur kaku. Perlahan, satu demi satu, air mata Ana jatuh ke pakaiannya. Sekuat tenaga ia menahan agar bulir bening itu tak jatuh ke tanah makam.

"Maaf baru bisa ke sini, Ana sibuk belajar belakangan ini. Papa di sana tenang, kan?"

Mungkin, tak ada hal lain yang mampu mengembalikan sisi paling bahagia Ana setelah perginya sang ayah. Gadis itu rapuh, meski tampak kuat dan hebat.

Seperti biasa, cuplikan kenangan terindah bermunculan dalam memorinya. Membuat Ana terpaksa menangis lebih deras, namun tak bersuara.

Rasanya ... jelas menyakitkan.

Sesak menghantam dadanya. Oksigen yang masuk seakan menipis. Banyak hal yang ingin Ana ceritakan. Namun, satu kalimat yang terlontar hanya, "Pa, Ana berhasil hidup tanpa papa."

Iya, Ana berhasil. Melewati banyak hal pahit sendirian dengan bahunya yang sebenarnya amat rapuh. Mengalami banyak rintangan hidup seorang diri, tanpa hadirnya sang pendukung.

"Ana sukses, Ana masuk GHS. Papa bangga, kan?"

Jari telunjuknya naik, mengusap ait mata, menghilangkan jejak rintik bening. Tak ada isakan mengalun. Sekuat tenaga, Ana menahannya.

"Pa ...," Tangannya menabur banyak bunga di atas makam. Bergerak dari atas ke bawah. "Banyak hal berat yang Ana lewati tanpa papa." Lalu, lanjut kembali dari bawah ke atas.

"Meski susah, tapi Ana sanggup. Papa bangga, kan? Papa bahagia, kan?"

Ia menarik napas. Mengambil posisi nyaman, menyiapkan diri untuk bercerita seperti biasanya.

"Pa, Ana udah kelas 12, kelas akhir. Bentar lagi Ana UN, lalu lulus, kuliah dengan beasiswa, terus Ana lulus cumlaude, sukses, nikah, dan persembahkan semuanya buat papa. Doakan semuanya tercapai, ya, Pa."

Menarik napas.

"Pa ...," Ana mengelus pelan batu nisan itu. "Kalau Ana tiba-tiba nyusul ke sana, papa siap 'kan nyambut Ana? Nanti kita bareng-bareng di sana, Pa."

Ia tersenyum.

"Mama udah bahagia, kok, sama papa baru. Mama udah nggak peduli sama Ana, jadi Ana sekarang nggak punya siapa-siapa. Selain papa ..."

Air matanya mengalir.

"... di hati Ana."

Ia menatap batu nisan lamat-lamat. Seakan ada wajah sang ayah di sana. Ia jelas rindu sosok itu. Pria tangguh yang selalu memberikan kasih sayang padanya. Ukiran mata yang sama dengan dirinya, mengingatkan Ana pada tatapan tenang sang ayah.

"Tuhan ...."

Ana memegang dadanya. Sesak. Terlalu pilu untuk diceritakan.

"Sebenarnya, apa tujuanmu mengambil pahlawanku?"

Ia menengadah ke atas. Melihat hamparan langit biru yang justru semakin cerah. Ana benci keadaan ini. Ia benci ketika langit malah cerah disaat ia rapuh pecah.

"Tuhan ...."

Ana meremas tanah makam. Partikel-partikel penyusun bumi itu tertempel di tangannya.

"Tolong jaga pahlawanku ...."

Berpindah, netranya menatap ukiran nama sang ayah di batu nisan.

"Hingga aku mampu menyusulnya."

Sakit. Rasa sakit yang sama seperti saat ia kehilangan sang ayah. Padahal, sudah hampir lima tahun berlalu, namun, rasa perih itu tak pernah pergi dari raganya.

Ariana berniat pergi. Terlalu lama di pemakaman hanya akan menyiksa diri, membuat rasa sedih dan sesaknya kembali lagi.

Ia menepuk pelan pakaian belakangnya, menjatuhkan debu dan partikel tanah yang menempel. Ariana mulai beranjak pergi, namun di langkah yang ke 59 dari makam, ia mendapati seorang gadis yang juga tengah berjongkok di samping sebuah makam.

Ariana ... terlalu familiar terhadap bentuk tubuh itu.

Tapi, kenapa gadis itu ke sini?

Segenap pertanyaan berkeliaran di otaknya. Ia refleks mematung di tempat, memandangi gadis itu dari belakang. Hingga, otaknya memberikan perintah untuk berjalan, menghampiri gadis yang terlalu familiar di matanya.

Ia mendekat, semakin dekat, sangat dekat, hingga benar-benar tak ada jarak jauh. Gadis itu tengah menangis sambil menatap nisan yang tertulis nama di sana.

"Lo?"

Ana tercekat.

"Athena?"

-To be continued-

Hiii, maaf baru bisa update sekarang. Ada banyak hal yang harus dilewati belakangan ini. Makasih banget buat kalian yang udah nunggu cerita ini meski update-nya ngaret banget :)

And, sorry kalau part ini pendek. But, di part selanjutnya bakalan panjang kok :D

Selamat menikmati cerita sampai ending ~

_7 Desember 2021_

Oneiro [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang