11. Amigdala

283 37 10
                                    

Menikmati aura lingkungan ambis selama berbulan-bulan membuat Ariana Zhelyna tanpa sadar sudah satu semester di Genius High School.

Cewek itu semakin rajin belajar, menjadi kutu buku di mana pun ia berada. Seolah ilmu adalah segalanya. Tasya dan Ica sudah tak heran lagi dengan kebiasaan sahabat mereka itu. Keduanya memaklumi. Karena Ana benar-benar tengah berjuang menggapai mimpinya dan tujuan utamanya.

Pagi hari, setengah jam sebelum paralel test terakhir di kelas 11 dimulai, seorang cewek berhoodie hitam dengan tudung di atas kepalanya. Berjalan cepat masuk ke dalam ruang tata usaha.

Suasana sekolah masih sepi, hanya ada beberapa murid yang telah tiba. Cewek itu membuka pintu kaca ruang TU, lalu duduk di kursi empuk tepat di depan seorang guru dengan rambut disanggul rapi.

"Ada apa, Athena?" tanya guru tersebut dengan ramah.

"Sebelumnya maaf, Bu. Saya tidak mau basa-basi lagi. Saya mau peringkat saya di paralel test kali ini naik menjadi peringkat pertama," ucap Athena Senja Maharani penuh penekanan.

"Maksud kamu bagaimana, Athena?"

"Saat hasil paralel test sudah masuk di komputer alias sebelum dicetak dam ditempel, Ibu bisa, 'kan, ngubah nilai asli saya menjadi yang paling tinggi?" Masa bodoh dengan sopan santun dan tata krama, karena Athena hanya butuh guru TU ini mengiyakan permintaannya.

"Kamu menyuruh saya memalsukan hasil paralel test terakhir kelas 11, Athena?" Guru bersanggul itu memastikan kembali bahwa apa yang dipahaminya tidak salah.

"Tepat sekali, Bu." Senyuman miring tercetak jelas di bibir ranumnya.

"Tidak. Saya tidak bisa melakukan itu, Athena. Kamu bisa menaikkan peringkat kamu dengan cara yang benar, bukan curang seperti ini, apalagi sampai mengajak guru."

"Tidak ada penolakan, Bu. Apa pun alasannya, Ibu harus mengiyakan permintaan saya."

"Tidak sopan kamu, Athena!" tegas Bu Arum dengan mata sedikit melotot.

Bukan Athena Senja Maharani namanya jika tidak keras kepala. Apa pun yang ia inginkan, harus dituruti bagaimana pun caranya. Masa bodoh dengan risiko ke depannya. Athena tidak peduli.

Ia sudah terlalu lelah belajar di bawah tekanan ayahnya.

"Tapi, Bu, permintaan saya ini bersifat mutlak."

Bu Arum menghela napas panjang, mencoba menetralkan emosinya. Sebagai pemilik karakter emosional, ia harus banyak-banyak bersabar. Pulpen yang awalnya tergenggam erat, menjadi tergeletak di atas meja.

"Keluar dari ruangan saya sekarang, Athena," titahnya terdengar penuh penekanan. Mungkin, kalau murid lain akan menyiutkan mental, tapi tidak dengan mental batu seperti Athena.

"Tapi, Bu, say-"

"Keluar sekarang atau konsekuensi?!"

Bentakan dengan raut wajah menyeramkam itu tak sedikit pun menyiutkan mental Athena. Ia justru mengumbar senyuman miring, seolah menyiratkan sesuatu.

"Ibu mengiyakan permintaan saya atau saya membocorkan kelakuan busuk Ibu beberapa bulan lalu?" Ucapan itu, terdengar seperti ancaman.

"Apa maksud kamu, Athena?!" Sekuat tenaga Bu Arum memendam emosinya. Berhadapan dengan Athena Senja Maharani membuatnya naik pitam.

"Ibu pikir saya tidak tau? Di paralel test kelas 10 lima bulan lalu, Ibu membocorkan soal paralel test mata pelajaran Biologi. Ibu menjual soal itu untuk biaya pengobatan anak Ibu sendiri. Right?" Seulas senyuman mengejek tampak di bibir itu.

Oneiro [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang