30. Tak Sederhana

268 27 15
                                    

A/n: bismillah pembaca gue nggak lari:)

_________ __________ _________ ________

Sesuai dengan apa yang telah ia janjikan di kelas sunyi tadi pagi, kini Ana tengah berkutat di depan cermin. Mempersiapkan diri untuk menemui Ria di apartemen Aldo.

Sejujurnya, dari dalam relung hatinya, ia sedikit ragu untuk datang. Nyalinya ciut saat rasa takut akan rasa bersalah kembali menyerang perasaannya. Ia tak sanggup menatap wajah milik Aldo yang memaparkan seolah tak terjadi apa-apa. Padahal ia paham, ada rasa sakit yang ia toreh ke dalam hati Aldo.

Tapi, Ana pun bingung dengan hatinya sendiri. Yang seakan bertingkah tanpa tau arah.

Usai menyisir rambut dan merapikan sedikit pakaian sederhananya, Ana siap untuk naik ke lantai tempat apartemen Aldo tinggal. Ia menenteng satu kantong plastik berisi camilan dan beberapa buah-buahan segar yang sempat Ana beli di supermarket waktu pulang sekolah.

Sengaja, ia bawa sebagai buah tangan untuk Ria. Juga, kakaknya, Revaldo Sebastian.

Kaki Ana mulai melangkah. Meniti satu persatu jarak yang memisahkan. Pikiran Ana melayang entah ke mana. Untungnya, ia tidak menabrak orang atau benda lain.

Tanpa sadar, Ana sampai di depan pintu apartemen Aldo. Ia sedikit kaget. Pikirannya yang berkelana ke mana-mana membuat fokusnya hilang.

Tangan Ana terulur untuk mengetuk pintu, namun urung karena pintu coklat itu sudah terbuka lebih dahulu. Menampakkan sosok Aldo dengan kaos oblong, celana pendek, dan rambut yang sedikit basah. Pesona tampannya meningkat tajam.

"Gue kira lo nggak dateng."

"Kalau gue bilang iya, pasti iya."

Aldo terkekeh kecil. "Ya udah, ayo masuk."

Keduanya berjalan memasuki apartemen Aldo. Suasananya masih sama. Rapi, tertata, dan wall decor yang berisi banyak asupan-asupan untuk ambis. Ah, jam dinding Matematika pun masih terpampang di sana.

"Gue panggil Ria dulu, ya," pamit Aldo diangguki oleh lawan bicaranya.

Jujur, Ana merasa nyaman di sini. Entah kenapa, vibes apartemen Aldo serasa berbeda dari yang lainnya. Nyaman, tenang, dan tenteram.

Kalau mengingat kembali tentang kejadian ia menolak Aldo, jujur Ana masih merasa tak enak. Perilaku cowok itu yang biasa saja membuat Ana tambah tak nyaman. Tapi, mau bagaimana lagi, ia tak bisa melawan takdit dan merusak rencana hidup yang sudah ia buat.

Selang beberapa menit kemudian, Aldo keluar dari kamar bersama seorang gadis cantik di atas kursi roda. Ria tersenyum riang, memberi makna bahwa ia sangat senang. Bibirnya masih pucat, tapi Ana bisa melihat berat badan Ria bertambah.

"Kak Ana!" pekiknya senang.

"Ssst, Dek, nggak boleh teriak kayak gitu," peringat Aldo lembut. Sangat menggambarkan seberapa sayangnya ia dengan Ria.

Kursi roda Ria bergerak mengarah ke samping Ana. Sedangkan Aldo pamit pergi untuk membuatkan minum.

"Ria, ini kakak bawain camilan. Dimakan, ya."

"Asik! Makasih, Kak Ana baik!"

"Kembali kasih. Ria gimana kabarnya?"

"Sehat, kok. Eh, Kak, kemarin Ria bikin sarung tangan, lho! Mau liat nggak?"

Ana tersenyum riang. "Boleh."

Lantas, Ria mengeluarkan sepasang sarung tangan berwarna hijau soft dari kantung bajunya. Ah, ternyata itu sarung tangan rajut. Tampak indah dan rapi.

Oneiro [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang