34. Fail

116 18 2
                                    

8. Ariana Zhelyna, XII IPA 1, 79,2

Merosot. Ada harapan yang pupus saat netra Ana membaca deretan kalimat itu. Segala hal buruk yang ia takutkan tadi malam terjadi seketika.

Listrik mati, phobianya kambuh, ia takut, ia tidur, tanpa belajar, ia bangun di jam yang tidak tepat, dan tidak ada waktu untuk mengulang materi kembali.

Namun, masalah terbesarnya bukan itu. Tapi, kelemahan otaknya di bidang Fisika. Dan buruknya, paralel test terakhir GHS adalah mapel Fisika.

Musuhnya.

Fisika tak pernah mudah untuk Ariana.

Dan mungkin segenap siswa-siswi GHS.

Namun, mereka masih sempat belajar dan mengulang materi, sehingga persiapannya cukup dibilang matang. Berbanding terbalik dengan Ariana yang hanya bermodalkan ingatan otak.

Peringkat delapan memang bukan angka yang buruk bagi orang-orang. Tetapi, bagi segenap warga GHS, peringkat delapan untuk Ariana yang selalu mampu menjaga peringkatnya di peringkat  pertama adalah angka yang buruk.

Hingga, berakhirlah ia di sini. Di tepian taman GHS yang luas dan rindang. Suasananya sepi serta tenang, sebab sebagian besar murid masih heboh dengan hasil GHS yang ditempel setengah jam lalu.

Ana memilih masa bodoh dengan kegaduhan itu.

Ia takut sekarang.

Sangat takut.

Takut akan kegagalan di masa depan. Mengingat, mungkin, waktunya untuk buana semakin menipis. Tapi bukan itu ketakutan terbesarnya.

Ia hanya was-was jika ditolak di salah satu PTN impiannya di Yogyakarta.

Ia termenung diam, sampai tubuhnya menyadari ada orang lain yang duduk di samping dirinya.

Aldo. Revaldo Sebastian.

"Peringkat delapan nggak seburuk itu, kok. Percaya sama gue, Na."

Lagi, sosok Aldo selalu mampu menjadi cenayang bagi Ariana.

"Hm."

"Jangan terlalu lo pikirin. UN tinggal H-7, lo harus siap mental dan fisik."

"Congrats buat peringkat pertama lo. Be success."

Iya, Aldo. Sosok cowok bela diri yang menggantikan takhta Ariana di last paralel test GHS. Cukup membanggakan. Bahkan sangat.

"Hm, oke. Tapi lo juga jangan terlalu down. Hasil paralel test nggak terlalu menentukan kelulusan lo, kok."

Ana menggeleng pelan. "Bukan, bukan itu yang gue pikirin sekarang, Al. Gue hanya takut, takut kalau seumpama gue dito-"

"Ditolak PTN impian lo?"

Ana diam sejenak, lalu mengangguk sangat pelan.

"Lucu, ya, lo. Memikirkan hal negatif yang padahal belum tentu terjadi ke depan. Seolah lo kontrol terbesar rencana hidup lo, padahal bukan. Ada Tuhan. Yang menjadi pusat kontrol jalannya hidup lo."

"Tapi, Al, gue-"

"Setakut itu, ya, lo sama kegagalan?"

"Hm, iya."

"Kenapa? Kenapa bisa?"

"Karena gagal itu ... menyeramkan."

Ana menarik napas satu kali.

"Dan menakutkan ...."

Aldo ikut menghela napas. Cowok itu mencoba tau, mencoba memahami, dan mencoba 'masuk' ke dalam pola pikir Ariana tentang bagaimana cara cewek itu melihat selayang pandang kegagalan.

Oneiro [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang