24. Sisi Lain

198 26 3
                                    

Sesuai omongannya di atas motor itu, kini Ana tengah bersiap untuk pergi ke apartemen milik Aldo yang berada satu tingkat darinya. Ia menyisir rambut, lalu menguncirnya dengan rapi.

Berkutat di depan kaca, memastikan outfit sederhananya telah sempurna. Usai memberi makan Amora, ia mulai berjalan menuju apartemen milik Aldo.

Sampai di depan, Ana mengetuk pintu dengan pelan, dilanjut cukup keras hingga sang pemilik membuka pintu itu. Menampilkan Aldo dengan celana pendek dan kaos hitamnya, tak lupa rambut berantakan yang membuat Ana gemas ingin menyisir surai itu.

"Gue kira lo nggak bakal dateng." Kalimat itu yang menyambut kedatangan Ana untuk pertama kalinya.

"Kalau gue ngomong iya, pasti iya."

Aldo terkekeh geli. "Masuk. Ria udah nungguin dari tadi."

Ana berjalan tepat di belakang Aldo. Dekorasi sederhana dengan dinding abu-abu menyapa netranya. Penataan furniture yang sangat rapi dan terkesan elegan. Entah mengapa, jiwa Ana terasa tenteram.

Aldo mempersilakan cewek itu untuk duduk. Lalu, ia pergi masuk ke kamar. Ana menunggu, seraya menyapu pandangannya dengan pelan. Ia sedikit tersentak melihat jam dinding berwarna hitam yang bertema Matematika terpajang rapi di sudut ruangan.

Secinta itu Aldo pada angka.

Tak lama, cowok itu kembali, tidak sendiri. Dengan mendorong pelan kursi roda berisi seorang gadis cantik dengan wajah sedikit pucat. Sekilas, rambutnya nampak tipis. Tanpa perlu bertanya, Ana sudah tau bahwa itu adalah Ria, adik kandung Aldo yang lumpuh dan diusir dari rumah.

Cantik, meski pucat. Surainya yang tak terlalu panjang, tatapannya polos, wajahnya lugu, pipinya sedikit tirus, dan hidung persis seperti milik Aldo. Ria tersenyum pada Ana, lantas memberi kode pada Aldo untuk mendorong kursi roda sampai ke hadapan Ariana Zhelyna.

"Hai. Kakak temennya Kak Aldo, ya?" Suara itu, terdengar nyaman di telinga Ana. Nadanya yang cukup khas memberikan kesan lucu dalam bicaranya.

"Iya, Ria. Kenalin, nama Kakak Ana." Cewek itu mendudukkan diri tepat di hadapan Ria.

"Hai, Kak Ana. Kakak nggak malu, kan, ketemu sama Ria?"

"Kenapa harus malu?"

"Karena Ria lumpuh. Orang tua Ria aja malu punya Ria." Sendu, memang sendu. Sekilas, Ana melirik Aldo yang raut wajahnya telah berubah, menjadi suram.

"Ria tau nggak? Orang yang berkebutuhan khusus itu sebenarnya orang yang istimewa, lho. Dia lebih istimewa daripada orang normal." Nada suara Ana terdengar begitu lembut, menggetarkan hati Aldo dalam mendengarnya.

"Kenapa? Kan nggak sempurna, kok, istimewa?"

"Karena dia menjalani hidup dengan cara yang berbeda. Dia punya karakteristik yang orang lain nggak punya. Ria tau? Sebenarnya Ria itu nggak lumpuh, hanya kurang tapi terlihat istimewa."

Hening sesaat. Aldo bahkan tak menyangka Ariana Zhelyna mampu berbicara selembut ini. Sampai membuat senyuman Ria merekah lebar, tampak ceria dan bahagia.

"Ria seneng jadi orang istimewa."

Dan, tanpa alasan senyuman itu menular ke bibir Ana. Selang beberapa detik, mulut Ria menguap, tanda gadis itu mengantuk.

"Ria ngantuk, mau bobo dulu. Kakak sama Kak Aldo, ya. Dada!" Lalu, kursi roda itu terdorong masuk kembali ke dalam kamar. Tanpa perlu ditanya lagi, sudah pasti Aldo yang mendorong kursi itu.

Dari pertemuan pertama dirinya dengan Ria, Ana dapat melihat sisi lain dari Revaldo Sebastian. Cowok itu menjadi super lembut di depan Ria dan terlihat sedikit ... menyedihkan.

Ia melihat tatapan itu. Tatapan yang gelap tanpa cahaya, berbeda dengan yang ia temui setiap hari di sekolah. Cowok bela diri dengan otak emas itu menyimpan sebuah sisi yang berbeda dari pandangan orang-orang. Dan, Ana membenci topeng palsu di wajah itu, tanpa sadar setiap hari ia juga memakai topeng lebih palsu dari Aldo.

"Thanks udah bikin Ria senyum."

Suara itu mengembalikan Ana pada kesadarannya. "Sama-sama. Makasih juga udah bikin pelajaran baru di hidup gue."

Aldo tersenyum, hangat dan lembut. Sebuah kenyamanan ia dapatkan saat berada di dekat Ariana. Kenyamanan yang tak pernah ia dapat dari gadis lain, kecuali Ria.

"Kalau lo berpikir gue nutupin Ria dari publik karena malu, lo salah, Na. Ria sendiri yang minta karena dia yang malu. Dia nggak mau dicap lumpuh sama orang-orang. Karena, dia nggak bisa menerima dirinya sendiri."

"Gue nggak pernah berpikir gitu, Yan, karena gue yakin lo nggak kayak gitu. Soal Ria, gue harap pelan-pelan lo bisa ngertiin dia. Susah, Yan, nerima diri kita yang ternyata beda dari yang lain. Apalagi Ria baru sembilan tahun,  butuh proses yang panjang untuk dia mencerna kejutan takdir."

Aldo mengangguk pelan, sebagai balasan. Ia berjalan menuju balkon, diikuti oleh Ana. Keduanya bersamaan menatap langit yang bertabur bintang. Menikmati tiupan angin saat menerpa kulit.

"Jujur, awalnya gue ragu untuk mempertemukan lo dengan Ria, karena gue tau Ria selalu minder dengan orang baru. Tapi, saat gue tau lo suka matcha, gue jadi yakin, Na."

Ana mengernyit. "Apa hubungannya?"

"Psikologi mengatakan, orang yang suka sama matcha cenderung lembut dan penyayang. Gue yakin Ria bakal nyaman sama lo." Aldo melanjutkan, 'Karena gue juga nyaman di deket lo.'

"Anak kecil punya hati yang lembut, Yan. Kita juga harus lembut ngomong dengan mereka. Dari hati ke hati biar terserap dengan baik oleh mereka."

Setiap kata yang muncul dari mulut Ana, Aldo selalu membenarkan. Merasa setuju dengan apa yang diucapkan Ariana Zhelyna.

Cewek itu, memiliki kesan berbeda di mata Aldo. Selain berotak emas, Ana juga selalu punya kalimat yang selalu ia benarkan.

"Na."

"Hm?"

"Menurut lo, alur hidup itu gimana?"

"Meletus, bikin manusia kaget. Alur hidup nggak pernah mulus, Yan. Selalu ada kejutan yang bikin seseorang tersentak. Tapi, justru kejutan itu akan menyisakan kesan yang baik. Ibarat cerita, kalau ada plot twist, pasti punya kesan di hati pembacanya. Jalani aja, jangan banyak ekspektasi."

Ana mengembuskan napas sebelum melanjutkan, menyempatkan diri untuk menatap langit dengan ratusan ribu bintang.

"Karena setinggi apa pun ekspektasi lo, nggak akan mampu mengalahkan takdir."

"Dan, ekspektasi yang dihantam realita rasanya luar biasa," sambung Aldo.

Lalu, keduanya diam. Aldo menatap langit yang penuh gemerlap bintang, serta satu bulatan yang mendapat sumbangan cahaya matahari. Sedangkan Ana memilih menatap ke bawah, menilik kendaraan yang masih berlalu-lalang. Cahaya kendaraan menghiasi jalanan yang gelap.

"Makasih buat hari ini."

Ana menoleh, "Makasih juga buat tumpangan pulang tadi." Keduanya terkekeh pelan.

Kembali hening. Kedua insan ini seakan lebih menarik untuk menikmati malam. Melepas stress dari tekanan di GHS. Kelas 12 membuat mereka harus belajar lebih ekstra.

"Oh iya, soal HP waktu itu-"

"Gimana?"

"Kita selidiki besok, gimana? Mumpung pulang awal karena guru rapat."

"Boleh. Lebih cepat, lebih bagus juga."

Sedikit ragu, Aldo menoleh, "Ehm, Na."

"Iya?"

"Sebenarnya tanpa sepengetahuan lo, gue ...."

-To be continued-

Nggak tau kenapa, suka sama part ini :)

_28 Mei 2021_

Oneiro [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang