16. Penurunan

217 26 0
                                    

Atmosfer kelas 12 IPA 1 kali ini terasa lebih sempit. Pasokan udara seakan lebih sedikit. Aura tak nyaman begitu terasa di dalam kelas itu.

Semua atensi berada ke depan kelas, menatap seorang pria bertubuh tegap dengan berlembar-lembar kertas di tangan kanannya. Semua murid diam di bangku masing-masing, menyaksikan raut wajah Pak Kifli yang penuh murka.

"Dari kelas 11 saya mengajar kalian, saya selalu menekankan nilai A di mata pelajaran saya, betul?"

"Betul, Pak," sahut seisi kelas.

"Kalau begitu, kenapa masih ada yang remedi?!"

Spontan, seluruh murid membatu di tempat. Dalam hati, mereka merapalkan doa-doa yang sekiranya bisa menyelamatkan nilai mereka. Beberapa siswa ada yang mulai keringat dingin, takut termakan amukan Pak Kifli.

Sebab, seantero Genius High School tau bahwa Pak Kifli adalah guru yang sangat menekankan nilai A di mata pelajarannya. Tipe guru yang membenci nilai di bawah rata-rata. Ngamuknya tidak main-main, murid yang lemah mental, mungkin akan pingsan. Eh, hiperbola.

"Kalian mulai tidak serius, ya?! Ingat, kalian ini sudah kelas 12, sebentar lagi lulus. Murid lulusan GHS harus kuliah di universitas ternama. Kalian harus mempersiapkan semuanya dengan baik."

Semuanya bungkam, mendengar celotehan dari Pak Kifli dengan baik, meski beberapa ada yang mendengus kesal karena bosan.

"Jaga fokus kalian dengan baik, jangan menyiksa diri sendiri. Sering-sering baca materi, kerjakan latihan soal."

Nyaris seluruh murid mengembuskan napas panjang. Tanpa perlu diberitahu pun, mereka sudah melakukannya. Lingkungan GHS yang benar-benar ambisius membuat mereka terdorong untuk menjadi kutu buku.

"Saya tidak menyangka, di kelas 12 masih ada yang remedi di ulangan harian saya. Mulai bosan kalian?!"

Suara itu menggelegar, nyaris terdengar ke lingkungan luar kelas. Degub jantung beberapa murid mulai tak beraturan. Bergidik ngeri melihat Pak Kifli saat ini.

Guru galak itu, benar-benar emosi.

"Apa perlu saya adakan bimbel sampai malam?!"

Semua murid menelan ludah. Tak sanggup membayangkan bagaimana nasib mereka jika sampai hal itu terjadi. Oh, ayolah, sekolah di GHS dari pagi sampai sore masih belum cukup? Otak seakan ingin meledak. Terlebih, mereka harus melewati banyak TO di semester dua nanti, dan berperang di paralel test setiap dua bulan sekali.

Omong-omong tentang paralel test, Ariana Zhelyna kembali menduduki takhtanya. Ia terus memegang kedudukan peringkat pertama, menyingkirkan Athena Senja Maharani.

Tampak Pak Kifli mengembuskan napas panjang. "Oke, saya tidak akan mengulur waktu lagi. Yang namanya saya panggil, silakan ke depan."

Dan, seluruh penghuni kelas 12 IPA 1 sudah bisa menebak bahwa panggilan itu pasti untuk murid yang masuk kategori remedi.

Pak Kifli mengarahkan selembar kertas ke depan wajahnya, berniat membacakan nama murid yang remedi.

Nyaris semua murid menelan ludah.

"Ariana Zhelyna, maju kamu."

Refleks, atensi seisi kelas mengarah ke bangku Ana. Menatap tak percaya dengan apa yang barusan mereka dengar. Ariana Zhelyna, cewek yang mahir di bidang kimia, masuk kategori remedi di ulangan harian kali ini? Sesuatu yang tak pernah ada yang menduga.

Sedangkan Ana mematung di tempat. Keringat dingin sebesar padi mengucur di dahinya. Ia gugup, takut, dan kaget. Berkali-kali mencoba menaruh asumsi bahwa ia salah dengar.

Oneiro [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang