27. Titik Terang

220 23 7
                                    

"Walaupun lo mengelak, semuanya udah terlambat, Na," sambung Ana sambil menatap tak percaya seseorang di depannya.

Ariana Zhelyna diam di tempat. Berkali-kali menyangkal di dalam hati, berharap semua ini mimpi. Ia tau, Athena Senja Maharani memang terkenal gila peringkat. Tapi, ia tak pernah menyangka penari handal itu sampai berani melakukan hal senekat ini.

Hanya demi peringkat.

"Lo sadar, Na? Cara lo bersaing salah besar." Kali ini Aldo yang bersuara. Ana kelu, lidahnya kaku barang mengucapkan satu kata saja.

"Walaupun lo tau Ana punya masa lalu buruk, lo nggak bisa manfaatin itu demi peringkat lo. Walaupun mungkin alasan lo ngelakuin ini bisa diterima rasa manusiawi, tetep aja, lo salah."

Aldo diam sejenak. Cowok itu mengembuskan napas kasar. Tanpa sadar, cekalan tangannya semakin erat. Athena ikut diam, memberi ruang untuk Aldo berceloteh.

"Karena masa lalu yang buruk bukan senjata."

Meneguk ludah, satu tetes peluh jatuh dari pelipisnya. Deru napasnya menjadi tak beraturan akibat detakan jantung yang acak-acakan. Athena mengembuskan napas dengan kasar. Selama ini, ia tak pernah menyangka akan bertingkah sejauh ini, senekat ini.

"Mental manusia bukan mainan."

Sampai ia berani mempermainkan mental orang lain, demi dirinya. Egois memang, tapi Athena tak pernah mengira. Semua terjadi terlalu mulus.

"Dengan cara neror, lo berniat ngehancurin mental Ana, right? Biar dia kehilangan konsentrasi dan nilainya anjlok? Menurut lo, ini cara suci? Dan, lo bangga bisa ngelakuin ini?"

Athena menggeleng kecil, nyaris tak terlihat. Ada rasa sesal dalam hati itu, tapi ia tak bisa membenarkan dirinya sendiri.

"Keegoisan lo kelewat batas, Na."

Dan, tidak ada yang bisa Athena sangkal. Semuanya benar, sesuai kenyataan. Tak ada pembelaan yang cewek itu lakukan, karena ia berperan sebagai tersangka di sini.

"Lo tau, Na? Mental itu atom utama dalam tubuh manusia. Sekalinya rusak, semuanya hancur. Susah buat kembali sembuh, seperti semula. Perlu usaha yang kuat. Mengendalikan diri sendiri yang udah hancur, itu susah, Na. Beberapa orang gagal melakukannya."

Jeda, Aldo menarik napas. Memasukkan oksigen sebanyak mungkin untuk diikat di alveolus dan bertukar dengan karbon dioksida. Mata Aldo menatap Athena dengan intens, tajam, dan sedikit menusuk.

"Sekalinya berhasil sembuh, berhasil kembali kayak semula, malah dirusak lagi. Lo tau gimana rasanya, Na? Persis kayak pengen menyerah, tapi nggak bisa. Seakan dunia berlaku nggak adil. Alhasil, nyalahin diri sendiri."

Ana masih bungkam. Cewek itu masih berdiri kaku di tempat, mendengarkan segala macam celotehan fakta yang Aldo ucapkan. Semua itu, menggambarkan dengan sempurna apa yang ia rasa.

Perasaan yang selama ini tak pernah ia ungkap. Selalu dipendam, dikubur, dan dirasakan sendiri.

"Miris saat gue tau lo mempermainkan mental manusia demi diri lo sendiri."

Lalu, semuanya hening, termasuk suasana. Sepoi-sepoi angin yang mengenai kulit membuat malam itu terkesan mencekam. Ketiga insan ini tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

"Parah."

Setelah mengucapkan itu, Aldo diam. Cowok ahli bela diri ini menunggu Athena mengucapkan satu kata, yaitu maaf. Setidaknya, gadis ini punya rasa manusiawi yang menyesal karena kesalahan. Setidaknya, Athena masih mampu mengucapkan kata maaf untuk Ana.

Tapi, sepertinya itu hanya ekspektasi belaka.

Aldo mengembuskan napas panjang. Mencoba menetralkan emosi yang meledak dan berdesir di dalam aliran darahnya. Menahan diri agar tidak berbuat kasar, mengingat kalau Athena adalah seorang perempuan.

Oneiro [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang