"Dia mau digendong lo."
Dengar Jenar bilang begitu, reaksi pertama Rossa adalah ternganga. Apalagi ketika matanya menatap pada Wuje yang sedang melihat ke arahnya. Kedua mata anak itu kelihatan berkaca-kaca. Wajahnya mengerut, khas anak kecil kalau mau nangis.
"Mama..." bisikannya bertambah pelan, tapi kedua lengannya masih terangkat ke udara, meski sekarang telapak tangan anak itu nggak lagi membuka-menutup secara mengemaskan.
"Gendongnya sama Om aja ya?" Jaka berusaha mengendalikan situasi.
Tapi Wuje menggeleng, dan bisiknya kian samar.
"Mama..."
Rossa menghela napas sebelum meneguk saliva. Lantas perlahan, dia melangkah mendekat. Tindakannya menuai respon dari Jaka.
"Roshan, you don't have to—"
"Masa aku mau bikin Argan nangis di hari ulang tahunnya?"
Jenar memiringkan wajah, tadinya berniat meraup Wuje dalam gendongannya kalau anak itu masih ngotot minta digendong sama Rossa. Tapi jujur saja, interaksi yang barusan terjadi antara Rossa dan Jaka adalah sesuatu yang nggak dia tebak sama sekali. Sure, dia tau mereka semua sudah jadi orang dewasa, bukan lagi anak-anak muda yang gemar mengeluh karena dipaksa begadang saban malam gara-gara tugas dosen, namun dia nggak expect kalau Jaka dan Rossa bisa akur banget kayak gitu, mengingat apa yang pernah terjadi diantara mereka di masa lalu.
Kata-kata Rossa mau nggak mau bikin Jaka menyingkir, walau jelas dengan setengah hati.
Saat dia sudah cukup dekat dengan Wuje, Rossa berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi anak itu. Wuje berjalan tertatih, lalu memeluk leher Rossa, membuat Rossa membeku sejenak. Dia berdeham, merasa tenggorokannya tiba-tiba kering. Ada perasaan aneh yang mendesak dadanya, sebentuk emosi tak bernama yang membuat matanya terasa panas.
Kemudian, Wuje menyentuh pipi Rossa dengan telapak tangannya yang mungil. Dengan manis, anak itu mencondongkan badan sedikit, mencium pipi Rossa. Apa yang Wuje lakukan membuat Rossa ternganga. Matannya memandang anak itu dengan sorot nggak percaya, yang justru membuat Wuje tertawa, memamerkan lesung pipi sekaligus gigi susunya yang masih tumbuh jarang-jarang.
Anak itu berbau seperti minyak telon, bedak bayi dan entah apa yang menyejukkan indra penciuman Rossa, membuat Rossa refleks memeluk Wuje dan membawa anak itu dalam gendongannya.
"Mama?"
Rossa menggeleng sambil berdiri. Dia balik tersenyum pada Wuje dengan mata berkaca-kaca. "Bukan, Argan. Ini Tante Ocha."
"Ate?"
Rossa mengangguk. "Tante Ocha."
"Bukan Mama?"
"Bukan."
Jari-jari Wuje memainkan ujung rambut Rossa. "Ate kayak Mama..."
"Iyakah?"
Wuje mengangguk. "Cantik..."
"Makasih, Argan Sayang."
Jaka membuang napas lega, terus berbisik pada Jenar yang berdiri di sebelahnya. "Kayaknya bakat buayanya nurun ke lo ya."
"Kagak, njir..." Jenar membantah. "Lagian Rossa sama Regina hari ini dandanannya kayak satu tema. Namanya anak kecil, wajar kalau keliru gitu."
"Bapaknya kira-kira bakal keliru nggak?"
"Nggak."
Dua lelaki itu kompak tertawa.
Acara baru bakal dimulai sepuluh menit lagi, kalau berdasar jam yang sudah Jenar sama Rei tentukan. Tamu-tamu yang datang makin banyak. Rei sudah bilang sih ke Rossa waktu menghubunginya lewat WhatsApp, kalau yang datang bakal didominasi oleh teman-teman terdekat mereka. Tapi ternyata tetap saja banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bunch of Daddy ✅
General FictionA Bunch of Daddy - Completed "Mama tau nggak, kenapa motor Mio itu nggak manis?" "Pa, jangan mulai deh..." "Jawab aja, Ma, tau apa nggak?" "Nggak..." "Karena kalau manis... namanya motor Milo. Hehehe."