Waktu pertama kali family trip bertiga dulu, Wuje masih kecil banget.
Otomatis, kemana-mana dia lebih sering digendong atau duduk di stroller. Dalam perjalanan mereka kali ini, Jenar sama Rei seperti lupa memperhitungkan kalau sekarang, anaknya sudah lancar lari-lari. Nggak perlu menunggu sampai mereka tiba di Kyoto, dari masih di bandara saja, Wuje sudah pecicilan banget. Dikit-dikit lari kesana. Dikit-dikit lari kesini. Kalau ada bule lewat, anaknya langsung mangap ngelihatin. Ketika ada pramugari melintas, anaknya kepingin ngikutin.
Mengekori Wuje sekaligus meladeni pertanyaan-pertanyaan absurd khas batita-nya cukup menghibur—terus mungkin saking lucunya, jadi banyak sesama calon penumpang yang juga lagi menunggu boarding pada minta foto sama Wuje. Tapi lelahnya baru terasa ketika mereka sudah berada di dalam pesawat. Apalagi buat Jenar dan Rei yang biasanya tidur saat long flight.
Wuje nggak menunjukkan tanda-tanda mengantuk setelah flightnya berjalan beberapa lama.
"Mama, Mama," Rei sudah hampir ketiduran saat Wuje yang berada di pangkuannya memanggil. Anak itu sedang menatap dengan mata melebar ke luar jendela pesawat yang menampilkan awan putih nan terang.
"Iya?"
"Mama, Mama, Mama,"
Rei menghela napas. "Iya, Sayang?"
"Mau buka ini." Wuje menunjuk pada jendela pesawat dengan tatapan polos.
"Nggak boleh dibuka, Sayang."
"Mau buka..." Wuje merengek.
"Jendela pesawat nggak bisa dibuka."
"Mau buka..." Wuje masih ngotot.
Rei mengembuskan napas, melirik pada Jenar yang duduk di sampingnya. Jenar yang lagi nonton film dengan earphone menyumpal telinga nggak sadar, hingga Rei mesti menyikutnya. Lelaki itu tersentak, menoleh ke samping.
"Kenapa?"
"Anaknya rewel."
"Rewel kenapa?" Jenar beralih pada Wuje yang kini wajahnya mulai mengerut, kayak bayi pada umumnya kalau mau menangis. "Wuje, boy, kenapa mukanya gitu? Kita kan mau jalan-jalan, masa kamu malah mau nangis sih?"
"Mau buka..." Wuje lagi-lagi menunjuk pada jendela pesawat.
"Nggak boleh, Wuje."
"Mau... hiks... mau..." tanpa bisa dihindari, tangis Wuje pun pecah.
Rei langsung merasa nggak enak sama penumpang yang lain. Apalagi ini penerbangan panjang yang terjadwal dari pagi hari. Mungkin ada penumpang yang belum sempat tidur. Pasti bete banget kalau mereka berencana tidur selama flight, dan justru terganggu gara-gara tangisan si bocil.
"Wuje, Sayang, jangan nangis dong—"
Jenar menghela napas, berujar dan mengulurkan tangannya. "Here, let me handle him."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bunch of Daddy ✅
General FictionA Bunch of Daddy - Completed "Mama tau nggak, kenapa motor Mio itu nggak manis?" "Pa, jangan mulai deh..." "Jawab aja, Ma, tau apa nggak?" "Nggak..." "Karena kalau manis... namanya motor Milo. Hehehe."