"Mama..."
Rei baru saja membelokkan mobil yang mereka kendarai ke jalan besar ketika dari kursi belakang, Wuje tiba-tiba memanggil.
Perempuan itu melirik anak laki-lakinya melalui rear-view mirror, membagi fokus antara Wuje dengan kondisi jalan di depannya. "Iya, Sayang?"
"Kemarin Mama sakit karena adik bayi, kan?"
Rei memiringkan wajah, tetapi akhirnya mengangguk. "Iya. Tapi sekarang udah nggak sakit. Jadi kamu nggak perlu khawatir."
"Teman aku di kelas tadi pagi ada yang nanya."
"Mm-hm, nanya apa?"
"Namanya Yogi."
"Kenapa sama Yogi?"
"Yogi tanya, aku kok suka nggak masuk sekolah sih. Terus aku bilang, iya, kemarin-kemarin Mama aku sakit, jadi aku harus nemenin Mama aku. Terus Yogi tanya lagi, Mama sakit apa. Aku bilang, Mama sakit karena adik bayi, tapi adik bayinya udah nggak ada, udah ke Surga."
"Terus?"
"Kata Yogi, wah, berarti aku seneng dong kalau adik bayinya nggak jadi ada."
Rei agak kaget sedikit, sebelum meneruskan obrolan mereka dengan pertanyaan bernada hati-hati. "Abis itu kamu jawabnya apa?"
"Aku jawab aja, aku nggak seneng, soalnya Mama aku jadi sedih karena adik bayi nggak jadi ada. Tapi abis itu, Yogi cerita-cerita, Ma. Katanya, dia baru punya adik bayi. Kata Yogi, punya adik bayi itu nggak seru. Adik bayi kerjaannya nangis melulu. Dikit-dikit nangis. Berisik deh. Kata Yogi juga, sejak ada adik bayi, Papa sama Mama-nya Yogi lebih sayang sama adik bayi daripada sama Yogi."
Wuje berceloteh panjang seperti vespa yang rem-nya blong, namun Rei mendengarkan setiap kata yang diucapkan anaknya baik-baik.
"Emang iya, Ma? Kalau udah adik bayi baru, yang disayang adik bayi baru? Kalau gitu, kenapa Papa sama Mama mau punya adik bayi baru? Kan udah ada aku. Emangnya aku nggak cukup ya, Ma, sampai Mama sama Papa mau adik bayi baru?"
"Nggak gitu, Arganata."
"Terus gimana, Mama?"
"Papa sama Mama kepikiran mau punya adik bayi baru, biar kamu ada temannya. Teman yang sama-sama anak kecil, maksud Mama."
"Tapi kan aku udah gede, Ma."
Rei tersenyum sedikit, agak geli. "Maksudnya, biar nantinya kamu nggak kesepian, Je. Kayak Papa tuh. Papa kan punya kakak, Tante Hyena. Jadi Papa ada temannya. Kalau Mama, nggak punya kakak sama nggak punya adik. Jadi sendirian aja."
"Gitu ya, Ma?"
"Iya. Lagian, ada atau nggak ada adik bayi, Papa sama Mama akan sayang terus sama kamu kok."
"... maaf ya, Mama."
"Loh, kok minta maaf?"
"Aku nanyanya kayak tadi. Maaf ya, kalau omongan aku yang tadi bikin Mama sedih."
"Nggak apa-apa. Mama seneng kalau kamu jujur sama Mama, sama Papa. Jadi nggak dipikirin sendiri. Next time, kalau kamu kepikiran apa-apa, nggak apa-apa cerita ke Papa atau ke Mama."
"Hehe."
Camry yang Rei kemudikan terus melaju menuju kantornya Jenar. Sudah dekat-dekat waktu makan siang, jadi Rei memperkirakan, mereka bisa tiba di lobi bertepatan dengan jam istirahat para pekerja kantoran. Usai memarkirkan mobil di parkiran, Rei menunggu anaknya turun, sebelum mengulurkan tangan untuk Wuje gandeng.
Sudah cukup lama sejak terakhir kali Rei mengunjungi kantornya Jenar. Resepsionis yang sekarang berjaga di balik meja lobi bukan lagi seseorang yang dia kenal. Perempuan itu sempat memandangnya dengan alis terangkat, menatapnya ketika dia mengajak Wuje buat duduk di sofa lobi sementara dia menghubungi Jenar.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bunch of Daddy ✅
General FictionA Bunch of Daddy - Completed "Mama tau nggak, kenapa motor Mio itu nggak manis?" "Pa, jangan mulai deh..." "Jawab aja, Ma, tau apa nggak?" "Nggak..." "Karena kalau manis... namanya motor Milo. Hehehe."