Sewaktu Wuje keluar dari kamar dengan kondisi sudah menggendong tas ayam kuningnya, dia justru dibikin melongo karena ayahnya kelihatan lagi bicara serius dengan seseorang di telepon.
"Papa, aku udah—"
"Ssttt..." Rei mendekati si bocil. "Papa lagi telepon."
"Tapi katanya tadi kita udah telat..."
"Nggak apa-apa, nanti kalau Papa nggak bisa anter kamu ke sekolah, Mama yang anter. Atau kamu mau hari ini izin sekolah lagi kayak kemarin?"
Wuje menggeleng. "Nggak mau. Aku mau ke sekolah."
Rei menatap anaknya diikuti tarikan senyum. "Kayaknya kamu hari ini pengen banget ke sekolah ya? Emang sekarang lagi sering belajar apa di sekolah?"
"Biasa aja sih, Ma."
"Hm, terus?"
"Aku emang seneng belajar, rajin gitu kan."
"Em-hm."
"Terus Lila udah janji mau lihatin aku buku barunya! Dia punya buku baru tentang serangga gitu, Ma, gambarnya warna-warni terus bisa dipegang, kayak buku cerita aku itu loh—apa sih namanya? Tiga dimensi yah?! Kata Lila, bukunya mahal, kalau di toko buku biasa nggak ada yang jual. Akunya udah penasaran, pengen lihat. Nanti keduluan sama Kwinsa." Wuje mulai berceloteh.
"Oh..." Rei manggut-manggut. "Oke, nanti kalau Papa emang nggak bisa anter, Mama bisa anter kamu ke sekolah kok."
"Nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa, dong!"
"Takutnya Mama sakit kayak kemarin."
Rei tergelak. "Nggak, Wuje."
Obrolan mereka terputus ketika Jenar yang sudah selesai bicara di telepon mendekat. Ada keraguan membayangi ekspresi wajahnya. Rei yang langsung paham pun berinisiatif bertanya.
"Kenapa sama Papa?"
"Besok ada workshop di Bali. Harusnya yang handling bukan timku, tapi team leader yang harusnya ke Bali hari ini mendadak kena musibah. Salah satu orang tuanya meninggal, dan Papa ngerasa, nggak semestinya maksa orang yang lagi berduka buat tetap kerja. Jadi Papa mau aku yang gantiin team leader yang bersangkutan ke Bali. Kalau bisa, Papa bisa arrange buat flight nanti sore."
"For how long?"
"Tiga hari."
"Kalau cuma tiga hari, kayaknya nggak akan ada masalah deh? I think the rest of your team will do well without you, kalau cuma tiga hari."
"Aku tau, tapi—"
"Tapi?"
"We'll talk about this later, okay?" Jenar berpaling pada Wuje yang sekarang lagi berdiri seraya menengadah untuk menatap kedua orang tuanya. Mulutnya ternganga. Kedua tangannya masih memegang tali tasnya yang berwarna kuning. "Udah siap? Ayo Papa anter ke sekolah!"
"Papa nggak ke kantor?"
"Masih nggak tau. Tapi sekarang Papa anter kamu ke sekolah dulu. Yuk!"
Jenar berjalan duluan menuju pintu, diikuti oleh Wuje yang berlari mengekori langkah-langkah panjang ayahnya.
"Papa! Tungguin!!"
*
Pagi ini, Wirya terbangun menjelang pukul setengah enam.
Lebih siang dari biasanya, mungkin karena seharian kemarin, kegiatannya cukup padat. Lelaki itu memulai hari ini dengan rutinitas tak jauh berbeda dari kemarin, meski kali ini, dia merasa terlalu malas untuk bikin kopi atau menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri. Makanya, menjelang jam setengah tujuh, setelah mandi, dia berniat jalan kaki ke sebuah warung nasi uduk yang berada nggak jauh dari apartemen yang dia tinggali.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bunch of Daddy ✅
Genel KurguA Bunch of Daddy - Completed "Mama tau nggak, kenapa motor Mio itu nggak manis?" "Pa, jangan mulai deh..." "Jawab aja, Ma, tau apa nggak?" "Nggak..." "Karena kalau manis... namanya motor Milo. Hehehe."