catatan:
beberapa momen bareng regina yang menurut jenar, patut diingat.
***
MOMENTS
(dari sudut pandang Jenar)
*
#1
Dari sekian banyak momen sama Regina, salah satu yang menurut gue paling memorable adalah ketika gue ngelihat dia ngakak buat pertama kalinya.
Bukannya gimana-gimana ya, tapi di jaman-jaman kita masih pacaran, terutama pada masa-masa sewaktu gue baru lulus, Regina masih tergolong canggung nunjukkin apa yang dia rasa. Gue nggak bisa mengharapkan dia tiba-tiba menggandeng tangan gue, atau mendadak bilang dia sayang sama gue. Nggak sewaktu kita berdua saja, apalagi di depan umum.
Jujur, untuk orang yang juga butuh afirmasi kalau gue juga dicintai sebesar gue mencintai, mulanya itu terasa menganggu gue.
Tapi gue selalu keinget kata-kata nyokap, "Secara mental, kamu lebih sehat dari dia. Jadi, kamu nggak bisa memaksa dia berpikir kayak kamu.".
Ditambah lagi, mungkin, Regina juga nggak bisa secepat itu terbiasa.
Maka, gue selalu jadi yang pertama berinisiatif menggandeng tangannya. Jadi orang yang memeluknya ketika dia butuh itu tapi nggak pernah sekalipun meminta. Jadi orang yang bikin dia tersenyum setelah hari yang bikin capek di kampus, di tengah sekapan gunungan tugas yang membuat kepala mumet.
Gue sendiri nggak sadar kalau gue belum pernah ngelihat cewek gue tertawa keras-keras—ketawa beneran, you know, ketawa ngakak yang benar-benar lepas. Selama ini tuh, kalau ketawa, Regina cuma ketawa biasa saja. Seringnya senyum, mau itu senyum manis atau senyum miring yang lebih mirip kayak lagi ngeledek.
Gue pertama kali lihat dia ketawa ngakak beberapa hari setelah wisuda gue.
Jadi, waktu itu tuh gue sok ngide saja ngewarnain rambut gue jadi blonde. Nyoba sesuatu yang baru, mumpung belum mulai ngantor tapi sudah nggak berhutang kewajiban apa-apa ke kampus. Lagian, gue ganteng ini, kan. Warna rambut kayak mana juga cocok-cocok saja sama gue, soalnya kedukung sama muka.
(Sombong, selama itu bukan bohong mah sah-sah saja, jadi tolong harap jangan sirik!).
Sepanjang hari, gue menghabiskan waktu di salon rambut, duduk pasrah sementara para kapster salon nge-handle rambut gue. Regina nggak bisa ikut, karena dia masih mahasiswi yang punya banyak kelas buat dihadiri di hari itu. Gara-gara itu, gue jadi kepikiran mau ngasih "kejutan" berupa warna rambut baru gue ke dia.
Kelas terakhirnya Regina baru selesai menjelang petang. Makanya, sebelum maghrib, gue menjemputnya di kampus. Naik motor, jadi otomatis kepala gue ketutupan helm.
Regina nggak curiga sama sekali, malah sempat-sempatnya bertanya. "Malam ini mau makan bareng?"
"Mau." Gue membalas sambil masih memakai helm.
Cewek itu memasang helm yang baru gue berikan ke kepalanya, terus naik ke boncengan jok motor gue. "Makannya di kosan lo aja ya? Gue pegal banget hari ini, pengen buru-buru selonjoran."
"Boleh. Nanti kita delivery aja."
Setelahnya, kita pun bertolak ke apartemen gue.
Regina baru tau soal perubahan warna rambut gue ketika motor sudah terparkir di parkiran basement gedung apartemen. Dia telah turun dari boncengan dan melepaskan helmnya. Gue ikutan turun, lalu melepas helm gue dan menyisir rambut ke belakang pakai jari, kayak bintang iklan shampo.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bunch of Daddy ✅
General FictionA Bunch of Daddy - Completed "Mama tau nggak, kenapa motor Mio itu nggak manis?" "Pa, jangan mulai deh..." "Jawab aja, Ma, tau apa nggak?" "Nggak..." "Karena kalau manis... namanya motor Milo. Hehehe."