Jaka terbangun ketika dia merasakan sentuhan hangat di lengannya, yang amat kontras dengan suhu sejuk ruangan.
Lelaki itu mengernyit, tanpa sadar meringis sewaktu merasakan nyeri tumpul merambat di salah satu pipinya, diikuti gumam dengan mata yang masih separuh terpejam. "Roshan?"
"Sori, nggak maksud bangunin lo—"
Jaka mengerutkan dahi, pelan-pelan membuka mata. Apa yang pertama dilihatnya adalah langit-langit ruang tengah apartemen Rossa yang redup sebab hanya diterangi cahaya matahari pagi dari balik jendela besar berselubung tirai tipis. Kemudian, wajah perempuan itu memenuhi pandangannya. Rambut Rossa tergerai, agak berantakan. Kentara banget, Rossa juga baru bangun tidur. Dia membungkuk di atas Jaka, wajahnya tampak khawatir.
"Am I in Heaven?"
Rossa membuang napas. "Nggak, lo di tempat gue."
"Oh. Kirain bidadari adanya cuma di surga."
"Memarnya tambah parah—" Rossa meringis, terlihat ragu-ragu menempatkan jari-jarinya di pipi Jaka. "Sakit?"
"Nggak. Hehe—oh." Cengiran Jaka terinterupsi oleh rintih lirih kesakitan miliknya sendiri.
"Sakit." Rossa menghela napas panjang, kemudian beranjak. "Harus dikompres. Mungkin nanti rada siangan, kita perlu ke dokter."
"Nggak usah."
Jaka menukar posisi berbaringnya jadi duduk, menonton Rossa melangkah menuju dapurnya hanya dengan bercelana pendek dan berkaos kebesaran yang menenggelamkan seluruh lekuk bagian atas tubuhnya. Seraya berjalan, Rossa menggelung asal rambut panjangnya, mengikatnya dalam buntalan asal-asalan. Dia bertelanjang kaki.
Ah ya, tentang apa yang terjadi semalam, Wirya memang meninju Jaka tak lama setelah lelaki itu turun dari mobil.
Rossa spontan memekik terkejut sebelum pasang badan di depan Jaka sambil berusaha mendorong Wirya menjauh.
"Wirya—ini salahku—Wirya! Jangan pukul Jaka! Wirya!! Listen to me, Wirya!!"
Wirya memindahkan tatapannya ke Rossa. Sorot matanya benar-benar dingin, membuat Rossa seketika terdiam, kehilangan seluruh keberanian untuk bicara.
"Aku nggak bilang kalau kamu nggak salah, Rosie."
"Wirya, sori—" Jaka buru-buru menggeser tubuh Rossa, memaksa perempuan itu untuk berlindung di belakangnya, yang justru memantik emosi Wirya lebih jauh.
Lelaki itu memandang bergantian antara Rossa dan Jaka, kemudian melepaskan tawa breathy yang terkesan seperti tengah mengejek dirinya sendiri. Wirya menggelengkan kepalanya beberapa kali, melirik muak pada kaos serupa yang sama-sama melekat di badan dua orang di depannya. Dia betul-betul merasa dipermainkan.
Sementara itu, beberapa anggota security gedung apartemen berseragam hitam tengah bergerak mendekati mereka.
"It's funny, how you tried to protect him and at the same time, he tried to protect you."
"Wirya, aku sama Jaka cuma—"
"Jalan-jalan ke luar kota bareng?" Wirya memotong tajam, sempat membalikkan badan untuk menghadapi beberapa personel keamanan yang terlihat sekali, bermaksud melerai mereka. "Dia pacar saya dan dia tinggal di sini. Let us have some talks, yah? Saya janji saya nggak akan bikin keributan."
Lantas, tanpa menunggu respon dari para petugas keamanan, Wirya kembali memusatkan perhatiannya pada dua orang yang berdiri di depannya.
Walau demikian, para petugas keamanan tersebut jelas tahu siapa Wirya. Lelaki itu sudah sering berkunjung ke sana. Dia dikenal sebagai tamu baik yang ramah pada siapapun. Makanya, melihat Wirya menunjukkan sisi lainnya seperti itu kelihatannya cukup mampu membuat para petugas keamanan merasa segan. Mereka memilih berdiam diri, menonton saja, namun siap untuk bertindak jika terjadi sesuatu yang sekiranya bakal membahayakan orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bunch of Daddy ✅
Художественная прозаA Bunch of Daddy - Completed "Mama tau nggak, kenapa motor Mio itu nggak manis?" "Pa, jangan mulai deh..." "Jawab aja, Ma, tau apa nggak?" "Nggak..." "Karena kalau manis... namanya motor Milo. Hehehe."