22 |Waktu

138 14 3
                                    

Happy Reading Y'all

Hanya waktu yang bisa membuat manusia menyesal dan pulih. Seiring berjalannya waktu manusia akan melupakan kepedihannya sehingga yang tersisa hanya ingatannya saja, semua yang sudah terjadi tidak mungkin bisa terulang meskipun mencoba melakukan hal yang sama.

Hamza POV.

"Ayo kita pulang, sebentar lagi kamu berangkat ke Turki kan?" tanya seorangan wanita.

"Aku pulang minggu depan ya bun" ucap Hamza.

"Yaudah sama sahabat-sahabat kamu aja disini nya"

"Gak usah, biarin aku sendiri" jawabannya.

Hamza berserta keluarga dan sahabatnya menginap di sebuah hotel dekat pusat perbelanjaan terkenal.

Mereka berencana untuk pulang esok hari karena sudah lama pula mereka kesini untuk berlibur.

"Ada urusan apa?"

"Besok aku kasih tau bunda"

"Oh iya, kenapa kamu gak lamar aja si Ghina?" tiba-tiba saja terucap dari mulut ibunya Hamza.

"Bun, apalagi sih, Ghina cuma temen aku"

"Siapa tau aja kan kalian punya perasaan saling suka."

"Udahlah Hamza gak mau bahas masalah kayak gini"

"Lagi pula bunda tau gimana keluarganya, sikap Ghina sehari-harinya, jangan sesekali cari perempuan yang gak jelas asal-usulnya."

"Terserah bunda lah, aku aja masih sekolah masa udah mikirin itu sih, ribet"

Orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya namun apakah mereka tau seberapa tertekannya seorang anak ketika di paksa mendapatkan yang terbaik? justru seorang anak terkadang hanya ingin mendapatkan yang cukup bukan yang terbaik.

Kata terbaik menjadi sebuah beban tersendiri bagi seorang anak. Mereka dituntut bahagia atas pilihan yang sama sekali bukan keinginannya.

Sepatutnya mendampingi adalah cara terbaik daripada memilihkan sebuah jalan untuk dipijak seorang anak.

"Awalnya gua gak suka sama lu tapi seolah takdir memberikan kata kebetulan" ucap Hamza.

POV End.

Waktu pun tidak tau mengapa sebuah takdir selalu datang pada manusia di saat yang tepat atau bahkan manusia yang tidak menyadari jika takdir tidak pernah datang di waktu yang salah.

Semua kebetulan bukan hanya kebetulan biasa, semuanya sudah ada di garis yang telah tergambar bahkan sebelum manusia diciptakan mungkin itu sudah ada.

Zefa sedang berjalan menyusuri taman, ia berpikir untuk pulang sekolah sendiri meskipun kenyataannya Farhan, Regi, bahkan Aria tidak mengizinkannya, namun Zefa tetap bersikeras untuk berjalan sendirian.

Kejadian disekolah tadi siang bahkan selalu berputar di otaknya, seakan pikirannya tidak mau terlepas begitu saja.

Alangkah lebih baiknya jangan pernah ada yang mengatakan benci didepan wajahnya langsung, lebih baik ia merasa semua orang menyukainya meskipun kenyataannya berbanding terbalik.

Sakit mengetahui banyak orang tidak menginginkannya hidup, ia bahkan sadar kalau kemampuannya tidak sebanding dengan teman-temannya.

Zefa menyadari hal yang salah, justru ia sangat cerdas, hanya karena hatinya tergores membuatnya berpikir negatif .

"Kenapa gua gak marah waktu orang-orang mengolok-olok diri gua sendiri?"

"Kenapa gua harus tetap tersenyum saat orang lain menangis hanya untuk membela lo!" Zefa menyalahkan dirinya sendiri.

Virtual Love Life [Sudah Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang