home

222 54 12
                                    

Aku ngebut untuk pulang ke kost hampir tanpa rem. Benar-benar takut terlambat untuk jam mata kuliah pertama. Mana tadi harus minum teh dulu, kan jadi makin lama.

Kost sepi, gak tau penghuninya pada kemana. Entah masih tidur atau sudah memulai kesibukan masing-masing. Begitu pula kamar Arumi yang sudah dia kunci. Dengan secepat kilat aku berganti baju. Mandi? Apa itu mandi?

Setelah urusan di kost selesai, aku kembali tancap gas ke kampus. Langkah seribu aku gunakan untuk menyusuri lorong agar cepat sampai ke kelas. Sayangnya, secepat apapun aku, aku tetap telat. Beruntung aku masih dikasih kesempatan untuk mengikuti pelajaran.

Ada yang aneh ketika aku memasuki kelas, tatapan anak sekelas begitu mengintimidasi seakan menuntut sesuatu dariku. Bukan hanya satu, hampir sekelas melihatku seperti itu. Termasuk Bian yang duduk di sudut sana. Bian seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting padaku.

Aku mengambil duduk dan mulai mengikuti mata kuliah pagi itu. Berusaha konsentrasi meskipun aku masih penasaran dengan apa yang terjadi.

"Sst.." Gadis disebelahku menyenggol lenganku ketika aku mulai mencatat dan membuat tulisanku tercoret

Aku menoleh padanya

"Ini lo, kan?" Bisiknya

Dia mendekatkan ponselnya padaku. Layarnya menampilkan dua sosok manusia; perempuan dan laki-laki yang berjalan bersamaan keluar dari sebuah apartement. Itu aku? Dan Kak Je? Iya benar, itu kami.

"Maksudnya apa?" Tanyaku

"Gak kapok-kapok ya, lo. Padahal udah pernah begini juga. Eh malah makin parah"

"Maksud kamu apa, sih? Apa yang salah dari aku ketemu dia?"

"Hebat juga lo bisa tidur sama artis"

Bagai tersambar petir di siang bolong, kata-kata itu membuat dadaku panas. Bagaimana bisa sesama wanita begitu kejam? Aku memukul meja tepat di depan wajahnya. Perhatian satu ruangan tertuju ke arahku. Aku sudah tidak peduli apapun bahkan dosen yang menegurku karena aku menyela pelajarannya.

Gadis di sebelahku ini cuma menyunggingkan senyum seakan mengejekku. Aku melihat ke sekitar, tatapan mereka semua sama. Aku ditatap seperti kriminal. Padahal mereka hanya termakan gosip dan asumsi sendiri. Aku merasa diriku benar-benar terpojokkan. Bian di sudut sana juga terlihat masih belum mengerti kenapa aku tiba-tiba marah di depan umum. Tidak ada gunanya aku jelaskan sekarang juga. Lebih baik aku pergi dari tempat mengerikan ini.

Tanpa menghiraukan panggilan dosen, aku tetap berjalan ke luar kelas. Aku yakin pasti aku akan dapat C di ujian nanti. Sudahlah, untuk saat ini aku tidak peduli.

Aku pergi ke toilet, tempat paling aman bagiku untuk bersembunyi. Aku duduk dan berusaha menangis dalam diam. Kata-kata orang tadi benar-benar menyakiti hatiku dan membuatku tidak berani keluar dari sini.

Aku yakin, arti dari tatapan mereka tadi adalah tentang hal ini. Entah siapa yang menyebarkan gosip tidak berdasar itu. Seandainya mereka tau yang sebenarnya. Dunia dibalik dinding toilet ini begitu mengerikan. Banyak manusia yang mudah termakan apa yang terdengar tanpa membuktikannya terlebih dulu.

Aku diam di dalam toilet lama sekali hingga jam istirahat berbunyi. Segerombolan orang memasuki toilet, mereka terdengar berbincang di depan cermin. Mungkin bagi mereka, begitu menyenangkan membicarakan gosip yang belum tau kebenarannya. Mereka begitu semangat menghakimi dan menjatuhkan orang lain.

Ponselku tiba-tiba berdering, aku buru-buru merogohnya dari tasku. Sebuah panggilan dari Ibu. Aku mengangkatnya dan berusaha mengatur nafasku agar tidak terdengar habis menangis. Aku menurunkan volume suaraku agar tidak terdengar dari luar. Aku yakin mereka pasti mengenali suaraku.

what we hadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang