Kulkas di kafe adalah sasaran empuk ketika aku pusing seperti ini. Membenturkan kepalaku pelan sampai aku merasa baikan. Kasihan kepalaku, padahal dia tidak salah apa-apa. Memang ya, semakin dewasa rasanya masalah semakin kompleks. Hal-hal yang seharusnya sederhana bisa terasa runyam. Apalagi perihal hal yang belum terjadi, bisa lebih mengerikan dalam pikiran. Overthinking kata orang-orang.
"Minggir, itu kulkas bisa roboh nanti" Arumi berkacak pinggang di sebelahku. Aku berjalan mundur menjauh dari kulkas kemudian dia mengambil beberapa bongkah es batu
"Itu tangan kamu kenapa?" Tanya Arumi yang akhirnya menyadari ada perban di tanganku. Soalnya dari tadi sibuk, ada banyak pelanggan.
"Gak apa-apa" Jawabku
"Kamu berantem?"
"Ada orang sok-sok ngancem aku mau nyebarin soal masa lalu Bian. Kan kesel, Rum"
"Bian lagi"
Arumi berjalan ke belakang meja bar untuk mulai meracik minuman. Sepertinya dia sudah kenyang mendengarku membahas Bian.
"Bukannya kamu kesel sama dia? Gak mau ketemu dia? Kenapa dibelain?"
"Aku sendiri gak tau kenapa harus ngerasa kesel. Dia gak salah apa-apa. Cuma karena aku minder makanya jadi aneh kalo ketemu dia" Jelasku
"Berarti kata-kataku ke kamu waktu itu cuma angin lalu?"
"Gak gitu, Rum"
"Kamu harus tegas, Sa. Sama perasaanmu, sama dirimu"
Aku memandang para pengunjung kafe. Apa hanya diriku yang tidak jelas maunya apa begini? Apa hanya aku yang aneh? Apa mereka semua tidak?
"Ya udah itu pesananannya dianter dulu" Kata Arumi
Aku menyambar delapan buah kopi seperti biasa dan membawanya ke JHP Ent dengan sepeda motorku.
🍂
Aku nggak tau kenapa pesanan selalu telat diambil. Padahal janjian sudah ditentukan jam setengah empat sore. Aku jadi ada ide bagaimana kalau pembayaran dilunasi lebih dulu, jadi aku tinggal titip ke resepsionis dan tidak perlu menunggu begini.
Aku sibuk memainkan ponselku, tiba-tiba seseorang mengambil kopi pesanan yang ku letakkan di atas meja dan meletakkannya pada resepsionis tanpa persetujuanku
"Bian!"
"Ikut aku" Ajak Bian
Bian menarik tanganku menuju lorong panjang, beberapa pasang mata melihat ke arah kami, kukira itu adalah para staff. Bisa-bisa aku dimarahin kalau begini. Kami menaiki lift hingga lantai ketiga. Ketika lift terbuka, kami berjalan lagi menuju ruangan paling pojok. Ruangan itu hanya berisi sofa besar yang mengelilingi meja dan satu meja menghadap sofa dengan komputer di atasnya. Tak ada satupun orang di sana.
Aku melepaskan tangan Bian yang sejak tadi memegang tanganku begitu kami sampai.
"Kamu mau ngapain, sih?" Tanyaku dengan nada agak kasar, biar Bian tau kalau aku tidak suka dengan perlakuannya
"Sa, ayo bilang ke aku salahku apa? Kamu marah karena aku ninggalin kamu tiba-tiba, kan? Aku minta maaf"
Asal kamu tau, Bian. Bukan itu masalahnya. Apa kamu tidak sadar di mana kita berpijak dan apa yang kukenakan sekarang? Batinku.
"Aku udah maafin kamu" Jawabku
"Terus? Kenapa masih dingin ke aku? Kamu bisa ketawa sama Bang Je yang cuma orang asing tapi sama aku?"
"Jangan bawa-bawa orang lain, Bian"
"Oke, soal Bang Je kita bahas nanti. Sekarang kamu. Aku harus apa? Sa, gak enak dihantui rasa bersalah begini. Bisa ngeliat kamu setiap hari rasanya aku senang, tapi kamu malah dingin ke aku. Rasanya gak enak"