return

248 63 13
                                    

"Kalo pengen bengong, mending gak usah kerja deh" Sindir Vanya yang membuatku sadar dari lamunanku

Vanya itu salah satu pegawai di tempatku bekerja. Emang suka ceplas ceplos anaknya. Jadi ya udahlah, aku maklum. Meskipun kesal juga sedikit.

Sial! Air yang ku tuang sampai kepenuhan dan membasahi meja

"Aduh, Sa. Mikirin apa, sih?" Arumi membantuku mengelap air yang menggenang di atas meja

"Rum, kalo tadi beneran Bian gimana?" Aku memegang tangan Arumi, membuat kegiatannya otomatis terhenti

"Ya terus kalo misalnya itu dia, kamu mau gimana? Kan kamu sendiri yang gak mau berhubungan sama dia lagi. Harusnya dari kemarin-kemarin tuh minta kontaknya sama Mamanya"

Aku terdiam merenungkan perkataan Arumi. Iya, ada benarnya. Memangnya kenapa kalau itu benar-benar Bian yang aku kenal dulu? Aku mau apa?

"Eh, lo yang ditugasin nganter kopi ke JHP Ent kan? Nih udah siap anter. Jangan ngelamun mulu" Ujar Vanya lalu pergi begitu saja

Sekitar delapan buah cup kopi sudah tersedia di depanku. Siap untuk diantarkan.

"Yakin bisa nganter? Aku takut kamu bengong di jalan" Kata Arumi

Aku menepuk kedua pipiku, menyadarkan diri.

"Bisa-bisa. Ya udah aku berangkat"

Aku melepas apron. Masih dengan seragam kerja, aku mengendarai sepeda motor dengan laju sedang. Takut kopinya berguncang terlalu keras.

🍂

Aku memakirkan motor di area roda dua tak jauh dari gedung besar itu. Suasana kantor masih terlihat ramai meski sudah sore begini. Masih bisa kulihat banyak mobil berjejer di parkiran. Setelah bertanya pada Satpam, aku langsung ke resepsionis dan diminta menunggu seseorang yang akan menjemput pesanannya.

Lagi-lagi aku mendengar berita yang tadi pagi kudengar di kantin ditayangkan di satu layar besar di lobby. Tentang siapa-siapa saja anggota band yang akan didebutkan itu. Aku mencoba mengabaikan ketika nama Bian disebut. Aku tidak mau konsentrasiku buyar lagi karena hal itu. Anggap saja itu Bian yang lain.

By the way, gedung yang kudatangi ini berbeda dengan gedung yang biasa didatangi para artisnya. Jadi seperti ada dua gedung terpisah dengan jarak yang berdekatan. Kurasa yang kudatangi ini khusus untuk staff bekerja, entah aku juga kurang mengerti.

"Eh, mbak yang di kafe"

Aduh. Gak tau kenapa aku malas sekali kalau sudah bertemu pria pucat ini. Jujur, wajahnya memang tampan tapi dia luar biasa menyebalkan. Dan kenapa dia selalu muncul sejak aku bertemu pertama kali dengannya hari itu. Di kantin, dan sekarang di sini. Tapi seharusnya aku tidak perlu heran kenapa dia ada disini, kan ini perusahaan tempat dia kerja.

Dia duduk di sebelahku. Aku langsung bergeser menjaga jarak

"Nganter pesanan?" Katanya lagi sambil melihat kopi di atas meja

Bukan. Memancing. Udah tau malah nanya, omelku dalam hati.

Aku cuma ngangguk. Malas berbasa-basi. Nanti kalau diladenin malah dia makin jadi dan makin lama gangguin aku

Tiba-tiba aku kepikiran sesuatu. Haruskah aku menanyakan tentang Bian dengan pria disebelahku ini?

Tanpa pikir panjang, aku langsung menanyakan hal yang membuatku penasaran itu

"Ehm- Mas, saya boleh nanya, gak?" Kataku akhirnya

"Akhirnya mau ngomong juga. Boleh, tapi bayar dulu"

what we hadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang