Aku menatap layar ponselku yang masih menyala, menampilkan pesan dari Bian yang belum kubalas. Setelah pesan pertama, datang lagi dua pesan berturut-turut.
"Tidak menerima penolakan"
"Ada yang mau aku omongin"Oke. Kalimat terakhir cukup membuat penasaran. Sepenting apa sampai tidak bisa dibicarakan lewat telepon.
Aku meletakkan kembali ponselku, mataku tertuju pada laci meja di sebelahku. Ada satu buku kecil di dalamnya. Iseng kubuka buku itu lembar demi lembar. Aku mendapati nama Bian beberapa kali kutulis di halaman belakang. Seingatku itu, buku kecil itu ku beli saat SMA.
Saat itu adalah masa sedihku karena Bian tiba-tiba hilang begitu saja. Aku tidak berani menulis cerita apapun di buku itu, hanya nama Bian yang mampu kutulis. Siapa sangka bahwa Bian kini hadir lagi. Bahkan lebih dekat daripada sebelumnya.
Bian memang banyak berubah, apalagi dari sifatnya. Bian yang dulu terkesan bicara apa adanya, kaku, dan mudah emosi. Sementara Bian yang sekarang lebih sering bercerita, berani, dan ceria. Yang membuatku sedih adalah aku tidak bisa menjadi bagian dari proses itu. Proses Bian menjadi lebih baik.
🍂
"Sasa habis Subuh kok tidur lagi?" Ibu membuka tirai kamarku, sinar matahari pagi itu secara leluasa menguasai beberapa bagian sudut kamarku
"Pulang ke rumah cuma mau tidur aja, nih?" Kata Ibu lagi
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, masih berat sebenarnya. Semalam entah jam berapa aku baru bisa tidur. Aku menggeliat lalu berputar kesana-kemari.
"Ayo cepet bangun, bantu Ibu bikin sarapan"
Ibu mengambil baju kotor yang ku letakkan dibalik pintu lalu keluar.
Cuaca di luar begitu cerah, sayang jika dilewatkan begitu saja dengan tidur.
🍂
"Kamu telurnya mau setengah matang?" Tanya Ibu ketika menggoreng telur, sementara aku memotong timun
"Enggak, deh, Bu. Dimatengin aja"
"Tumben"
"Bosen hehe" Jawabku
"Kamu hari ini di rumah aja? Gak mau kemana-mana gitu?"
Aku jadi teringat pesan dari Bian semalam. Dia mengajakku keluar hari ini. Jam dinding masih menunjukkan pukul delapan, ya setidaknya dia tidak mungkin muncul di depan rumahku tiba-tiba jam segini.
"Liat nanti, Bu. Udah nih, ayuk makan"
Ketika aku dan Ibu hendak segera makan, sebuah ketukan di pintu depan membuat kami menoleh bersamaan.
"Siapa yang bertamu pagi-pagi, sih" Tanyaku
"Palingan Ibu Dewi, katanya mau ambil pesanan. Biar Ibu aja"
Akupun melanjutkan kegiatanku menyentong nasi goreng bikinanku.
"Sa.."
"Jadi ambil pesa.. Bian?"
Bian dengan setelan rapinya sudah muncul di rumahku sepagi ini. Aku melihat jam dinding kembali, benar-benar masih pukul delapan lebih sedikit.
"Hai" Sapanya
"Kok udah di sini?"
"Duduk yuk, makan" Ajak Ibu, Bian berjalan pelan mengikuti dengan wajah sedikit heran. Mungkin dia masih bingung kenapa Ibuku jadi ramah kembali
"Bian udah rapi gini, Sasa aja belum mandi" Sindir Ibu
Aku langsung melihat diriku sendiri. Kaos oversize, celana pendek, rambut dicepol asal, plus tanpa riasan sedikitpun. Tuhan!
