15. Mentari tidak Harus Bersinar dengan Terang

99 19 0
                                    

Ceklek

Pintu terbuka, seseorang keluar dari kamar Lisya. Siapa lagi kalau bukan si empunya kamar. Lisya tampak menyibakkan rambutnya yang sedikit berantakan. Gadis itu juga memegangi perutnya menahan lapar. Lisya seperti gadis yang tidak terurus.

Lisya berjalan ke ruang makan untuk mengisi energinya. Namun, belum sampai ia mencapai ruang makan, ia melihat Raja berjalan memasuki rumah. Wajah lelaki itu tampak pucat pasi. Lisya spontan melupakan tujuannya. Gadis itu memilih menghampiri Raja.

"Ngapain lo?" tanya Raja kala Lisya berada di sampingnya.

Bukannya menjawab, Lisya mengulurkan tangan untuk memegang dahi Raja. Lisya terkejut setelah merasakan panas di punggung tangannya saat menyentuh dahi Raja.

Sontak, Lisya panik bukan main. Apalagi Mama dan Papanya sedang tidak di rumah. Itu artinya, dirinyalah yang harus merawat Raja. Ia tak mungkin membiarkan Raja yang sedang sakit begitu saja.

"Apaan, sih?! Jangan pegang-pegang gue!" Raja menyentak tangan Lisya keras. Wajahnya tampak ditekuk kesal. "Pergi lo! Gue muak liat muka lo." Lelaki itu melanjutkan ucapannya dengan kata-kata yang lebih menyakitkan.

Lisya refleks menggenggam tangan Raja, kemudian menggeleng kuat. Lisya tidak ingin pergi meskipun sudah dicampakkan berkali-kali.

"Lo tuli juga, hah?! Lepasin tangan gue!" Raja kembali menyentak tangan Lisya hingga tautan tangan Lisya terlepas. Raja langsung berjalan ke arah kamarnya.

Lisya hanya bisa menghela napas melihat hal tersebut. Sesaat setelahnya, Lisya pergi ke dapur. Tentunya untuk mengambil makanan. Namun, bukan untuk dirinya, melainkan untuk Raja. Ia yakin alasan utama Raja sakit adalah karena telat makan. Lisya sangat memperhatikan lelaki itu.

Lisya mengambil semangkuk nasi lengkap dengan sayur bayam yang baru saja dihangatkan. Ia juga meletakkan minum dan makanan tersebut di atas nampan, lalu membawanya ke kamar Raja.

Tanpa mengetuk pintu, gadis itu mendorong pintu kamar Raja yang tidak terkunci. Saat masuk, ia melihat Raja yang terbaring di atas kasur sambil memejamkan matanya. Ia mempercepat langkah untuk membawakan makanan untuk kakak laki-lakinya itu. Semoga Raja baik-baik saja. Begitu pikirnya.

Saat dirinya menginjakkan kaki di samping kasur Raja, Raja sontak terbangun karena merasakan ada seseorang di sampingnya. Raja membulatkan matanya marah karena melihat sosok Lisya di kamarnya. Dan ia juga melihat senyum di wajah gadis itu. Raja benci. Raja benci melihat senyum itu.

Prangg

Senyum Lisya luntur seketika, berubah menjadi sebuah keterkejutan sekaligus kekecewaan. Baru ia hendak memberikan makanan pada Raja, Raja sudah terlebih dahulu menyentak nampan yang ia bawa. Makanan, segelas air putih, dan juga kaca berserakan di mana-mana. Ia juga sedikit meringis karena kuah sayur yang masih panas tiba-tiba mengenai kakinya.

"Gak usah sok peduli, gue jijik sama lo!" ucap Raja setelahnya. "Gak usah senyum, gue gak suka liat senyum bodoh lo itu. Pergi dari sini!" sentak Raja lagi. Lisya menggeleng kuat merespon ucapan Raja.

"Gue bilang pergi, ya, pergi!" Raja sangat-sangat marah sekarang. Ia memegangi kepalanya karena pusing. Wajar, lelaki itu sedang lemas, namun justru berkata dengan penuh emosi.

"Gue lagi sakit dan lo masih mau ganggu gue?! Lo ngerti, harusnya lo gak pernah hidup! Lo itu bisu, lo itu beban, parasit di hidup gue! Ngerti, gak? Sekarang lo pergi dari hadapan gue atau gue yang bakal pergi dari rumah ini?" Raja menatap Lisya tajam, sedangkan Lisya menatap Raja dengan mata yang berkaca.

Mata Lisya memanas, bibirnya bergetar. Sebagai seorang adik yang sangat menyayangi kakaknya, ucapan Raja tadi sangat menusuk di hati Lisya.

Maaf

Cactus Girl [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang