9. Obat Merah dan Kota yang Tidak Ramah

131 22 0
                                    

Lisya sudah siap dengan sekoper barang-barang untuk acara hari ini, begitu juga dengan Gean. Gadis itu mengecek barang miliknya yang sudah ada di dalam bagasi mobil, siapa tahu ada yang tertinggal. Setelah memeriksanya dengan baik, gadis itu mengangkat kepalanya lagi dan berjalan mundur untuk sedikit menjauh dari bagasi.

"Udah? Gak ada yang ketinggalan?" tanya Gean memastikan. Lisya menggeleng sambil tersenyum.

"Oke! Ayo, berangkat. Lo udah pamit, kan?" tanya Gean.

Lisya terdiam sesaat, mengingat peristiwa yang tadi pagi terjadi. Tentang Raja yang menuduhnya macam-macam. Secara, uang yang diberikan Papanya sudah diambil oleh Raja, dan secara tiba-tiba dirinya sudah siap dengan koper dan barang penting untuk pergi ke acara ulang tahun sekolah. Raja tentu heran.

"K-kok lo bisa ikut outbond-nya? Bukannya duit lo udah gue ambil? Ohh, jangan-jangan lo nyolong duit? Harus gue laporin ke Papa kalo kaya gini." Begitu kata Raja tadi. Tapi, baru saja Raja berbalik untuk melapor, dirinya tiba-tiba mematung.

Lisya tersenyum. Ia yakin 100% bahwa Raja tak akan berani melaporkan tentang ini. Kenapa? Karena jika Raja melapor, Papanya akan bertanya kemana uang yang sudah diberi. Dan, yaa ... Raja akan terkena akibat dari ucapannya sendiri.

Yang terpenting adalah, bagaimana ia bisa menjawab pertanyaan Raja kalau dirinya saja tidak tahu siapa yang membayarkan dirinya. Otaknya mengarah pada Gean 100%, namun hatinya hanya setengah. Sebagian yakin bahwa itu Gean, dan sebagiannya lagi ia berpikir seorang guru telah membayarinya.

"Sya? Kok, lo malah ngelamun, sih?" Sontak Lisya tersadar dari lamunannya kala Gean mengatakan hal itu.

"Udah pamit, kan?" tanya Gean mengulang. Lisya pun mengangguk meski sejujurnya ia belum berpamitan pada keluarganya, bahkan pembantu pun tidak. Lagi pula mereka juga sudah tahu bahwa dirinya akan pergi untuk beberapa hari.

"Sip. Ayo, naik mobil. Keburu telat," ucap Gean. Lelaki itu berjalan ke pintu depan, membukakan pintu untuk Lisya, kemudian baru naik ke mobilnya. Lisya diperlakukan seperti ratu, dan Gean adalah rajanya.

Setelah semua siap, Gean menyalakan mesin mobilnya, kemudian mulai mengemudi menuju ke sekolah. Benar, Gean dan Lisya berangkat berdua menggunakan mobil milik Gean. Beruntung sekali Lisya memiliki lelaki itu.

"Sya," panggil Gean yang matanya masih fokus pada jalanan.

"Gue mau nanya, nih. Jawab jujur, ya?" tanya Gean. Lisya tentu mengangguk sekaligus penasaran mengenai apa yang akan Gean tanyakan.

"Mungkin gak, sih, kalo gue suka sama lo? Maksudnya, kan, lo itu sahabat gue sendiri. Mungkin gak, sih, kalo gue punya perasaan yang lebih dari sekedar sahabat?"

Ahkkk! Napas Lisya tercekat seketika. Entah harus bahagia atau terkejut saat mendengar kalimat yang baru saja terucap dari mulut Gean. Gadis itu menatap Gean penuh harap.

Gean tampak gugup. "Emm ... gak usah dijawab gapapa, kok. Gue cuma nanya," ucap Gean. Lelaki itu tersenyum sambil menatap Lisya dari samping. Lisya yang ditatap pun mengalihkan pandangannya. Pipinya sudah memerah hangat saat ini. Lisya blushing.

***

Setelah perjalanan yang memakan waktu sebentar, akhirnya Lisya dan Gean sampai di sekolah. Usai memarkirkan mobil di parkiran tertutup yang memang disediakan oleh sekolah, mereka memilih untuk pergi ke kelas masing-masing.

Sekarang, Lisya tengah duduk di bangkunya sembari memainkan ponsel. Tidak! Bukan memainkannya, hanya menggeser-geser layar persegi itu supaya terlihat sibuk. Sebenarnya, pikirannya melayang pada surat kemarin.

Kosong, gak ada surat, batinnya panik. Surat kemarin juga gak ada. Lisya semakin kebingunan.

Bukan apa, tapi ia heran, mengapa ia tak mendapat jawaban dari si penulis yang sekarang Lisya labeli dengan "Si Misterius". Kemarin ia bertanya tentang siapa si misterius itu sebenarnya, namun ia tidak mendapat balasan sama sekali hari ini. Surat yang kemarin ia letakkan di laci pun hilang. Lacinya kosong.

Cactus Girl [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang